Hasjim Djalal, Ahli Hukum Laut Internasional dan Mantan Diplomat:

Isu Radikalisme dan Krisis Laut Natuna Ancam Kedaulatan NKRI

Minggu, 23/02/2020 07:51 WIB
Hasjim Djalal (law-justice.co/Lili Handayani)

Hasjim Djalal (law-justice.co/Lili Handayani)

law-justice.co - Di balik pengakuan dunia atas Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) ada sosok kunci yang mempunyai peran penting dalam proses pencapaian tersebut. Dialah Hasjim Djalal, diplomat yang bertahun-tahun memperjuangkan Deklarasi Juanda 1957 pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada tahun 1982. Di usianya yang ke-85 tahun, ketika semua cita-citanya sudah tercapai, ternyata Hasjim masih memiliki segudang gagasan untuk Indonesia yang lebih besar.

Tidak sulit membuat janji dengan Hasjim. Padahal ia adalah diplomat ulung di sektor kelautan. Sosok berpengaruh yang membuat Indonesia memiliki kewenangan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sejak 40 tahun lalu.

law-justice.co diterima Hasjim di kantornya di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (18/2) lalu. “Wah…ternyata eyang sudah berada di kantor sepagi ini,” kami membuka percakapan, saat masuk ke ruangan Hasjim yang penuh dengan tumpukan buku, koran, dan berkas-berkas penting lainnya. Saat itu waktu baru menunjukkan pukul 10 pagi. “Ya begini lah. Do what ever you can. Harus tetap bekerja, tapi jangan dipaksakan,” jawabnya.

Hasjim sudah lama pensiun dari guru besar Universitas Padjajaran, Bandung. Tapi dia ogah hanya duduk dan menikmati masa tua di rumah. Sampai saat ini, ia masih tercatat sebagai penasihat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) dan menjadi anggota  tim hukum di Kementerian Pertahanan. Bahkan, sekali-sekali ia masih mengisi kuliah yang ada kaitannya tentang zona kelautan Indonesia. 

“Tapi saya hanya datang kalau diundang dan dimintai pandangan. Kalau tidak, ya saya berkantor di sini. Mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Atau cuma baca-baca buku dan koran,” kata dia. 

Usia lanjut, memaksa Hasjim menggunakan alat bantu dengar untuk berkomunikasi.  Ia juga harus memakai tongkat jika berjalan jauh. Tapi itu tidak menghalanginya langkahnya untuk tetap besosialisasi di luar rumah. Hasjim bercerita, ia senang berjalan-jalan keliling di lapangan Monas seorang diri. Ia bahagia melihat banyak anak-anak muda saling bercengkrama. “Di sana enak, banyak pohon. Senang lihat anak-anak dari luar kota hilir mudik. Saya sering menghabiskan waktu sekitar satu  jam untuk jalan-jalan di Monas,” ujarnya.  

Hasjim Djalal, masih sehat dan segar di usia 85 (law-justice.co/Lili Handayani)

Kegemarannya itu tidak lepas dari kenangan masa kecil di kampung halaman, Ampang Gadang, Sumatera Barat. Di sanalah ia lahir dan menghabiskan masa remaja. Bermain di sawah, memancing belut, mengejar layang-layang, dan bermain sepak bola. 

Kehidupan masa kecil yang ternyata masih segar diingatannya, bahkan pada hal-hal kecil sekali pun. Ia mengatakan, hidup di kampung sebagai anak petani adalah pengalaman yang berkesan. Di sana  ia menemukan cita-cita untuk menjadi diplomat. Di desa pula ia dididik menjadi anak yang disiplin dan gigih mengejar cita-cita. 

Hasjim lahir di Ampang Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Februari 1934, bungsu dari tiga bersaudara. Ia menamatkan Sekolah Dasar di Tanjung Alam, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah di Kota Bukittinggi.

Ayahnya seorang tokoh agama ternama di kampungnya bernama H. Djalaluddin atau biasa disapa Inyiak Jala. Beliau punya madrasah atau surau. Di Surau inilah anak-anak di sana belajar ilmu agama dari sore hari sampai magrib. 

Inyiak Jala selalu berpesan kepada Hasjim kecil, bahwa ia harus punya cita-cita. Ketika sudah menetapkannya, kejarlah cita-cita itu dengan bersungguh-sungguh. Jangan tergoda dengan hal-hal yang bisa memalingkan kita dari impian tersebut. 

“Kalau kamu sedang berlari mengejar layang-layang, jangan tergoda dengan lubang belut. Nanti layang-layangnya masuk sawah, masuk kolam, atau diambil orang. Setelah dapat layang-layang, kamu boleh kembali lagi cari belutnya,” kata Hasjim, menirukan omongan ayahnya.

Hasjim juga punya pengalaman berkesan dengan Presiden Soekarno. Saat itu, sang Proklamator sedang berkunjung ke Bukittinggi dan berpidato di lapangan. Ia ingat betul apa yang diucapkan Bung Karno, “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit, dan berusahalah mencapainya.”

Hasjim saat itu belum begitu mengerti apa itu cita-cita. Sampai ia duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama, guru sejarahnya, Pak Kamal, bercerita tentang perang Napoleon tahun 1915. Perdamaian pasca perang Napoleon berhasil terwujud berkat diplomasi Menteri Luar Negeri Austria bernama Klemens von Metternich. 

Sejak itu Hasjim mulai mengenal istilah diplomat dan ia penasaran dengan profesi tersebut. “Saya pikir, enak juga jadi diplomat. Bisa mendamaikan negara-negara,” kenang Hasjim. Tekad Hasjim pun  bulat untuk menjadi seorang diplomat. Ia mulai membaca semua informasi tentang Departemen Luar Negeri (Deplu) dan belajar bahasa asing dengan serius. 

Setamat dari SMA, tahun 1953, untuk meraih cita-citanya itu ia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun sayang, keluarganya tidak punya cukup uang untuk membiayai kuliah di ibukota. “Ayah bilang, saya harus pandai hidup sendiri. Mereka tidak bisa banyak bantu saya membiayai kuliah dan hidup di Jakarta,” kenang Hasjim. 

Ia ingat betul hanya dibekali uang untuk beli tiket kapal dan bertahan hidup selama dua bulan di Jakarta. Itu pun hasil menjual panen padi di sawah. Hasjim harus memikirkan bagaimana supaya bisa bertahan di Jakarta, dan bisa tetap kuliah. 

Saat pertama tiba di Jakarta, Hasjim tinggal di rumah kerabat sekampung di Gang Sentiong, Jakarta Barat. Masih kental di ingatannya, rumah tersebut terletak di kompleks yang padat. Hanya ada satu kamar dan ruang makan.  “Tahu saya tidur dimana? Saya tidur di dapur, dekat WC. Saya ambil kursi, dijajarkan, lalu saya tidur di atas kursi itu. Saya pernah cek lagi, rumah itu tidak ada sekarang. Kakak itu banyak membantu saya, tapi saya tidak tahu dia di mana sekarang,” kenang Hasjim. 

Usaha memang tidak mengkhianati hasil. Tidak perlu waktu lama, ia berhasil mendapatkan beasiswa di dua tempat sekaligus, yaitu di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN). Setiap bulannya, Hasjim menerima uang Rp 750 untuk biaya hidup. Dari uang tersebut ia bisa membayar biaya indekost, bahkan mengirim beberapa rupiah ke orang tuanya di kampung. 

Ujian pertama Hasjim dalam proses mencapai cita-citanya menjadi diplomat akhirnya tiba. Ia dipanggil oleh Fakultas Ekonomi UI untuk menandatangi kontrak. Isinya, setelah lulus harus bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. “Saya bilang tidak mau. Saya mau jadi diplomat. Mereka kaget, karena semua orang pasti mau setelah lulus langsung mendapat kerja. Tapi saya ingat pesan ayah saya, jangan tergoda dengan lubang belut,” tutur Hasjim. 

Akhirnya beasiswa dari Fakultas Ekonomi UI diputus. Hasjim tidak menyesalinya. Ia tetap senang karena masih mendapat beasiswa dari ADLN. Konsekuensinya, ia harus bekerja paruh waktu untuk menambah uang bulanan.

Hasjim sempat bekerja di toko buku Gunung Agung, Jakarta Pusat. Hasjim bercerita, sang pemilik toko pernah menawarkan dia untuk sekolah di Kuala Lumpur, Malaysia. Semua biaya akan ditanggung jika Hasjim ingin mengambil jurusan Perpustakaan. Lagi-lagi Hasjim menolak. Keputusannya sudah bulat, ia ingin menjadi diplomat. “Saya hanya berusaha menghindari godaan-godaan saat mengejar cita-cita,” tegasnya. 

Akhirnya, Hasjim berhasil menyelesaikan studi  di ADLN pada tahun 1956. Setahun kemudian ia resmi menjadi pengawai di Departemen Luar Negeri. Baru bekerja dua bulan, Hasjim mendapat tawaran beasiswa Magister Ilmu Politik Internasional di University of Virginia, Amerika Serikat. 

Pada 1959 Hasjim menyelesaikan studi magisternya. Belum sempat pulang dan kembali ke Deplu, ia kembali mendapat tawaran beasiswa program doktoral di universitas yang sama. 

Hasjim pun bimbang, karena saat  itu, belum ada pegawai Deplu yang mendapat gelar Ph.D. Program doktoral saat masih dianggap terlalu berlebihan bagi seorang diplomat. Lagi pula, teman-teman seangkatannya memutuskan pulang ke Indonesia untuk meneruskan karier di Deplu. Ada kekhawatiran, kariernya akan tertinggal dari teman-temannya.

“Tiba-tiba saya ingat perkataan Bung Karno. Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Akhirnya saya minta izin ke Deplu, tambah dua tahun lagi di Amerika,” kata Hasjim. Di luar dugaan, ia mampu menyelesaikan program doktoral hanya dalam waktu 1,5 tahun. Disertasinya berjudul The Limits of Territorial Waters in International Law membawanya   meraih gelar Ph.D bidang Ilmu Hukum Laut Internasional. 

Sekembalinya ke Deplu, Hasjim langsung menjadi salah satu anggota tim yang menyiapkan Konvensi UNCLOS 1982. Misinya adalah membawa aspirasi Indonesia sebagai negara kepulauan pada sidang Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Indonesia saat itu berjuang dengan beberapa negara seperti Filipina dan Mauritius. Tugas Hasjim tidak mudah. Ia harus keliling ke beberapa negara untuk meyakinkan dunia bahwa Indonesia pantas diakui sebagai negara kepulauan. Saat itu, tidak kurang 70 negara ia kunjungi.

“Saya pakai diplomasi Padang, makan basamo (makan bersama). Enak sama enak. Jangan yang enak kita saja, lantas yang lain kita kasih yang tidak enak. Dengarkan pendapat orang, jangan dibantah. Tapi kita juga harus perjuangkan apa yang kita inginkan,” jelas Hasjim, mengenang bagaimana akhirnya mereka berhasil memperjuangkan Deklarasi Djuanda di Konvensi UNCLOS 1982. 

Tidak terasa, waktu berlalu dengan cepat. Hasjim telah kenyang pengalaman hidup yang sangat berharga. Jatuh bangun dalam meraih cita-cita, ia membuktikan kerja keras pasti menuai hasil.

Di hari tuanya kini, ia tinggal di wilayah Kemang, berdua dengan istrinya, Jurni. Perempuan asal Solok, Sumatera Barat, yang ia nikahi pada tahun 1963. 

Hasjim dan Jurni dikaruniai tiga anak, Dino Patti Djalal, Iwan Djalal, dan Dini Djalal. Dino Patti Djalal mengikuti jejak Hasjim menjadi seorang diplomat. Dino sempat menjabat sebagai Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2010), Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (2010-2013), dan Wakil Menteri Luar Negeri (2014). 

“Sekarang saya hidup berdua sama pacar saya. Hahahaha. Istri, kan (juga) pacar. Bukan mantan pacar. Sekali pacar, tetap pacar. Kenapa ya, orang-orang selalu bilang ‘aneh’ kalau saya sebut istri sebagai pacar? Hahaha,” kelakarnya.

Hasjim mengatakan ia puas dengan pencapaian pribadinya. Ia sudah berkunjung ke-186 negara. Hampir semua yang diinginkan sudah tercapai. Mulai dari cita-cita masa kecil, sampai beberapa ‘godaan’ yang dulu ia istilahkan sebagai lubang belut. 

Hanya saja, ada yang masih mengganjal di benak Hasjim, tentang kondisi Indonesia saat ini. Menurut dia, perpolitikan Indonesia sekarang terlalu disibukkan dengan ancaman yang mengganggu kedaulatan NKRI. Terutama sekali, datang dari isu radikalisme dan krisis di laut Natuna. 

Gangguan-gangguan itu membuat orang lupa dengan visi untuk terus membesarkan wilayah dan pengaruh Indonesia di mata dunia. Misalnya, ia tidak lagi melihat ada ambisi meluaskan Indonesia di udara, lepas laut, dan kedalaman laut. 

“Saya bahkan tidak pernah lagi mendengar ada perempuan yang ingin jadi astronot. Terakhir kan Ibu Pratiwi (Pratiwi Pujilestari Sudarmono) itu. Kami dulu memiliki visi untuk membesarkan Indonesia. Meluaskan kewenangan Indonesia di udara, ke samudera, ke dasar laut. Bahkan ingin sampai ke antartika. Visi itu yang tidak saya lihat. Mungkin visi kita saat ini bukan lagi untuk membesarkan Indonesia,” Hasjim Djalal, menutup obrolan kami siang itu.

 

 

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar