Pemerintah Tingkatkan Pendapatan, Sedot Septic Tank Pun Kena Pajak

Kamis, 20/02/2020 16:27 WIB
ilustrasi jasa sedot wc atau septic tank (jasasedotwc)

ilustrasi jasa sedot wc atau septic tank (jasasedotwc)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah terus menggenjot pendapatan nasional dari sektor pajak. Untuk itu kali ini, otoritas fiskal memperluas jenis jasa yang terkena pajak penghasilan (PPh) pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto atas imbalan dari sekitar 60 menjadi lebih dari 120 jenis.

Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 terkait jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 36/2008.

Beleid yang ditetapkan Menteri Keuangan pada 24 Juli 2015 dan diundangkan tiga hari setelahnya ini mulai berlaku efektif akhir Oktober.

Secara berurutan, PMK No. 244/PMK.03/2008 – yang mengatur sekitar 60 jenis jasa – dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan beleid baru tersebut bukan dimaksudkan untuk menambah objek kena pajak melainkan hanya memberikan penegasan jenis jasa – selain jasa yang kena PPh pasal 21 – yang seharusnya terkena PPh pasal 23.

“Ini hanya penambahan jasa lain yang belum ada penegasannya. Jasa-jasa ini semestinya dipungut PPh 23 tapi sering terjadi dispute saat berada di lapangan,” katanya kepada wartawan, Selasa (4/8/2015).

Menurutnya, aturan baru itu akan memberikan kemudahan bagi DJP untuk memberikan kejelasan kepada para wajib pajak (WP). Apalagi, sambungnya, pada tataran keberatan dan banding ada kepastian hukum yang jelas untuk dijadikan pegangan.

Dalam aturan lama, dari sekitar 60 jasa yang disebutkan, ada 27 jenis jasa utama, a.l. jasa penilai, aktuaris, akuntansi, pengeboran di bidang penambangan migas kecuali yang dilakukan bentuk usaha tetap (BUT), jasa penunjang di bidang penambangan migas, penambangan dan jasa penunjuang selain migas, penunjang bidang penerbangan.

Ada pula penebangan hutan, pengolahan limbah, penyedia tenaga kerja, jasa perantara atau keagenan, jasa perdagangan surat berharga, jasa kustodian, jasa pengisian suara, mixing film, jasa sehubungan dengan software komputer, instalasi mesin termasuk AC dan tv kabel, jasa maklon, jasa penyelidikan, jasa penyelenggara kegiatan, pengepakan, penyediaan tempat, pembasmian hama, kebersihan, serta katering.

Sementara dalam aturan baru, dari lebih dari 120 jenis jasa, ada 62 jenis jasa utama. Adapun, tambahan jenis jasa dari beleid lama beberapa di antaranya meliputi jasa hukum, arsitektur, perencanaan kota, perancang (design), pembuatan promosi film dan iklan, pembuatan dan pengelolaan website.

Ada pula jasa penyelidikan dan keamanan, sedot septic tank, freight forwarding, logistik, pengelolaan parkir, penerjemahan, survey, pengiriman maupun pengisian uang ke ATM, penitipan anak, kursus, serta selain jenis jasa yang pembayarannya dibebankan pada APBN atau APBD.

Terkait potensi penambahan penerimaan kas negara lewat pajak pos tersebut, Mekar berujar hingga saat ini pihaknya belum mengetahui dengan pasti persentase yang bisa diraup.

Namun, dengan banyaknya jenis jasa yang dipastikan kena PPh 2% itu, menurutnya, memang akan ada tambahan penerimaan pajak.

Dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai di tengah kondisi kepatuhan WP yang masih rendah, withholding tax lewat perluasan objek ini memang bisa menjadi alternatif pemungutan penerimaan pajak.

Namun, pendekatan tarif tunggal pada PPh pasal 23 dengan dasar penghasilan bruto menimbulkan ketidakadilan. Padahal, dahulu dengan memakai perkiraan penghasilan netto tiap jenis jasa memiliki tarif yang berbeda-beda.

“Ini akan menambah cost of compliance dan beban administrasi bagi wajib pajak. Apalagi withholding kan mengandalkan kerja pemungut bukan fiskus. Nah, seharusnya ada roadmap untuk alokasi kinerja fiskus juga,” ujarnya.

Menurutnya, perlu amandemen pasal 23 dengan mengembalikan perkiraan penghasilan netto supaya adil. Selain itu, perlu ada kemudahan administrasi supaya ada win win solution.

Lebih luas dari itu, sambungnya, perluasan seharusnya untuk objek yang signifikan seperti transaksi keuangan. (bisnis.com)

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar