Analisis Hukum Kasus Hanson, Himpun Dana Masyarakat Berkedok Koperasi

Selasa, 03/03/2020 17:12 WIB
Direktur utama sekaligus pemilik PT Hanson International Tbk (MYRX) dan PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) Benny Tjokrosaputro. (kontan)

Direktur utama sekaligus pemilik PT Hanson International Tbk (MYRX) dan PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) Benny Tjokrosaputro. (kontan)

Jakarta, law-justice.co - PT Hanson International Tbk didirikan tahun 1971. Perusahaan ini semula merupakan perusahaan manufaktur tekstil yang beralih fungsi menjadi perusahaan landbank properti yang unggul di tahun 2013 setelah mendapatkan lebih dari 4.900 hektar lahan.

PT Hanson International Tbk mengklaim sebagai salah satu perusahaan landbank properti terbesar di Indonesia yang memiliki hampir 5.000 hektar lahan untuk dikembangkan di area Jakarta dan sekitarnya seperti Serpong, Maja, Cengkareng, dan Bekasi. PT. Hanson berkantor di Mayapada Tower, Jalan Sudirman, Jakarta.

Terselip nama Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro yang menjabat sebagai Direktur Utama sekaligus pemegang saham 4,25 persen, kemudian Asabri memegang saham 5,401 persen, dan saham sisanya dimiliki publik sebanyak 90,349 persen.

Nama PT Hanson International Tbk mencuat sejak beberapa waktu belakangan. Perusahaan properti ini dikait-kaitkan dengan skandal dua perusahaan BUMN asuransi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero).

Baik Jiwasraya maupun Asabri, menempatkan dana nasabahnya dengan nominal cukup besar di PT Hanson International Tbk. Bukan hanya terkait dengan soal terlibat skandal PT. Jiwasraya dan dan PT. Asabri saja. PT. Hanson ternyata juga di gugat oleh nasabahnya sendiri antara lain karena kasus gagal bayar koperasi yang dibinanya.

Dua kasus diatas saat ini sedang melanda PT. Hanson  yang tengah memfokuskan diri untuk membangun kawasan kota di Maja dan Serpong dengan target segmen menengah ke bawah.

Kasus Gagal Bayar Koperasi 

PT. Hanson mempunyai anak perusahaan Koperasi  yang bernama Hanson Mitra Mandiri  (HMM) yang awalnya sebagai koperasi karyawan dari PT Hanson Internasional Tbk dan akhirnya menjadi badan hukum koperasi simpan pinjam. Untuk diketahui, status terakhir Koperasi HMM ini merupakan koperasi konsumen dengan nomor Badan Hukum : 007048/BH/M.KUKM.2/I/2018 tanggal 8 Januari 2018 beralamat di Gedung Mayapada Tower 1, Lantai 20, Jalan Jenderal Sudirman Kav.28, Jakarta Selatan.

Belakangan koperasi ini digugat oleh 3000 karyawannya  dan diminta supaya mengembalikan dana anggotanya."Kementerian Koperasi dan UKM menerima aduan dari 3 orang yang mengaku sempat menginvestasikan uangnya di Koperasi Hanson Mitra Mandiri. Setelah kami selidiki, salah satu ketua koperasi tersebut adalah Pak Benny Tjokro," ujar Deputi Bidang Pengawasan Kemenkop UKM Suparno di Gedung Kemenkop UKM, Jumat (24/1/2020).

Ketiganya diketahui menyimpan uangnya di koperasi itu dalam bentuk simpanan berjangka. Masing-masing merugi sebanyak Rp 1,6 miliar, Rp 800 juta, dan Rp 600 juta.

Menurut Suparno, kasus gagal bayar terjadi lantaran dana yang dihimpun di koperasi tersebut digunakan untuk investasi properti kepada PT Hanson Internasional. Ternyata badan hukum dari koperasi ini sendiri belum jelas.

Pada awal didaftarkan, koperasi ini ialah berbentuk koperasi karyawan. Akan tetapi, kemudian badan hukum koperasi ini berubah menjadi koperasi konsumen. Bahkan, dalam perjalanannya, koperasi HMM tidak melaksanakan kegiatannya sebagaimana tertera dalam Anggaran Dasar sebagai koperasi konsumen.

Awalnya mereka ingin melayani anggota di PT Hanson, tetapi di dalam perjalanannya koperasi ini membuka usaha unit simpan pinjam, tetapi tidak juga dijalankan dengan baik. Hal ini terbukti, setelah melihat catatan izin koperasi tersebut.

Koperasi yang menghimpun dana simpanan berjangka ini dimulai Maret 2018 lalu namun tidak memiliki izin usaha simpan pinjam (IUSP) hingga 21 Oktober 2019 lalu. Dalam upaya menarik konsumennya, koperasi ini menawarkan bunga yang cukup tinggi. Dengan rincian sebagai berikut : Bunga simpanan berjangka 3 bulan sebesar 10%, SB 6 bulan sebesar 11%, dan SB 12 bulan sebesar 12%.

Setiap nasabah yang berinvestasi di Hanson akan mendapatkan sertifikat bahwa mereka telah melakukan deposito. "Penerbit sertifikat itu adalah Hanson dan ditandatangan oleh direksi. Selain itu, ada logo OJK dalam produk investasi tersebut. Padahal produk tersebut tidak dilegalisasi oleh OJK.Banyak nasabah yang merasa tertipu dengan model investasi yang ditawarkan oleh PT. Hanson.

Salah satu nasabah yang namanya tak ingin disebutkan menceritakan, 2 tahun yang lalu ia ditawarkan oleh marketing perusahaan Hanson."Marketingnya bilang, kalau uang kita dipinjam Hanson, selain dapat bunga juga ada jaminan tanah atau rumah dengan nilai 1:1," ujar dia kepada detikcom, Rabu (8/1/2020).

Dia mengungkapkan, produk yang ia beli waktu itu adalah medium term notes (MTN) jangka pendek saat itu Hanson menjanjikan suku bunga di kisaran 9-10%. Saat itu dirinya percaya dengan penjelasan marketing Hanson.

Pasalnya, yang digunakan adalah laporan keuangan yang moncer."Waktu itu marketing meyakinkan kalau Hanson sehat, melalui laporan keuangan. Eh ternyata laporan keuangan itu dipalsukan, bahkan ditegur oleh OJK," jelas dia.

Dengan adanya kegiatan tersebut PT. Hanson diduga telah melakukan pelanggaran atas UU Perbankan karena telah melakukan penghimpunan dana nasabah secara ilegal. Bahkan, dana yang dihimpun ini jumlahnya sudah mencapai triliunan rupiah.

Pelanggaran UU ini dilakukan karena Hanson telah menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan. Padahal Hanson sendiri bukanlah bank, melainkan perusahaan properti.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, pihak yang melakukan pelanggaran ini bisa dikenakan ancaman pidana penjara 5-15 tahun serta denda minimal Rp 10 miliar dan maksimal Rp 20 miliar.

Sanksi ini akan diberikan kepada perusahaan beserta pihak-pihak yang memberikan perintah kegiatan tersebutUntuk menghindari bertambah banyaknya dana yang dihimpun dari aktivitas ilegal ini, pada 28 Oktober 2019 Satgas OJK (Otoritas Jasa Keuangan) telah memerintahkan perusahaan ini untuk menghentikan semua kegiatan penghimpunan dana masyarakat.

Menggarong Jiwasraya dan Asabri

Selain permasalahan investasi di PT. Hanson yang dianggap melanggar Undang Undang, perusahaan ini juga sedang mendapatkan sorotan karena belakangan perusahaan properti ini dikait-kaitkan dengan skandal dua perusahaan BUMN asuransi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero).

Baik Jiwasraya maupun Asabri, menempatkan dana nasabahnya dengan nominal cukup besar di PT Hanson International Tbk. Kisah bermula, saat Jiwasraya belanja saham Hanson Internasional ketika harganya Rp 1.300/lembar sebanyak Rp 760 miliar. Banyak kalangan menilai itu kemahalan, namun begitulah harga resmi di pasar modal.

Setahun kemudian harga saham itu naik drastis menjadi Rp 1.865/lembar. Semestinya saat itu Jiwasraya menjual sahamnya agar biisa meraup untung Rp 100 miliar lebih.

Tetapi entah kenapa mereka tidak melakukannya, mungkin menunggu harga naik lebih tinggi lagi. Nyatanya setelah itu saham Hanson terjun bebas menjadi tinggal Rp 50/lembar sehingga membuat ratusan milyar uang titipan nasabah Jiwasraya melayang.

Modus ini pula yang dipakai  Benny Tjokro memoroti Asabri yang, menurut Warta Ekonomi, memiliki saham Hanson sebanyak 5,4 persen. Bahkan lebih besar dari Benny Tjokro yang merupakan direktur utama perusahaan yang hanya memiliki 3,68 miliar lembar saham atau setara 4,25 persen.

Saat harga saham jatuh ke titik terendah, Asabri pun kehilangan modal investasinya. Selain penempatan lewat saham, investasi juga mengalir lewat pembelian Medium Term Note (MTN) atau surat berharga berjenis utang. 

Dengan investasi model MTN , maka siapa pun yang memiliki perusahaan bisa mengeluarkan MTN bermodal selembar kertas yang berkop perusahaan, tanda tangan direktur utama, dan stempel perusahaan. Lalu ketik catatan yang berbunyi `Dengan ini kami berhutang, misalnya Rp 500 milyar. Utang akan dibayar pada tanggal ... (tiga tahun kemudian atau kapan saja sesuai kesepakatan) dengan bunga ... persen (10 persen, 12 persen, ...)`.

Semakin tinggi bunga yang dijanjikan,akan makin banyak peminatnya. Setelah lembaran itu dibubuhi stempel perusahaan dan ditandatangani oleh direktur utama, selanjutnya MTN itu diserahkan pada perusahaan sekuritas alias broker yang nantinya akan mencarikan pembeli sekaligus bertindak sebagai penjamin bahwa utang benar-benar akan dibayar kembali berikut bunga yang dijanjikan.

Pengaju MTN tinggal memberi komisi,  besarannya tergantung seberapa kepepet pihak yang butuh utang, berkisar antara setengah sampai satu persen dari jumlah hutang pada broker. Atau, bila punya relasi bisnis luas, perusahaan bisa memasarkan sendiri MTN-nya tapi tetap wajib menggunakan broker dalam realisasinya.

Tentu saja komisi yang dikeluarkan akan jauh lebih kecil karena yang dibutuhkan hanya legalitas broker untuk memenuhi ketentuan transaksi. Pengusaha sekelas Benny Tjokro dipastikan punya perusahaan broker sendiri atau perusahaan orang lain yang berada di bawah kendalinya.

Para  broker biasanya sudah punya daftar perusahaan atau perorangan yang punya stok uang `nganggur` berlimpah dan ingin memutarnya untuk mendapat keuntungan. MTN yang menawarkan tingkat bunga 10-12 persen pastinya lebih menggiurkan ketimbang bank yang hanya menawarkan 5-6 persen.

Bunga tinggi dan komisi di bawah tangah bila berhasil menjual MTN memang menggiurkan, terutama bagi mereka yang menduduki posisi direktur utama beserta jajarannya di perusahaan milik negara yang lebih mengutamakan legalitas dan mementingkan persyaratan admininistrasi, termasuk adanya agunan, dipenuhi. Padahal hal itu bisa diatur dengan manajemen kongkalingkong.

Beny Tjokro saat ini, menurut catatan CNBC Indonesia, selain menjabat direktur utama Hanson juga menduduki posisi direktur di 20 perusahaan lainnya (matamatapolitik.com, 15 Januari 2020). Jadi bermain dengan MTN pasti sudah jadi makanannya sehari-hari.

Dengan demikian si Benny Tjokro alias Bentjok ini memperoleh dana milyaran dari Jiwasraya dan Asabri, dengan cara menjual MTN (Medium Term Note, surat utang jangka menengah) dan transaksi lewat pasar modal dimana aksi `menggoreng` saham dilakukan. Saat ini berdasarkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jiwasraya dibayangi dampak risiko gagal bayar atas transaksi pembelian Medium Term Note (MTN), atau surat berharga berjenis utang dari PT Hanson International. 

Selain Jiwasraya, Asabri juga memiliki surat utang jangka menengah (MTN) Hanson, yang dialihkan dari PT Pelita Indo Karya dan PT Royal Bahana Sakti. Surat utang tersebut memiliki jangka waktu tiga tahun dan jatuh tempo pada 21 Desember 2018, dengan tingkat suku bunga tetap sebesar 12 persen per tahun dan terutang setiap kuartal. 

Konsekuensi Hukum

Atas perbuatannya tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Komisaris Utama PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro dkk  sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di Asuransi Jiwasraya. Kini, Benny mendekam di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiono mengatakan, Benny Tjokro ditetapkan sebagai tersangka karena melanggar pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tidak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Kami mengenakan tersangka berdasarkan bukti dari keterangan saksi-saksi, surat-surat dan para ahli. Saya kira yang normatif dulu (buktinya),” kata Hari di Jakarta, Rabu (15/1).

Berikut bunyi pasal di UU Tipikor yang dikenakan ke Benny Tjokro: Pasal 2 ayat (1) menyebutkan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Pasal 3 menyebutkan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau  orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Selain itu kegiatan penghimpunan dana masyarakat secara tidak sah yang telah dilakukan oleh PT. Hanson melalui koperasi yang menjadi anak usahanya bisa juga dikenakan pasal dalam Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) UU RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Meski Koperasi dan Perbankan adalah dua konsep yang berlainan, namun bila Koperasi melakukan kegiatan usaha yang menyerupai Lembaga Keuangan Perbankan, tanpa izin dari Bank Indonesia dan/atau OJK, maka terhadap pengurus Koperasi dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang tentang Perbankan.

Untuk pembuktian unsur-unsur 46 ayat (1) jo Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :1. Unsur Barang Siapa; 2. Unsur Menghimpun Dana dari Masyarakat dalam Bentuk Simpanan; 3. Unsur Tanpa Ijin Usaha dari Pimpinan Bank Indonesia; 4. Unsur “melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan”;

Dalam hal ini Jaksa dalam proses persidangan nantinya, harus bisa membuktikan bahwa PT. Hanson atau (melalui anak perusahaan Koperasi  yang bernama Hanson Mitra Mandiri  (HMM), telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang perbankan tersebut termasuk dalam kegiatan menghimpun dana sebagaimana di maksud dalam Pasal 16 Ayat (1) undang-undang perbankan;

Dengan terbuktinya unsur-unsur Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, maka  terdakwa haruslah bertanggung jawab akan perbuatannya.

Sehingga kepadanya harus dinyatakan bersalah telah melakukan Tindak Pidana Perbankan “Menghimpun Dana dari Masyarakat dalam Bentuk Simpanan Tanpa Ijin Usaha dari Pimpinan Bank Indonesia. Hukuman bisa berupa denda maupun kurungan.

Selain pasal korupsi dan UU Perbankan, Benny juga dijerat dengan pasal pencucian uang.Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut.

Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana. Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Intinya dalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer,mengalihkan,membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.
Tawaran Solusi PT. Hanson untuk Nasabahnya

Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus Asuransi Jiwasraya. Padahal perusahaan Benny juga tengah berperkara atas pembayaran dana investor surat utang.

Ditahannya Benny Tjokro sebagai tersangka kasus jiwasraya memunculkan kekuatiran pada nasabah/ investor PT. Hanson. Salah seorang investor Hanson yang enggan disebutkan namanya, merasa khawatir atas penahanan Benny.

Dia takut semua aset Benny disita untuk kasus Jiwasraya."Kalau Benny masuk penjara asetnya disita dan dipakai untuk membayar nasabah Jiwasraya, lalu bagaimana dengan nasib nasabah Hanson?" tuturnya kepada detikcom, Kamis (16/1/2020)."Jangan sampai yang Jiwasraya terbayar tapi malah nasabah Hanson tidak kebagian," tambahnya.Dia khawatir akan investor Hanson akan bernasib sama dengan dengan nasabah First Travel."Jangan sampai aset Benny disita negara tapi semua nasabah tidak dapat bagian apa-apa seperti First Travel," tutupnya.

Sebelumnya, Mahkamah Agung lewat kasasi memutuskan seluruh aset First Travel diserahkan ke negara, bukan ke jemaah. Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok sudah memulai tahapan lelang barang bukti First Travel. Dari ribuan barang bukti, terdapat aksesori-aksesori seperti tas mewah, kacamata bermerek, mobil, dan aset lain.

Aset tersebut rencananya untuk dilelang dan hasilnya dikembalikan ke negara. Kekuatiran investor PT. Hanson tersebut kiranya wajar wajar saja karena sudah sering terjadi ketika lembaga jasa keuangan dinyatakan pailit atau “dibangkrutkan”, investor atau nasabah tidak kebagian apa alias hanya menanggung duka. 

Keresahan investor PT.Hanson ini rupanya didengar oleh direkturnya. Direktur Utama Hanson Internasional Benny Tjokrosaputro. Ia mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengusahakan agar seluruh dana nasabahnya bisa dikembalikan.
Ada dua skema pengembalian yang ditawarkan olehnya kepada para nasabah yang ingin uangnya kembali. Pilihan pertama yang ditawarkan adalah penyelesaian settlement aset. Nantinya, nasabah ditawari menukarkan dananya menjadi aset fisik.

Pilihan kedua adalah perusahaan menawarkan restrukturisasi utang. Perusahaan akan mencicil pembayaran utang kepada nasabah beserta bunganya dengan dicicil selama 4 tahun.

"Segala usaha kami seperti restrukturisasi dan asset settlemen sedang kami usahakan untuk menjadi solusi menyelesaikan masalah dengan nasabah-nasabah kami. Terima kasih atas kerjasamanya," ujarnya saat dihubungi Okezone, Kamis (9/1/2020).

Apakah tawaran menyejukkan yang disampaikan oleh direktur PT. Hanson tersebut akan bisa terealisasi sebagaimana yang diharapkan, waktulah yang akan menentukan. Yang jelas pihak OJK sendiri yang merupakan lembaga pengawas Lembaga Keuangan hanya bisa meminta PT Hanson International Tbk mengembalikan uang nasabah yang telah terhimpun.

Satgas Waspada Investasi (SWI) hanya bisa meminta manajemen PT Hanson International Tbk (MYRX) untuk mengembalikan semua dana triliunan yang sebelumnya dihimpun untuk diinvestasikan di perusahaan tersebut.

OJK melalui SWI (Satgas Waspada Investasi) mengharapkan mereka bisa mengembalikan uang nasabah sesuai kemampuannya. “Kami harap mereka bisa membayar semua dana nasabah yang dihimpun," kata Kepala SWI Tongam L. Tobing di Jakarta, Jumat (1/11/2019).

Analisis Hukum

Bagi investor PT. Hanson yang menanamkan uangnya lewat tawaran perusahaan Koperasi  yang bernama Hanson Mitra Mandiri  (HMM) maka resiko gagal bayar nampaknya harus ditanggung sendiri. Karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada yang mengatur perkoperasian, lebih khususnya lagi mengenai Koperasi Simpan Pinjam, yaitu Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi Jo. Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah RI Nomor 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, belum terdapat adanya pengaturan secara khusus mengenai perlindungan maupun jaminan penyelesaian bila terjadi penyimpangan terhadap dana nasabah yang berakibat kerugian bagi nasabah.

Mengingat Koperasi Simpan Pinjam (KSP)  tergolong bisnis pengelolaan uang yang penuh dengan risiko, maka untuk perkembangannya diperlukan aturan/kebijakan dari Pemerintah yang dapat memberikan perlindungan bagi dana nasabah.

Karena yang terjadi atas beberapa kasus penyimpangan yang dilakukan oleh KSP, akhirnya para nasabahlah yang tetap sangat dirugikan, dana miliknya tetap saja tidak dapat kembali jika terjadi penyimpangan.

Oleh karena itu diperlukan kontrol dan pengawasan yang ketat, serta intensif terhadap pelaksanaan koperasi simpan pinjam, selain juga perlunya pembinaan secara terpadu oleh instansi terkait.

Instansi yang berwenang harus mengambil tindakan tegas dan menjatuhkan sanksi pencabutan ijin kegiatan usaha bagi koperasi yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang berlaku, serta telah melakukan penyimpangan yang merugikan masyarakat luas.

Selain itu perlu adanya produk aturan hukum yang jelas dan/atau kebijakan dari instansi yang berwenang yang pemberian perlindungan bagi dana para nasabah koperasi. Sungguhpun perlindungan terhadap nasabah koperasi /KSP masih lemah, masih ada celah hukum untuk mengembalikan dana nasabah yaitu dengan menjerat pelakunya  dengan UU TPPU karena yang tersangka juga tersangkut kasus Jiwasraya dan Asabri.

Dengan menjerat pelaku menggunakan UU TPPU maka upaya untuk menyita harta pribadi perampoknya bisa dilakukan. Harta kekayaan para tersangka yang terbukti korupsi  dapat dipindahtangankan dan yang sudah dipindahtangankan agar dapat ditelusuri.

Dalam hal ini kita menyambut baik upaya Kejagung yang telah mulai melakukan penyitaan terhadap harta tersangka. Sebagaimana diketahui, untuk menelisik sangkaan pencucian uang Direktur Utama PT Hanson International Tbk itu, Kejaksaan Agung telah menyita sejumlah aset.

Berikut adalah harta Benny yang disita oleh Kejaksaan Agung: 1.156 sertifikat tanah milik Benny pada 16 Januari 2020. Semua tanah itu berada di wilayah Provinsi Banten.2. Sertifikat tanah yang diblokir terdiri dari 84 bidang di Kabupaten Lebak dan 72 sertifikat tanah di Kabupaten Tangerang. Blokir itu juga dilakukan agar tanah tak bisa dialihkan dengan nama orang lain.

3.41 kamar di apartemen South Hills, Kuningan, Jakarta Selatan. 4.52 unit apartemen. Sehingga total apartemen milik Benny yang disita kejaksaan berjumlah 93 unit.

Banyaknya aset yang disita oleh kejaksaan dari Benny dalam perkara Jiwasraya ini sebenarnya tidak aneh. Bertahun-tahun menjadi pengusaha properti dan bermain saham, Benny masuk daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes 2018.

Cucu dari pendiri Batik Keris Kasom Tjokrosapoetro ini, menempati posisi ke-43 orang terkaya dengan nilai kekayaan sebesar US$ 670 juta atau sekitar Rp 9,18 triliun.

Jika nantinya Pengadilan memutuskan Benny Tjokro dkk bersalah dan menyita asetnya maka proses pelaksanaan likuidasinya bisa mengikuti prosedur perbankan yang telah dicabut ijin operasionalnya yaitu diserahkan kepada LPS. Proses likuidasi adalah tindakan penyelesaian seluruh aset dan kewajiban lembaga yang telah dicabut izin usahanya.

Penyelesaian kewajiban  diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lemabaga Penjamin Simpanan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2009 menyatakan bahwa pembayaran kewajiban bank/ lembaga keuangan non bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan dilakukan dengan urutan sebagai berikut:

1. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang; 2. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai; 3. biaya perkara dipengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor;

4. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh LPS dan/atau pembayaran atas klaim penjaminan yang harus dibayarkan oleh LPS; 5. pajak terutang; 6. bagian simpanan dari nasabah yang tidak dibayarkan penjaminannya dan simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak layak bayar; dan 7. hak dari kreditur lainnya.

Berdasarkan urutan prioritas penyelesaian pembayaran aset yang telah di likuidasi tersebut terlihat bahwa hak nasabah atau kreditor lainnya menempati urutan yang paling buncit.
Jika kita kaitkan dengan pengembalian dana nasabah PT. Hanson maka menurut hemat  penulis,pembayaran dana nasabah PT. Hanson dan juga nasabah anak usahanya yaitu koperasinya lebih utama dibandingkan dengan pembayaran kepada nasabah Jiwasraya atau Asabri. 

Karena meskipun nasaban PT. Hanson, Koperasi (HMM) dan nabah jiwasraya–Asabri sama sama dirugikan oleh ulah PT. Hanson  namun nasabah HMM menjadi korban secara langsung.

Sementara pada kasus nasabah jiwasraya dan Asabri peran PT. Hanson melalui direktur dan kawan kawannya bersifat turut serta melakukan perbuatan. Ada pihak lain yaitu pejabat di internal PT. Jiwasraya dan Asabri yang berperan dalam merugikan nasabah jiwasraya-asabri.

Karena itu pejabat terkait seyogyanya ikut bertanggungjawaba atas adanya kerugian yang diderita oleh nasabah di kedua BUMN tersebut. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun dinilainya wajib dimintai pertanggungjawaban.

Karena OJK semua asuransi pasti melaporkan tiap bulan ke OJK tentang kondisi keuangan dan investasi ke mana saja. Dan pasti sudah ketahuan kalau ada pelanggaran. Tapi nyatanya OJK tidak melakukan tindakan. Hanya menyatakan sudah berkali-kali rapat, sudah menegur. Harusnya bukan sekedar menegur begitu.
Makanya (OJK) harusnya juga bisa kena pidana, karena sudah merugikan negara dengan kelalaiannya. Diluar aspek hukum, kepada para nasabah perlu hati hati,jangan tergiur dengan tawaran investasi dengan bunga yang tinggi.

Karena seringkali kita menemukan banyak tawaran investasi berbunga tinggi yang secara fantastis menjanjikan return (keuntungan) yang luar biasa besar bahkan tanpa risiko atau dengan risiko yang sangat kecil. Hal ini tentunya sangat penting untuk dipahami, bahwa tidak akan ada return yang besar jika tidak disertai risiko yang besar pula.

Sebagai acuan, pertumbuhan investasi dengan risiko rendah semacam deposito tidak mungkin bunganya akan jauh melebihi standar suku bunga yang dijadikan acuan umum, seperti misalnya suku bunga dari Bank Indonesia (BI).Sebagai pembanding, suku bunga acuan bank sentral Indonesia (BI 7 day repo rate) saat ini sebesar 4,25%.

Maka batas bunga yang dijamin LPS hanyalah sebesar 5,75%. Suku bunga obligasi juga hanya sekitar lima koma sekian persen.

Melihat hal itu, maka jika ada tawaran  investasi dengan bunga atas 8%, maka investasi tersebut tentu mengandung risiko yang lebih besar pula. Bila ada penawaran investasi dengan bunga melebihi angka tersebut, maka ini dapat menjadi pertanyaan besar, apakah itu investasi bodong? Atau mungkin justru bukan investasi ? Melainkan bentuk investasi lainnya seperti ponzi atau high-yield investment program.

Sekalipun apabila promo investasi berbunga tinggi tersebut ditawarkan oleh bank nasional ataupun bank daerah resmi yang terdaftar, tetap saja harus berhati-hati.

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar