Bebaskan 7 Tahanan Politik Papua, Jangan Paksakan Peradilan Sesat

Minggu, 23/02/2020 06:17 WIB
Sejumlah Tapol Papua (Jubi)

Sejumlah Tapol Papua (Jubi)

Jakarta, law-justice.co - Koalisi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Untuk Papua mendesak pemerintah segera membebaskan Tujuh tahanan politik (Tapol) Papua.

Ketutuh putra-putri asli Papua itu dituduh melakukan tindakan dugaan makar, sehingga diproses di pengadilan di Kalimantan Timur.

Jurubicara Koalisi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Untuk Papua, Emanuel Gobay menyampaikan, proses peradilan dan persidangan yang dilakukan terhadap 7 tapol Papua itu adalah sesat dan tidak memiliki bukti atas tuduhan maker.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua) ini, sebaiknya ketujuh tapol Papua itu segera dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya. Sebab, selain tak ada bukti-bukti, proses peradilan yang dilakukan pun menyalahi tata cara peradilan di Indonesia.

“Kami menduga, jika pemaksaan proses peradilan ini adalah sesat. Sebaiknya dihentikan, dan segeralah bebaskan tujuh putra asli Papua yang dituduh melakukan makar ini,” ungkap Emanuel Gobay, Sabtu (22/2/2020).

Emanuel menuturkan, pada Kamis 20 Februari 2020, tetap dipaksakan dan dilakukan persidangan kepada ketujuh tapol itu di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur.

Sidang lanjutan dengan pembacaan eksepsi dilakukan untuk para terdakwa yakni Buchtar Tabuni, Agus Kosai, Steven Itlay, Ferry Kombo, Alexander Gobai, Hengky Hilapok dan Irwanus Uropmabin.

Para kuasa hukum terdakwa yang menamakan dirinya Koalisi Penegakan Hukum dan HAM untuk Papua membacakan eksepsi atau keberatan para terdakwa. “Kami para kuasa hukum yang membacakan eksekpsi para terdakwa,” ungkap Emanuel.

Ada sebanyak 11 orang pengacara atau advokat yang tergabung dalam Koalisi Penegakan Hukum dan HAM untuk Papua melakukan pembelaan terhadap 7 tapol Papua itu.

Para Kuasa Hukum itu yakni Emauel Gobay, Yohanes Mambrasar, Yuliana Yabansabra, Wehelmina Morin, Latifah Anum Siregar, Gustaf R Kawer, Dodo Dwi Prabi, Fathul Huda Wiyashadi, Bernard Marbun dan Ni Nyoman Suratminingsih.

Emnuel melanjutkan, sebelumnya, seminggu yang lalu pada 11 Februari 2020, ketujuh tapol Papua ini telah disidangkan dengan agenda dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Papua (Kejati Papua).

Dalam dakwaannya, JPU mendakwa ketujuh tapol Papua ini melakukan tindak pidana makar atau kejahatan keamanan negara dan penghasutan untuk berbuat pidana, dengan dugaan melanggar Pasal 106 KUHP, Pasal 107 ayat 1, 2; Pasal 110 ayat 1 KUHP, Pasal 160 KUHP dan Pasal 82A ayat 2, Pasal 59 ayat 3 huruf a, b dan ayat 4 UU Ormas 02 Tahun 2017.

Emanuel menegaskan, pada pokoknya pada sidang eksepsi ini tim penasehat hukum ketujuh tapol Papua mengajukan keberatan-keberatan atas semua dakwaan JPU yang didakwakan kepada para ketujuh tapol Papua.

Emanuel mengatakan, Tim Kuasa Hukum Ketujuh Tapol Papua juga telah membaca secara cermat seluruh surat dakwaan JPU. Dan telah melakukan penelaah hukum atas seluruh dalil-dalil hukum yang digunakan JPU.

“Kami menemukan adanya kesalahan prosedur pelaksanaan sidang perkara ketujuh tapol Papua ini dan juga dakwaan JPU tidak disusun sesuai ketentuan KUHAP tentang penyusunan surat dakwaan,” ungkap Emanuel.

Dia merinci, pelanggaran prosedural dalam persidangan itu yakni tentang kewenangan Pengadilan Negeri kelas 1 A Balikpapan dalam mengadili perkara tujuh tapo Papua ini.

“Pengadilan Negeri Balikpapan tidak berwewenang mengadili perkara tujuh tapol Papua ini karena tempat kejadian perkara atau lokus delicti berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jayapura, Papua,” ungkapnya.

Sesui ketentuan Pasal 84 ayat 1 dan 2, lanjutnya, maka ketujuh tapol Papua ini wajib disidangkan di Pengadilan Negeri Jayapura. Dan bukan disidangkan di Pengadilan Negeri Balikpapan.

Bahkan, sebelumnya walaupun tujuh tapol Papua ini dipindahkan dari pengadilan Negeri Jayapura ke Pengadilan Negeri Balikpapan telah mendapatkan penetapan Fatwa Mahkma Agung RI melalui Fatwa Mahkwama Agung Ri Nomor 167/KMA/SK/X/2019, namun Fatwa Mahkama Agung ini sendiri dibuat tidak berdasarkan ketentuan hukum yang kuat.

“Sebab, penetapan Fatwa ini dilakukan tanpa mempertimbangkan pendatap atau saran dari keluarga ketujuh tapol, penasehat hukum dan ketujuh tapol ini sendiri,” ujar Emanuel.

Demikian juga alasan keamanan yang menjadi dalil utama lahirnya fatwa ini, katanya, juga tidak berdasar. Karena hingga saat ini kondisi keamanan di wilayah hukum pengadilan Jayapura aman-aman saja.

“Ini dibuktikan dengan pelaksanaan berbagai sidang, termasuk tersangka lain dalam perkara rasisme juga telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jayapura, yang semuanya berjalan normal seperti biasanya,” jelas Emanuel. (Katta.id).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar