Nasrudin Joha, Pengamat Kebijakan Publik

Jimly Dapat Duit 50 Juta Untuk Memuluskan Omnibus Law Diktator?

Kamis, 20/02/2020 14:34 WIB
Mantan ketua MK yang kini menjadi anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie (ist)

Mantan ketua MK yang kini menjadi anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie (ist)

law-justice.co - Anggota DPD Jimly Asshiddiqie mengaku mendapat duit Rp 50 juta terkait omnibus law. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyatakan uang itu untuk biaya konsultasi ke Tim Bappenas.

Meski begitu, Jimly menampik duit itu bukan proyek dan bukan seminar. Menurut Jimly, Menteri cuma minta masukan untuk konsultasi ke Tim Bappenas dan sudah dilaksanakan (18/2/2020).

Onde Mandeh, Lemak Bana jadi pejabat era Now. Sudah dapat gaji bulanan, diminta Konsul saja dapat duit lagi 50 juta.
 
Padahal, RUU Omnibus law Cilaka itu menyengsarakan buruh, mengkebiri kewenangan Pemda, mengacaukan perlindungan lingkungan, menyerahkan SDA dan tambang pada investor (baca : penjajah), bahkan menjadikan Jokowi DIKTATOR!

Lihat saja pasal 170, yang memberi wewenang kepada Eksekutif untuk merubah bahkan mengganti UU cukup dengan PP. Kemudian, Pemerintah buru-buru ngeles salah ketik, padahal susunan redaksi pasalnya saling berkaitan, tak mungkin salah ketik.

Tapi memang pejabat umumnya seperti Jimly, sudah digaji masih mau terima uang yang bukan haknya. Uang ini statusnya apa? Jika tidak suap, bukankah ini terkategori gratifikasi? Ayo dong KPK bergerak!

Ah, paling nanti kalau duit 50 juta itu diributkan tinggal dikembalikan, dan masalah dianggap selesai. Di negeri Pinokio ini, hukum pidana menjadi perdata, bisa damai, bisa cincai.

Persoalannya, apakah cuma Jimly yang dapat duit 50 juta? Bagaimana dengan anggota DPD yang lain? Kalau semua dapat 50 juta, makmur bener mereka? Sudah dapat gaji, dapat insentif 50 juta pulak?

Nah, kalau yang cuma konsultasi saja dapat 50 juta, berapa bagian anggota DPR yang nanti mengesahkan? Berapa bagian menteri yang mengusung dan mengawalnya? Apa mungkin gratisan?

Jika Luhut saja harus `menghadap` Bank Dunia dan IMF dan merasa berpretasi karena telah menyusun RUU Omnibus law, sebenarnya UU ini kelak mau menguntungkan rakyat atau para pemodal? Ini UU yang mengikat bagi segenap rakyat Indonesia atau untuk IMF dan Bank dunia?

Kenapa Luhut tidak menghadap rakyat? Mendengar dan menyimak aspirasi rakyat? Bukankah perintah konstitusi, UU itu wajib menyerap aspirasi rakyat, bukan para kapitalis!

Semua kekacauan ini membuktikan bahwa RUU Omnibus law memang bukan dibuat untuk rakyat, tetapi untuk memuluskan penjajahan berkedok investasi. Malang nian menjadi rakyat di negeri ini, seharusnya mendapat perlindungan dan pelayanan dari pemimpinnya, tetapi para penguasa di negeri ini justru menjual aset bangsa dan rakyat kepada para penjajah asing.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar