Aznil Tan, Direktur Eksekutif INFUDS dan Koordinator Nasional Poros Benhil

Lumuran Darah Korban HAM Paniai Mengalir ke Istana

Jum'at, 21/02/2020 06:05 WIB
Presiden Jokowi Kembali Kunjungi Papua. (TimesIndonesia)

Presiden Jokowi Kembali Kunjungi Papua. (TimesIndonesia)

Jakarta, law-justice.co - Tercatatlah sebuah sejarah kelam anak bangsa yang dikenal tragedi Paniai berdarah.

Peristiwa terjadi pada tanggal 7-8 Desember 2014 dimana Moeldoko pada saat itu masih menjabat sebagai Panglima TNI yang diangkat semasa Presiden SBY meski sudah ada pergantian presiden Indonesia dari SBY ke Jokowi.

Belum cukup berumur 2 bulan pemerintahan Jokowi jadi Presiden RI ke 7, tiba-tiba Indonesia dikejutkan oleh peristiwa pembantaian anak bangsa di Papua yang sangat mengerikan. Tragedi berdarah ini dilansir oleh Pusaka, lembaga nirlaba yang fokus mempromosikan hak-hak masyarakat adat.

Pada malam itu, 7 Desember 2014 di Pondok Natal Bukit Merah, Kampung Ipakiye, Kabupaten Paniai, Papua. Ada tiga pemuda menegur seorang TNI yang mengendarai motor dari Enarotali menuju Madi tanpa menyalakan lampu. Atas teguran itu terjadilah pertengkaran.

Anggota TNI itu tidak terima lalu kembali ke pos dan membawa serta temannya. Kemudian mereka diduga menyiksa pemuda yang tadi menegurnya hingga pingsan.

Keesokan harinya, masyarakat Paniai mendatangi kantor Polsek Paniai dan Koramil 1705-02/Enarotali untuk meminta penjelasan. Mereka protes dengan cara menyanyi dan menari.

Situasi memanas lantaran ada lemparan batu. Aparat merespons dengan tembakan. Akibatnya, empat orang berusia 17-18 tahun tewas akibat luka tembak dan luka tusuk. 21 orang lain mengalami luka penganiayaan.

Sungguh tragis! Di era reformasi dan keterbukaan masih saja aksi kekerasan menjadi pola dalam penyelesaian konflik. Entah kapan pola seperti ini bisa diakhiri?

Atas tragedi Paniai berdarah, para orang tua korban terus-menerus menuntut kejelasan peristiwa tersebut, terutama terkait siapa yang membunuh anak-anak mereka. Mereka bahkan pernah menolak uang kompensasi sebesar Rp 4 miliar dari pemerintah.

Lima tahun lebih berlalu, bulan Februari 2020 diputuskan oleh Komnas HAM secara aklamasi sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Hal ini diputuskan Komnas HAM dalam sidang paripurna yang digelar pada 3 Februari 2020.

Moeldoko Dalam Lumuran Darah?

Jokowi dipilih sebagai Presiden RI karena sosok "orang baik". Tetapi hal ini sangat berbanding terbalik dengan orang bawahannya.

Moeldoko yang ditunjuk Jokowi memimpin Kantor Staf Presiden (KSP), sekarang menjadi sorotan publik.

Dari peristiwa perekrutan anaknya sebagai tenaga profesional KSP, kasus dugaan keterlibatan dalam skandal korupsi Jiwasraya dan Asabri sampai membentuk 13 penasihat KSP di luar ketentuan Perpres 83 Tahun 2019.

Sekarang dihebohkan dugaan Moeldoko atas kasus kejahatan HAM Berat di Paniai.

Di dalam lingkungan Istana tepatnya di Gedung Bina Graha dimana tempat Presiden Soeharto dulu berkantor, Moeldoko dengan reaktif menyatakan bahwa tragedi Paniai bukan pelanggaran HAM berat karena yang dilakukan aparat merupakan reaksi tak terencana.

Publik pun terkaget-kaget mendengar pernyataan Moeldoko tersebut. Moeldoko seolah-olah memanfaatkan posisi dia sebagai kepala KSP menjadi pernyataan Istana, sedangkan dia tidak punya kapasitas untuk mengeluarkan pernyataan itu.

Publik pun tidak diam. Dari pantauan yang saya himpun, baik dari media massa maupun yang menyatakan langsung ke saya mengecam pernyataan Moeldoko tersebut.

Pertama, publik mengecam karena Moeldoko tidak memiliki kapasitas untuk mengatakan tragedi Paniai Berdarah bukan pelanggaran HAM berat.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Yang berwenang melakukan penyelidikan dan mengungkapkan pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan sangat berbahaya kalau pejabat tinggi selevel Kepala Staf Kepresidenan tidak mengerti dan tidak menghormati undang undang.

Isnur mengatakan lebih lanjut bahwa pernyataan Moeldoko tersebut menunjukkan bahwa pejabat-pejabat tingkat tinggi tidak menghargai konstitusi dan Indonesia sebagai negara hukum.

Kedua, publik mengecan karena Moeldoko melakukan pembohongan publik dan dengan terang-terangan membela peristiwa pembunuhan anak bangsa Papua. Dia mengatakan bahwa Tragedi Paniai Berdarah merupakan sebuah tindakan yang kaget atau tiba-tiba.

Militer Indonesia dibentuk bukan untuk reaksioner (kaget atau tiba-tiba). Operasi militer ialah sebuah aksi perencanaan dan pengaturan angkatan militer.

Dari penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM selama 5 tahun sejak 2015 mengeluarkan hasil bahwa kejadian itu memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan. Tim memeriksa 26 saksi, meninjau dan mengecek tempat kejadian perkara di Enarotali, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa.

Prasyarat utama terpenuhi bahwa adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan dilakukan secara sistematis atau meluas yang ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan.

Orang yang punya ambisi ingin menjadi orang nomor satu ini tidak pantas mengeluarkan pernyataan tersebut yang merendahkan hasil putusan lembaga negara yang sangat berwewenang untuk melakukan tugas itu.

Moeldoko harus tahu bahwa hasil putusan hukum Komnas HAM bukan untuk diperdebatkan, apalagi dia seorang pejabat negara dalam pemerintahan.

Sekretaris Dewan Adat Papua John Gobai mengatakan demi penegakan HAM di tanah Papua jangan ada kesan melindungi oknum yang terlibat. Lebih baik mantan panglima TNI itu mengikuti proses dan tunduk kepada keputusan Komnas HAM.

Ketiga, publik menunut Moeldoko adalah orang yang patut diduga ikut merestui peristiwa pembantaian anak bangsa Papua pada tanggal 8 Desember 2014.

Pada pengadilan HAM nanti, Moeldoko patut diperiksa oleh Komnas HAM sebab dia menjabat Panglima TNI ketika kasus Paniai terjadi.

Jika Moeldoko seorang yang bijak memimpinan TNI saat itu, dia akan hadir mencegah agar tidak terjadi peristiwa berakibat fatal merusak citra TNI. Moeldoko sepertinya membiarkan dan bahkan bisa diduga merestui pembantaian dan penganiayaan itu.

Menurut Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan bahwa Moeldoko bahkan bisa diperiksa Komnas HAM sebab dia menjabat Panglima TNI ketika kasus Paniai terjadi.

Sementara itu, Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua Socratez Sofyan Yoman menyatakan bahwa Moeldoko adalah penjahat. Kalau kejahatannya dikorek, maka ia menghindar dengan berbagai alasan.

Istana Dimasuki Orang Berlumuran Darah

Terbongkarnya tragedi Paniai berdarah yang disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat menambah deretan catatan hitam bangsa ini. Negeri yang dianggap orang sebagai negeri ramah-tamah dan penuh persaudaraan, ternyata negeri yang mengerikan. Nyawa anak bangsa sangat mudah dihabisi dan dianiaya.

Jokowi sosok "orang baik" kembali dipertanyakan kepada saya.

Saya sebagai relawan militan Jokowi dan Aktivis 98 sedang dipertanyakan komitmen dan konsistensi saya dalam melawan kejahatan HAM dan KKN. Apakah saya membiarkan Jokowi yang saya agungkan selama ini sebagai "orang baik" atau melawan?

Pada tahun 1998 dulu, kami mahasiswa menuntut reformasi adalah perlawanan pada membudayanya praktik-praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) serta kejahatan HAM.

Kami ingin membangun Indonesia Baru sebagai negara civil society dimana tidak ada lagi ada KKN dan kejahatan HAM di negeri ini. Sebuah negeri yang merdeka, sejahtera dan hidup penuh rukun damai. Negeri berbasiskan kinerja bukan otot atau senjata.

Ketika Jokowi muncul pada Pilpres 2014, banyak kami para Aktivis 98 menyakini Jokowi sebagai anak kandung Reformasi yang pantas kami dukung.

Jokowi bisa diharapkan membangun tatanan berbangsa bernegara yang bisa membasmi praktik-praktik KKN sekecil apapun serta menyelesaikan permasalahan pelanggan HAM berat menimpa anak bangsa ini. Membangun negeri yang maju, rakyatnya terlindungi dan sistem pemerintahannya berkinerja tinggi serta membentuk sistem yang menutup sekecil apapun praktik KKN.

Banyak bertanya kepada saya, apakah Jokowi tidak mengetahui perbuatan kebobrokan anak buahnya? Apakah terjadinya kerusakan didalam lingkaran Jokowi itu karena Jokowi hanya sosok presiden boneka yang selama ini dituding pihak sebelah?

Pernyataan Jokowi "tidak ada beban", apakah ini maksudnya, yaitu membiarkan orang-orang bermasalah dan tidak peduli lagi dengan rakyat atau negara ini?

Banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya bertubi-tubi ke saya.

Jujur saya jawab, Allahualam. Saya bukanlah orang dekat Jokowi. Saya hanyalah pendukung Jokowi yang simpatik pads sosok kepribadian Jokowi di tengah kerumunan srigala-srigala yang ganas dan rakus.

Sepanjang saya pernah berkomunikasi dengan beliau, saya masih menyakini Jokowi adalah "orang baik". Pepatah mengatakan, "dalamnya laut bisa diukur, tapi isi hati orang kita tidak tahu".

Saya hanya bisa berharap Jokowi tidak pura-pura tidak tahu dalam hal ini. Jokowi harus bangkit dari orang-orang di sekitarnya yang menyanderanya. Kembalilah ke jati diri Jokowi!

Saya berpesan kepada Jokowi, jangan mengadaikan negara ini dengan berlama-lama mempertahankan seorang bernama Moeldoko. Itu sangat berbahaya. Taruhannya adalah keutuhan negara ini.

Tidak ada untungnya bagi Jokowi ataupun negara ini atas ditunjuknya Moeldoko memimpin KSP. Tidak ada juga bahayanya buat negara ini jika Moeldoko ditendang dari istana bahkan diadili.

Jokowi harus ingat ! Bahwa kemewahan terbesar yang harus dimiliki seorang presiden adalah dikenang sebagai presiden pelopor. Pelopor meletakkan pondasi negara ini membentuk pemerintahan yang bersih dan tidak ada kompromi menindak orang-orang busuk.

Sosok presiden yang dikenang sepanjang jaman sebagai presiden pekerja keras, sederhana dan bersih membawa Indonesia Maju.

Jangan sampai rusak sejarah yang telah dibuat dan akhirnya dicatat sebagai presiden pelindung koruptor, kolusi, nepotisme bahkan memasukkan orang berlumuran darah ke dalam istana.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar