RUU Cipta Kerja Dibuat Agar Sentralisasi Kekuasaan di Tangan Presiden

Sabtu, 22/02/2020 13:56 WIB
Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Polemik tentang Omnibus law Rancagan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang digodok oleh pemerintah terus terjadi di masyarakat. Aksi penolakan pun terus dilakukan karena melalui RUU itu disinyalir ada upaya sentralisasi kekuasaan, dimana Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengubah aturan lainnya hingga Undang Undang (UU).

Hal itu disampaikan pakar hukum dari Sekolah Jentera, Bivitri Susanti di sela-sela serial diskusi bertajuk "Mengapa Galau pada Omnibus Law?" di Pizza Kayu Api, The Maj, Senayan, Jakarta, Sabtu (22/2).

"Kalau bicara Ciptaker ini yang sekarang terjadi memang didesain untuk menarik kekuasaan kepada pusat. Kekuasaan ditarik ke tangan presiden. Contoh Pasal 170 tadi," kata Bivitri Susanti.

Menurut dia, sentralisasi yang sangat konkrit antara lain bahwa aturan dalam Pasal 170 itu bahwa jika nanti ada hal-hal lain yang belum dijangkau UU ini maka bisa diatur selanjutnya oleh pemerintah. "Ayat 2 pengaturan selanjutnya itu dilakukan melalui Peraturan Pemerintah," imbuhnya.

Padahal, lanjut Bivitri Susanti, di dalam konstitusi sabagaimana termuat dalam UU bahwa ada aturan baku tentang pembentukan perundang-undangan, dimana PP itu tidak bisa membatalkan UU.

"Namanya materi UU tidak boleh diatur oleh PP. Karena logika demokrasi perwakilanya adalah yang terlepas kita merasa terwakili atau tidak, sehingga materi muatan yang dianggap sangat mendasar dan pidana hanya diatur kalau kuasa wakil rakyat," tegasnya.

"Nah Pasal 170 ternyata butuh pengaturan lebih lanjut tapi belum diatur Ciptaker ini bisa diatur pemerintah melalui PP?," tandasnya.

Selain Bivitri Susanti, turut hadir sejumlah narasumber antara lain; anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih, dosen UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Andi Syafrani, dan Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati. (Rmol)

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar