Kutaramanawa

Lebih Jauh Tentang Kutaramanawa (KUHP Era Majapahit)

Minggu, 23/02/2020 21:16 WIB
Kitab Undang-Undang Kutara Manawa zaman Kerajaan Majapahit berisikan aturan dan sanksi perkara pidana dan perdata. (Malangnews).

Kitab Undang-Undang Kutara Manawa zaman Kerajaan Majapahit berisikan aturan dan sanksi perkara pidana dan perdata. (Malangnews).

Jakarta, law-justice.co - Merupakan Kitab Perundang Undangan pada jaman Majapahit terdiri dari 272 pasal.

Kitab Hukum Kutaramanawa disusun berdasarkan kitab Hindu yang lebih tua yaitu kitab Kutarasastra dan Manawasastra. Dengan demikian dari kitab hukum tersebut, merupakan salah satu contoh wujud akulturasi dengan kebudayaan India.

Susunan Kitab Kutaramanawa sebagai berikut :
• Bab I : Ketentuan umum mengenai denda
• Bab II : Delapan macam pembunuhan yang disebut Astadusta
• Bab III : Perlakuan terhadap hamba disebut kawula
• Bab IV : Delapan macam pencurian disebut Astacorah
• Bab V : Paksaan atau sahasa
• Bab VI : Jual beli atau adol-atuku
• Bab VII : Gadal atau sanda
• Bab VIII : Utang-piutang
• Bab IX : Titipan
• Bab X : Mahar atau tukon
• Bab XI : Pernikahan atau kawarangan
• Bab XII : Mesum atau pradara
• Bab XIII : Warisan atau drewe kaliliran
• Bab XIV : Caci-maki atau wakparusya
• Bab V : Menyakiti atau dandaparusya
• Bab XVI : Kelalaian atau kagelehan
• Bab XVII : Perkelahian atau atukaram
• Bab XVIII : Tanah atau bumi
• Bab XX : Fitnah atau duwilatek

Kutipan Isi Kitab Kutaramanawa:
Sekarang akan kami beritahukan, siapakah yang disebut delapan pencuri itu:
1. Mereka yang menjalankan pencurian
2. Mereka yang mengasut supaya mencuri
3. Mereka yang memberi makanan kepada seorang pencuri
4. Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri
5. Mereka yang bersahabat dengan seorang pencuri
6. Mereka yang memberi petunjuk kepada seorang pencuri hingga mendapat
kesempatan untuk mencuri
7. Mereka yang menolong seorang pencuri
8. Mereka yang menyembunyikan seorang pencuri,

inilah yang disebut delapan orang pencuri itu, dan mudah-mudahan mereka itu dihukum oleh baginda: tetapi ayah mereka, ibu mereka, anak-anak mereka dan saudara-saudaranya yang lain tidak boleh dihukum oleh baginda, kalau mereka itu tidak ikut bersalah: hanya delapan orang yang tersebut di atas itu boleh dihukum.

Hukuman-hukuman yang diberikan kepada delapan orang pencuri itu berlainan. Bagaimana cara memberikan hukuman itu dapat dilihat dalam bagian 22 dan 23, bagian-bagian itu sebagai berikut bunyinya :

Bagian 22. Mereka yang mencuri dan mereka yang menghasut supaya mencuri, kalau ada bukti-buktinya, dapat dikenakan hukuman mati oleh baginda; isteri, anak pencuri itu dengan segala hak miliknya dibawa kedalam tempat tinggal baginda untuk dijual oleh baginda atau diberikan kepada orang lain; isteri dan anak mereka yang menghasut supaya mencuri, boleh tetap ditempat tinggalnya dan dikenakan denda 10.000; kalau mereka juga ikut menghasut supaya mencuri, maka mereka itu harus mati pula oleh baginda. 21

Bagian 23. Mereka yang memberi tempat tinggal kepada seorang pencuri juga mereka yang memberi makan kepada seorang pencuri, kalau ada bukti-buktinya, dikenakan denda 20.000 oleh baginda; isteri dan anak-anaknya tidak dikenakan hukuman; mereka yang menjembunyikan seorang pencuri atau menjaga seorang pen-curi, dan mengatakan bahwa ia itu bukan pencuri, atau mereka yang menyingkirkan seorang pencuri; sedang terdapat bukti-bukti yang menyatakan, bahwa orang itu pencuri, dikenakan denda 40.000 oleh baginda; mereka yang membantu pencuri, sedang tahu bahwa orang itu pencuri, atau berdiam diri, sedang mereka itu telah lama bersahabat dengan orang itu, dikenakan denda 10.000 oleh baginda; kalau mereka itu menghasut pula supaya mencuri, maka mereka itu dikenakan hukuman mati pula oleh baginda.

Yang sangat menarik yaitu peraturan mengenai pemberantasan guna-guna atau tenung, yang kita sekarang sangat ganjil mendengarnya, oleh karena jaman sekarang hal semacam itu dianggap sebagai takhayul dan tidak untuk memasukkannya kedalam suatu ayat undang-undang. Ini diuraikan dalam bagian 173. Bunyinya sebagai berikut:

Jika orang menulis nama orang lain pada pakaian atau kain orang meninggal, atau pada kain yang berbentuk boneka, atau boneka terbuat dari tepung dan mengubur boneka itu dikuburan, atau meletakkannya di dalam pohon, ditanah yang telah dibubuhi mantera, atau pada simpang:m jalan, maka orang yang demikian itu dianggap sebagai tukang sunglap yang jahat; kalau kejahatan orang yang demikian itu terbukti, maka baginda harus membunuhnya dengan semua anak cucunya dan orang-tuanya; tidak seorangpun di antaranya boleh dibiarkan hidup oleh baginda, kalau baginda hendak mencapai kesejahteraan dunia; semua hak miliknya yang ada di dalam daerahnya boleh diambilnya.

Hidup kesusilaan pada waktu itu sangat dijunjung tinggi. Hal itu berhubung dengan kepercayaan mereka, bahwa masyarakat itu adalah sebagian dari Tuhan. Maka jika kesusilaan dilanggar, bencana akan menimpa seluruh masyarakat. Oleh karena itu lihat bagaimana kerasnya tindakan-tindakan untuk memberantas perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan. Dalam hal yang demikian rupa hukuman mati sering dengan lekas diberikan. Ini dapat dilihat dalam bagian 250:

kalau ada orang memberi hadiah kepada orang perempuan yang sudah bersuami atau orang perempuan yang dilarang oleh kasta, atau menerimanya dari orang perempuan itu karena terdorong oleh cinta hati, tidak perduli terdiri dari apakah hadiah itu, entah bedak, bunga hiasan telinga, cincin, pisau, sepotong pakaian atau hiasan, pendek kata apa saja diberikan oleh laki-laki atau perempuan sebagai hadiah, atau jika ada orang diketemukan sedang bersenda-gurau atau ketawa dengan diam-diam dengan orang perempuan, maka itu dianggap sebagai strisanggrahana zina dan ia dikenakan hukuman mati.

Pemerintah pada waktu itu juga seperti pemerintah sekarang selain berusaha memberantas bunga yang sangat besar yang dipungut oleh kaum lintah-darat. Bunga yang boleh dipungut pada waktu itu hanya setengah prosen tiap-tiap bulan, itupun bunga yang paling tinggi. Masyarakat pada waktu itu terdiri dari beberapa kasta seperti yang terdapat di India. Juga hukuman-hukuman yang diberikan kepada kasta-kasta itu berlainan. Hal ini dapat kita samakan dengan sastra yang terdapat di India. Perbedaan-perbedaan itu-dapat lihat dari bagian 220:

Kalau orang ksatriya mencaci maki orang brahmana ia dikenakan denda 2000; kalau orang waisya mencaci maki orang brahmana, ia dikenakan denda 5000; kalau orang sudra mencaci-maki orang brahmana, ia dikenakan hukuman mati; baginda 23
harus membunuh orang yang diperhamba ini. Kalau orang brahmana mencaci-maki orang ksatriya, ia dikenakan denda 1000; kalau ia mencuci-maki orang waisya, dikenakan denda 500; jika orang sudra, dikenakan 250. Sayang sekali, bahwa kita tidak dapat mengetahui ukuran uang yang dipakai pada waktu itu. Denda yang paling tinggi 160.000.

Sumber :
1. http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/kitab-hukum kutaramanawa.html

2. Sejarah Sastra Jawa.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar