Lagi Butuh Banyak Gas, Dua Blok Gas Raksasa Malah Mangkrak

Jum'at, 21/02/2020 20:10 WIB
ilustrasi Blok Masela (Rakyat Maluku)

ilustrasi Blok Masela (Rakyat Maluku)

Jakarta, law-justice.co - Permintaan terhadap kebutuhan gas di dalam negeri disebut makin meningkat dari waktu ke waktu. Namun, ditengah kondisi ini dua blok gas raksasa RI yakni blok Masela dan blok Natuna malah mangkrak selama bertahun-tahun. Jika kedua blok raksasa ini terus dibiarkan tak berproduksi sementara permintaan gas terus naik, maka akan ada defisit yang ujungnya harus ditambal dengan impor.

Impor yang jor-joran terutama di sektor migas bukan hal yang baik untuk perekonomian dalam negeri. Sejauh ini apa yang membuat neraca dagang dan transaksi berjalan tanah air mengalami defisit adalah impor minyak yang mengalir deras.

Pada 2019, Indonesia tekor US$ 15,7 miliar karena impor minyak mentah dan hasil minyak. Namun neraca gas masih bisa surplus US$ 6,4 miliar. Itulah yang membuat neraca dagang migas RI tekor US$ 9,35 miliar.

Neraca gas memang masih surplus. Namun jika sektor gas dalam negeri juga tak dibenahi bukan tak mungkin neraca gas juga akan tekor. Impor minyak sudah ditekan tapi kalau sebagai gantinya Indonesia harus impor gas sama saja bohong.

Sebenarnya Indonesia memiliki cadangan gas yang besar. Nomor dua terbesar setelah China di kawasan Asia Pasifik. Menurut data handbook of energy and economics of Indonesia yang dirilis kementerian ESDM, pada 2018 cadangan gas bumi Indonesia mencapai 135,55 triliun standard kaki kubik (TSCF).

Dua blok gas raksasa yang dimiliki RI yakni blok Masela dan Natuna malah mangkrak. Berdasar data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), volume gas di blok East Natuna bisa mencapai 222 TSCF.

Tapi cadangan terbuktinya hanya 46 TCF , jauh lebih besar dibanding cadangan blok Masela yang 10,7 TCF. Saat ini pemerintah sedang mengejar agar blok Masela yang kontraknya sudah diteken pada 2019 bisa berproduksi lebih cepat pada 2026.

Sementara untuk blok Natuna masih menghadapi kendala terutama kendala teknis. Menurut Plt. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto, di Natuna terdapat dua lapangan, yakni minyak dan gas.

Djoko mengatakan untuk mengembangkan lapangan gas secara teknis itu sulit, karena kandungan karbondioksida (CO2) di blok tersebut sangat tinggi, bisa mencapai 72%. Sehingga yang paling memungkinkan untuk segera dikembangkan adalah lapangan minyak.

"Natuna itu kan ada gas ada minyak minyak itulah yang mau dikembangkan ada dua lapangan di situ. Dua satu gas satu minyak kan dan gas yang kandungan CO2nya 70 % itu nanti dulu dikembangkan ini yang minyak dulu. Saya lupa (lapangannya apa)," ungkapnya

Indonesia Impor Gas Besar-besaran 2050?

Namun mangkraknya dua blok raksasa itu tak bisa dibiarkan terus menerus pasalnya permintaan gas dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut kajian Dewan Energi Nasional (DEN) permintaan gas yang meliputi gas pipa, LPG dan LNG pada 2050 nanti bisa mencapai 222 juta ton ekivalen minyak (MTOE).

Padahal DEN memperkirakan produksi gas akan terus turun karena tidak ditemukannya cadangan baru. Pada 2018 produksi gas dalam negeri mencapai 77,65 MTOE dan jumlah tersebut akan turun menjadi 66,3 MTOE pada 2050.

Dalam kajiannya tersebut DEN memperkirakan pada 2040 Indonesia tak lagi mengekspor gas dan mulai fokus pada kebutuhan domestik. Bahkan Indonesia akan mengimpor gas pada 2050 sebanyak 74-101 MTOE menurut perhitungan mereka.

Sampai saat ini gas masih banyak diserap untuk kebutuhan industri tanah air. Gas banyak dikonsumsi untuk memenuhi industri logam, pupuk (sebagai bahan baku) dan keramik. Ketiga industri ini menyerap 83% gas dari total kebutuhan gas industri.

Gas ke depan tak hanya akan di serap di sektor industri saja. Namun juga sektor komersil dan rumah tangga akan menjadi pendongkrak kebutuhan gas tanah air, mengingat kebijakan bauran energi tanah air akan terus mendiversifikasi sumber energi.

Pada 2025, gas ditargetkan menyumbang 30% bauran energi tanah air. Sementara hingga sampai saat ini porsi gas masih berada di level kurang dari 20%. Masih jauh dan akan sangat sulit dicapai jika masalah produksi gas saja tak segera ditangani.

Terkait gas, masalahnya bukan saja terletak di produksi saja. Namun juga pada distribusinya. Jaringan distribusi juga harus terus dibangun jangan sampai ada isu kelangkaan gas yang sempat menerpa industri pupuk tanah air seperti yang sudah-sudah.

Berdasarkan data Pupuk Indonesia, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Pupuk Kujang dan PT Petrokimia Gresik masih kekurangan pasokan gas sebagai bahan baku untuk pembuatan pupuk.

Sementara untuk Pusri Palembang, pasokan gas tidak ada masalah sampai 2023. Tapi alokasi untuk 2024 belum terjamin dan diperkirakan akan kurang. Peristiwa serupa sebenarnya juga pernah terjadi di tahun 2013.

Mengutip situs resmi Kementerian Perindustrian, pada 2013 kekurangan pasokan gas juga dialami oleh PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Untuk antisipasi jangka pendek, PIM diupayakan mendapatkan gas dari kilang Arun, yang mengolah gas dari ladang Tangguh, Papua Barat milik BP.

Namun karena jarak yang jauh, biaya yang harus ditanggung pun lebih besar. Untuk 1 kargo gas dengan muatan 3.300 million metric standard cubic gas (mmscfd) sehingga PIM harus merogoh US$ 24juta.

Akibatnya, PIM terpaksa menonaktifkan satu dari dua pabrik yang ada. Produksi PIM dengan mengoperasikan satu pabrik mencapai 50.000 ton per bulan.

Well memang PR sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk membenahi sektor migas agar eksplorasi, produksi dan distribusi dapat berjalan lancar dan yang terpenting ga tekor karena harus impor jor-joran. (cnbcindonesia)

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar