Rugikan Negara Rp37 Triliun, Segera Bongkar Ulang Korupsi BP Migas

Rabu, 26/02/2020 09:41 WIB
Rugikan Negara Rp37 Triliun, Segera Bongkar Ulang Korupsi BP Migas. (Republika).

Rugikan Negara Rp37 Triliun, Segera Bongkar Ulang Korupsi BP Migas. (Republika).

Jakarta, law-justice.co - Kejaksaan Agung dan aparat penegak hukum didesak membongkar ulang kasus korupsi kondensat BP Migas-PT Trans Pacific Petrochemichal Indotama (PT TPPI), yang ditaksir telah merugikan keuangan negara hingga Rp 37 Triliun.

Advokat Tumpal H Hutabarat mengungkapkan, kasus korupsi yang nilainya lebih fantastik dari dugaan kerugian korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) itu seharusnya tidak didiamkan.

Jika korupsi PT Asuransi Jiwasraya aja menunjukkan betapa besarnya kerugian keuangan Negara, maka kasus penjualan kondesat BP Migas-PT TPPI ini juga harus dibongkar tuntas.

“Aparat penegak hukum tidak boleh mendiamkan. Mesti dibongkar tuntas juga. Jangan seolah-olah tak dilihat. Sebab, kerugian negaranya sangat besar. Ditaksir lebih besar dari kerugian yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya,” tutur Tumpal H Hutabarat, kepada awak media, di Jakarta, Selasa (25/2/2020).

Tumpal mengungkapkan, kasus ini berawal pada saat adanya Rapat Tanggal 21 Mei 2008. Ada sejumlah pembesar Negara ini, diduga terlibat dalam persoalan ini.

Agenda Rapat pada saat itu, lanjut Tumpal, terkait Pengembangan Pusat Industri Petrokimia Tuban, dengan tujuan adalah khusus tentang pemanfaatan kapasitas produksi dan optimalisasi peran TPPI dalam penyediaan suplai BBM untuk kawasan Jawa Timur.

Tumpal melanjutkan, tujuan dilaksanaannya rapat tersebut membahas tentang permasalahan mengenai sektor migas, khususnya industri Hilir Migas.

Jadi, kata dia, PT TPPI suatu perusahaan yang bergerak di bidang migas yang sahamnya mayoritas dikuasai oleh Pertamina dan Pemerintah RI yakni sebesar 60%.

“Pada saat itu TPPI berhenti berproduksi karena harga output-nya lebih rendah dari harga input-nya,” ungkap Tumpal.

Lebih lanjut, Tumpal H Hutabarat yang merupakan Kuasa Hukum salah seorang terdakwa Raden Priyono itu membeberkan, dalam rapat tersebut, Menteri ESDM dan Kepala BPH Migas sepakat menyimpulkan bahwa kondisi TPPI dalam keadaan merugi.

Namun secara teknis masih dapat berproduksi dan selanjutnya mengusulkan agar pemerintah mempertahankan keberadaan TPPI dengan cara TPPI diberi kesempatan untuk mengolah kondensat sehingga dapat memperbaiki kinerjanya.

“Dari keputusan rapat tersebut dapat diketahui dengan jelas dan tegas bahwa TPPI ditunjuk oleh Pemerintah untuk di-suplai kondensat oleh Pertamina dalam rangka penyelamatan TPPI dan perlu dioptimalkan perannya dalam penyediaan BBM, khususnya di Jawa Timur,” bebernya.

Namun dalam perjalanannya, kata dia, Pertamina batal menjual kondensatnya kepada TPPI, dan kemudian untuk menindak lanjuti keputusan pemerintah tersebut, maka Dirjen Migas dengan suratnya NO 22613/13/DJM.E/2008 tanggal 18 Desember 2008 meminta Kepala BP Migas segera menindaklanjuti kebijakan pemerintah tersebut untuk memasok kondensat bagian negara untuk keperluan kilang TPPI, agar dapat memproduksi Mogas 88, kerosene dan solar.

Jadi, kata Tumpal, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Raden Priyono dan Djoko Harsono, tidak mencerminkan fakta-fakta yang dituangkan dalam Berita Acara Penyidikan (BAP).

“Dakwaan terhadap terdakwa tersebut cenderung dipaksakan,” ujarnya.

Menurut Tumpal, JPU dalam membuat surat dakwaan terhadap Raden Priyono, mantan Kepala BP Migas dan Djoko Harsono, mantan Deputi Keuangan BP Migas, telah mengabaikan fakta adanya kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan penunjukan penjual kondensat bagian negara tersebut.

“Oleh karena Raden Priyono Djoko Harsono hanya menjalankan kebijakan pemerintah. Oleh karenanya, tidak ada perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dalam pelaksanaan penunjukan TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tersebut,” jelasnya.

Uraian dakwaan JPU yang menyatakan Raden Priyono tidak melakukan pengawasan terhadap penyalahgunaan kondensat oleh TPPI, membuktikan bahwa JPU tidak memahami ketentuan perundangan mengenai Migas.

Dimana sektor Migas dibagi dalam dua sektor, yaitu Hulu Migas dan Hilir Migas. Sektor Hulu adalah kegiatan di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, sedangkan sektor Hilir adalah yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.

TPPI adalah perusahaan kilang minyak yang termasuk dalam sektor Hilir yang berada di bawah pengawasan BPH Migas, sedangkan BP Migas adalah badan yang mengawasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (Hulu Migas).

Artinya, ditegaskan Tumpal lagi, dalam kasus kondensat tersebut, BP Migas hanya bertugas memasok kondensat bagian negara kepada TPPI, dan tidak memiliki kewenangan sama sekali dalam mengawasi penggunaan atau pemanfaatan kondensat yang dipasoknya tersebut oleh TPPI.

“Kewenangan pengawasan sepenuhnya kepada TPPI berada di tangan BPH Migas. Pertanyaan timbul, seyogya JPU meneliti lebih jauh apakah BPH Migas telah melakukan pengawasan dengan benar sesuai tugas dan wewenangnya kepada TPPI? Sangat disayangkan jika JPU mengetahui dan tidak meneliti lebih jauh tentang hal tersebut,” ujarnya.

Tumpal menantang aparat penegak hukum untuk menelusuri keterkaitan dengan sejumlah pihak. Kejanggalan dan keanehan lainnya dalam pengawasan terhadap TPPI tersebut, yaitu TPPI yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah, mempunyai komisaris dan direksi yang mewakili pemerintah.

Susunan direksinya waktu itu, bebernya lagi, terdiri dari Komisaris Utama: Evita Maryanti (Pertamina), Wakil Preskom: Lukita Dinarsyah (PPA/Bappenas), Komisaris: Soepomo (PPA/Depkeu), Suroso Atmomartoyo (PPA/Pertamina), dan 3 orang lainnya dari swasta.

Direksi terdiri dari Dirut, Honggo Wendratno, Wadirut, Syamsirwan Granie (Pertamina) Wadirut, Bambang L Margoadi (PPA), Direktur, Bambang Tirto Fajar (PPA) dan 3 direktur lainnya dari swasta.

Dengan adanya wakil pemerintah di jajaran Komisaris dan Direksi tersebut, tentunya patut dipertanyakan, sejauh mana peran pihak-pihak tersebut yakni Para Komisaris dan Direktur yang mewakili pemerintah, dalam pengawasan terhadap kegiatan usaha dan kewajiban TPPI yakni Honggo Wendratno.

“Jika benar ada penyalahgunaan pemanfaatan kondensat tidak untuk diolah menjadi BBM dan ketika kewajiban pembayarannya ke BP Migas mengalami masalah. Itu mesti dibongkar,” terang Tumpal. (katta.id).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar