Luqman Ibrahim Soemay, Wartawan Yunior

Menteri Tito Baperan Soal Pegangguran, Keras & Galak di Medsos

Senin, 02/03/2020 10:18 WIB
Mendagri Tito Karnavian (Foto: Humas Kemendagri)

Mendagri Tito Karnavian (Foto: Humas Kemendagri)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Prof. Dr. M. Tito Karnavian mengatakan, pengangguran di Indonesia sekarang mencapai tujuh juta orang. Pengangguran ini menjadi poin utama kenapa investasi harus digenjot. Tujuannya, agar tercipta lapangan kerja (detik.com Kamis 20 Februari 2020).

“Kita melihat hoax terjadi. Salah satu faktor hoax karena nganggur. Ngga ada pekerjaan lain. Seseorang yang menganggur, ada kecenderungan untuk berulah di media sosial (medsos). Misalnya, mencari sensasi atau demi eksistensi,” ujar Tito pada Rakornas Investasi di Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta.

“Saya punya saudara yang termasuk agak keras di sana. Padahal saya tahu dia ngga radikal. Dalam pemahaman idelogi dia ngga radikal. Tapi kok terlihat radikal sekali kalau di medsos. Setelah saya pelajari, nganggur ternyata. Biar ada sensasi, eksistensi segala macam”.

Penyataan Mendagri Tito mengenai pengangguran yang mencapai tujuh juta orang adalah gambaran keresahan seorang pejabat negara. Keresahan yang layak dan patut untuk diapresiasi.

Keresahan yang sangat mulia, sangat terhormat dan sangat bermartabat. Tentu saja, keresahan dari seorang pejabat yang ingin mencari jalan keluar untuk mengatasi pengangguran yang terbilang tinggi.

Namun persoalannya menjadi lain, kalau Pak Mendagri Tito berpendapat bahwa radikal, galak atau kritis kepada pemerintah di medsos karena nganggur. Tidak punya pekerjaan. Sebab tampak kalau Pak Tito tidak dewasa, bahkan cenderung kekanak-kanakan.

Pak Tito seperti tidak siap menghadapi perbedaan pendapat dari masyarakat sipil. Masyarakat sipil yang kritis terhadap tata kelola bangsa dan negara, yang nyata-nyata memang terlihat amburadul.

Kata Dr. Syahganda Nainggolan ada di virus di mana misalnya, virus Harun Masiku, virus Jiwasraya, virus Asabri, virus Bumiputra dan terakhir dugaan virus corona.

Kalau masyarakat sipil kritis kepada pemerintah, baik di medsos, maupun ruang diskusi dan seminar, itu karena mereka punya keresahan. Mereka juga punya kepedulian dengan nasib bangsanya.

Keinginan untuk mencintai bangsa dan negara ini bukan hanya monopoli Pak Mendagri dan pemerintah. Walaupun sebagai Mendagri, Pak Tito bebas berbicara, namun sebaiknya lebih arif dan bijak.

Kebiasaan dan hobby Pak Tito yang untuk membuat pernyataan di luar tupoksi ketika masih menjabat Kapolri, sebaiknya tidak lagi dilanjutkan saat menjabat menteri. Pak Tito sekarang sudah menjadi Mendagri lho. Jangan masih merasa menjadi Kapolri. Sehingga pilihan diksinya harus lebih sejuk dan bijak.

Pak Tito sekarang adalah pimpinannya para pamong. Pernyataan Pak Tito sebaiknya bersifat mengajak dan mengayomi, layaknya seorang pamong. Bukan sebaliknya, membenturkan dan menciptakan perbedaan baru di masyarakat. Itu kurang bijak sebagai seorang Pamong.

Perbedaan dalam diskursus politik itu hal biasa dan wajar di negara demokrasi. Pemerintah harus punya lawan tanding tanggung dari masyarakat sipil yang kritis dan tangguh.

Tujuannya, agar pemerintah lebih hati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan. Tidak asal-asalan dan amatiran dalam bekerja. Prinsip-prinsip Good Corporate Govermance harus benar-benar terlaksana dengan baik.

Gubernur & Bupati 414 Tersangka

Pada semua negara di dunia yang menganut sistem demokrasi, perbedaan pendapat dengan pemerintah sekeras apapun tetap saja dimaknai sebagai kekayaan bangsa yang paling berharga. Sebab bukan hanya Pak Tito dan pemerintah yang paling peduli dengan persoalan bangsa dan negara ini. Kita semua juga peduli dengan bangsa ini kok Pak Tito.

Sekadar mengingatkan Pak Tito saja, bahwa sejak reformasi 1998 sampai akhir Desembes 2019, tercatat 414 orang Kepala Daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Kejaksaan dan Polri. Dari Jumlah tersebut 22 adalah para Gubernur. Sisanya 392 lagi adalah para Bupati dan Walikota. Mereka tidak nganggur.

Jumlah mereka yang terjerat korupsi itu tidak sedikit. Hampir mencapai 75% dari total 548 Kepala Daerah seluruh Indonesia, terdiri dari 34 Gubernur dan 514 Bupati dan Walikota. Mereka semua berakhir tragis. Mereka menjadi penghuni Hotel Prodeo di Sukamiskin Bandung.

Hampir dipastikan mereka bukanlah orang-orang sembarangan . Mereka juga itu tidak sedang nganggur lho Pak Tito. Mereka semua punya pekerjaan tetap kan? Punya jabatan paling terhormat di daerahnya masing-masing. Karena mereka menjabat sebagai Gubernur, Bupati dan Walikota.

Dari jumlah 414 orang itu, belum termasuk Sekretaris Daerah (Sekda) dan para Kepala Dinas yang sering disebut Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Lagi-lagi, dipastikan para Sekda dan para Kepala Dinas tersebut, tidak ada satu pun yang ganggur lho. Ya tentu mereka semua punya pekerjaan tetap sebagai Sekda dan Kepala Dinas di Provinsi, Kabupaten dan Kotamadya.

Entah berapa angka korupsi yang melibatkan para Gubernur, Bupati dan Walikota, Sekda dan Kepala Dinas tersebut. Agak susah dihitung nilai korupsinya itu dengan kalkulator Pak Tito. Namun yang pasti mereka semua bukan orang-orang yang galak dan radikal di medsos. Bisa jadi mereka tidak yang suka berkomentar di medsos, baik itu yang mendukung atau yang mengkritik pemerintah.

Korupsi Asuransi Ratusan Triliun

Tidak cukup Pak Gubernur, Pak Bupati dan Pak Walikota yang terlibat korupsi. Publik negeri ini sedang dihebokan dengan skandal korupsi paling besar sepanjang sejarah negeri ini. Skandal korupsi di perusahaan asuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri dan PT Bumiputra. Nilainya tidak kecil Pak Tito. Hampir mencapai ratusan triliun rupiah.

Para pejabat negara maupun swasta yang terlibat skandal korupsi asuransi Jiwasrara, Asabri dan Bumiputra ini bukan orang-orang yang pengangguran juga Pak Tito. Mereka tentu saja tidak keras dan redikal di medsos. Mereka semua mempunyai jabatan dengan punya gaji.

Mereka pelaku koruptor asuransi juga mendapatkan tunjangan jabatan dan pasilitas dari perusahaan yang terbilang pantastis. Ada yang punya pendapatan ratusan juta rupiah setiap bulan. Bahkan mungkin saja ada yang mencapai miliaran rupiah setiap bulan.

Lagi-lagi mereka para koruptor itu tidak galak dan radikal di media sosial Pak Tito. Apalagi sebagai Direksi, Komisaris dan Manejer BUMN Asuransi, dipastikan mereka paling sopan dan santun kepada pemerintah. Bisa jadi mereka sering memuji-muji pemerintah setinggi langit di medsos.

Mungkin juga mereka sering memuji-muji pemerintah di restoran dan rumah kopi papan atas, tempat mereka sering nongkrong membicarakan perampokan atas asset-aset negara. Biasanya mereka suka ketemu atau kumpul di Longue hotel bintang empat atau bintang lima.

Tragisnya, terbukti ada diantara mereka yang pernah berkantor di Istana Negara. Kantor dengan simbol paling terhormat, dan paling bergensi untuk ukuran sebuah negara. Harry Prasetyo, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya pernah menjabat Tenaga Ahli Deputi III, Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Ekonomi dan Startegis Kantor Staf Kepresidenan sejak 2018.

Saran saya, sebagai pejabat negara sekelas menteri, sebaiknya Pak Tito lebih arif dan bijak dalam membuat pernyataan terkait dengan pengangguran, galak dan radikal ini. Jangan meresa masih menjadi Kapolri. Bahasa kerennya agar lebih “wise lah”. “Apalagi Pak Tito ini salah satu kandidat Calon Presiden atau Wakil Presiden 2024 paling potensial, “kata Menko Polhukam Mafudz MD.

Hampir pasti, tidak ada anak negeri ini yang galak dan radikal di medsos tersebut, mau menjadi pengangguran. Mereka perlu menghidupi anak dan isteri mereka. Mereka juga perlu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Mereka memerlukan duit untuk membeli buku, pakaian seragam, dan uang jajan dan transportasi harian anak-anak mereka ke sekolah.

Kalau Pak Tito bisa membantu mereka, toh tidak perlulah juga Pak Tito mencemooh mereka sebagai yang nganggur. Biarkan perbedaan dan sikap kritis itu tetap dipelihara sebagai bentuk kepedulian mereka kepada bangsa dan negara.

Yang lebih mengenaskan lagi, sejak reformasi 1998 sampai sekarang, sudah sembilan orang menteri yang duduk di kursi tersangka dan terdakwa. Pasti mereka juga bukanlah pengangguran. Tanpa perlu menyebut para menteri tersebut satu persatu (ada jejak digitalnya), mereka pejabat paling terhormat di negeri ini.

Dua diantaranya menjabat sebagai Menteri Agama. Dua lagi menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga. Dua orang menjabat Menteri Sosial. Sisanya tiga orang lagi adalah Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri.

Selain para menteri, mereka yang juga menjadi tersangka adalah para pejabat tinggi Negara. Bukan sembarang pejabat untuk ukuran Indonesia Pak Tito. Misalnya Ketua Dawan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Ada lagi empat Ketua Umum Partai Politik yang punya perwakilan di DPR sudah menjadi terhukum. Dua orang Sekretaris Jendral Partai Politik juga juga sudah dihukum. Selain itu , 255 orang anggota DPR dan DPRD yang sudah dihukum karena terlibat korupsi. Mereka semua itu tidak nganggur lho Pak Tito.

Ayo, pilih yang mana Pak Tito? Mereka yang tidak ngganggur, tidak galak, dan tidak radikal kepada penguasa, tetapi faktanya merugikan negara atau terlibat korupsi? Atau mereka yang nganggur, yang galak dan yang radikal, dengan tujuan untuk mengawasi pemerintahan, agar dikelola berdasarkan prinsip-prinsip Good Corporate Govermant?

Pengangguran Pelaku Sejarah

Selamat untuk Pak Tito, yang sekarang menjabat sebagai Mendagri . Namun sekadar mengingatkan saja bahwa jabatan yang Pak Tito tempati sekarang adalah buah dari penjuangan panjang dan berdarah-darah sebagain besar teman-teman yang nganggur, namun galak, keras dan radikal kepada rezim Orde Baru. Mereka telah galak dan radikal sejak pertengahan tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an.

Ketika mereka yang nganggur itu mulai galak, keras dan radikal kepada kekuasaan Soeharto di akhir tahun 1980-an dan awal 1990, Pak Tito mungkin masih letnan dua atau letnan satu polisi. Sebagai perwira muda, tentu saja Pak Tito lagi bangga-bangganya melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Namun mereka yang nganggur itu sudah berhadap-hadapan dengan tentara dan polisi Soeharto.

Resikonya, di antara mereka ada yang masuk penjara. Namun ada juga yang meninggal dunia. Bahkan ada yang hilang sampai sekarang. Jasadnya pun entah dibuang kemana. Namun begitulah resiko perjuangan dari mereka yang ganggur, yang galak dan yang radikal di ruang-ruang publik.

Perjuangan mereka yang nganggur, yang galak, yang keras dan yang radikal kepada kekuasaan Seoharto itu, tidak sia-sia. Hasilnya, Pak Tito bisa menjadi Kapolri, dengan jenderal bintang empat di pundak. Sekarang Pak Tito lebih terhormat lagi. Menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Selamat ya Pak Tito.

Sebagai penutup, saya mengutip firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At-Thalaq, ayat 2-3, yang artinya “barang siapa yang bertaqwa kepada Allaah, niscaya Allaah akan mengadakan baginya jalan keluar. Allaah akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, dan barang siapa yang bertwakal kepada Allaah, niscaya Allaah akan mencukupkan segala keperluannya”.

Pada surat yang lain, Allaah SWT juga berfirman “tidak ada makhluk yang melata di muka bumi ini, melaikan Allaah telah mengatur rezikinya”. (Surat Huud ayat 6).

Semoga Pak Tito tidak lagi alergi dan baperan terhadap kritik, baik yang galak, yang keras maupun yang radikal kepada pemerintah. Alergi dan baperan terhadap kritik itu hanya mengingatkan kita kembali pada cara-cara Orde Baru yang sudah kuno, usang dan primitif untuk membungkam para aktivis yang keras, yang galak dan yang radikal. Apalagi sebagai seorang Guru Besar yang bergelar profesor dan pehade.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar