Analisis Hukum Celah Aturan Impor Sampah B3

Kamis, 20/02/2020 11:38 WIB
Suasana inspeksi mendadak KLHK dan DPR soal sampah berbahaya dan beracun di Pelabuhan Petikemas Tanjung Priok (Foto:Beacukai.go.id)

Suasana inspeksi mendadak KLHK dan DPR soal sampah berbahaya dan beracun di Pelabuhan Petikemas Tanjung Priok (Foto:Beacukai.go.id)

[INTRO]

Terasa begitu aneh ketika penanganan sampah belum bisa dilakukan dengan baik dan solusi yang diterapkan di dalam negeri belum berjalan dengan optimal, tapi justru Indonesia menambah masalah dengan mengimpor sampah dari mancanegara. Celakanya limbah yang di impor banyak yang mengandung bahan berbahaya beracun alias B3.

Dalih impor sampah itu adalah demi industri dalam negeri yang katanya masih membutuhkannya. Inilah alasan mengapa Indonesia terlibat untuk mengimpor sampah dari mancanegara. Sampah-sampah yang di impor ini digunakan dalam untuk bahan baku industri terutama industri daur ulang, karena ada perusahaan-perusahaan industri dalam negeri yang meminta izin untuk mengimpor sampah dari mancanegara.

Menurut Asosiasi Perusahaan Perplastikan Indonesia (2019), setiap tahun perusahaan-perusahaan plastik olahan di Indonesia memerlukan bahan baku untuk pembuatan berbagai macam produk plastik olahan yang amat besar, yakni berasal dari sampah plastik dan biji plastik kimiawi mencapai 0,5 juta ton jumlahnya. Dan kebutuhan bahan baku plastik bekas itu terus meningkat, bahkan Kementerian Perindustrian RI (2019) "memaparkan bahwa kebutuhan plastik sebagai `kemasan` di Indonesia rata-rata naik mencapai 35% setiap tahunnya".

Sehingga solusi yang di ajukan para perusahaan-perusahaan tersebut adalah impor sampah dari mancanegara. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 tahun 2019 memang memperbolehkan impor limbah untuk bahan baku industri dalam negeri dengan beberapa syarat tentunya. Syaratnya, tidak boleh ada limbah yang mengandung unsur-unsur B3. Celakanya, praktik di lapangan, sejak tahun 2018 kerap kali ditemukan limbah B3 terselip dalam kontainer bahan baku kertas yang diindikasikan ada unsur kesengajaan didalamnya.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) berkesimpulan, penyusupan limbah B3 dalam kontainer bahan baku industri dilakukan secara sistematis, massif dan terencana. Berdasarkan hasil sidak, penempatan limbah B3 diselipkan di tengah-tengah bahan baku untuk mengelabui petugas yang berjaga. Komposisinya berkisar antara 20 – 40 persen dalam setiap kegiatan impor, cukup banyak tentunya.

Hingga 17 September 2019, bea cukai mencatat telah menindak lebih dari 2.041 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak, Batam, Pelabuhan Tanjung Priok, dan Tangerang. Dari kontainer-kontainer berisi limbah yang masuk ke Indonesia, banyak diantaranya yang ternyata memiliki kandungan bahan berbahaya dan beracun (B3).

Mengapa Indonesia tetap mengimpor sampah dari mancanegara ?, Bagaimana sebenarnya pengaturan impor sampah itu diatur dalam peraturan perundang undangan yang ada ?.Seperti apa sebaiknya pengaturan dan penegakan hukum untuk importer sampah yang mengandung B3 ?.

Mengapa Impor Sampah ?
Di Indonesia telah terjadi peningkatan impor sampah dari 10,000 ton per bulan pada akhir 2017 menjadi 35,000 ton per bulan tahun 2018. Sementara itu, peningkatan impor sampah plastik dari 124.433 ton tahun 2013 menjadi 283.152 ton tahun 2018. Indonesia bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya telah menampung 3 persen limbah plastik global yang kebanyakan berasal dari Amerika.

Menurut data Greenpeace yang dikutip Mongabay, eksportir sampah terbanyak ke Indonesia adalah Inggris dengan sekitar 67,807 ton pada Januari-November 2018, diikuti 59,668 ton dari Jerman, 42,130 ton dari Australia, kemudian berturut-turut Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Belgia, Prancis, Spanyol, dan Hongkong di peringkat berikutnya.

Alasan impor sampah ini tak terlepas pada kebutuhan bahan baku industri. Salah satu yang membutuhkannya adalah industri kertas. Industri ini memakai sampah kertas (waste paper) untuk kemudian diolah menjadi kertas baru. Kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri di satu sisi dan keinginan perusahaan di luar negeri untuk membuang sampahnya akhirnya bertemu menjadi arena bisnis yang menguntungkan antara pengusaha dalam negeri dan mancanegara. Saling membutuhkan dan saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme diantara keduanya.

Bagi perusahaan asing atau negara asing berkepentingan untuk mensterilkan negaranya dari sampah yang dihasilkannya. Sampah sampah itu kalau harus di olah di negaranya akan membutuhkan biaya pengelolahan yang tidak murah. Oleh karena itu mereka lebih senang untuk mengekspor sampahnya ke mancanegara termasuk Indonesia apalagi negara yang menjadi tujuan membutuhkannya.

Bukan hanya sekedar ekspor, negara-negara itu kabarnya juga mengeluarkan sejumlah uang untuk pengusaha dari mancanegara yang mau menerima sampahnya. Hitung hitung kalau harus diolah sendiri, terlalu mahal biayanya.Kebutuhan untuk impor sampah inilah yang dimanfaatkan sejumlah perusahaan yang ada di negara berkembang termasuk di Indonesia untuk memetik keuntungan dari bisnis sampah karena dibayar dari negara asalnya.

Alasan mereka yang lain ketika impor sampah menjadi solusi karena ketika mereka mengambil sampah yang ada di negara nya sendiri akan mengeluarkan uang untuk membelinya sedangkan ketika mereka mengimpor dari negara maju justru mereka mendapatkan dua keuntungan, di satu sisi mendapatkan bahan baku dan disisi lain mereka bisa meraup keuntungan material yang telah disebutkan sebelumnya.

Perjanjian impor pun terjadi bertahun-tahun hingga di tahun 2019 tanpa memperhatikan dampak negatif akibat ulah mereka. Banyak daerah yang akhirnya beralih fungsi, Misal yang awalnya adalah persawahaan namun sekarang justru menjadi tempat penampungan sampah, atau bahkan sisa sampah yang memiliki nilai ekonomi yang sangat rendah akan menumpuk atau bahkan di bakar, sehingga akan semakin mencemari lingkungan, polusi udara, polusi air, polusi tanah dan bahkan akan menjadi sumber penyakit bagi warga yang ada di daerah sekitar penumpukan sampah tersebut.

Mirisnya, sampah yang di impor ke indonesia tidak terlepas dari sampah-sampah yang mengandung B3 yang akan semakin memperparah kondisi lingkungan, seperti yang disampaikan Kementrian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) RI menemukan 318 kontainer berisi sisa material plastik tercampur limbah B3 selama periode April hingga Agustus 2019 dari 772 kontainer yang di periksa. Dan total kontainer ada 822 kontainer berisi scrap plastik dan kertas, ini menandakan masih ada 50 kontainer yang belum di periksa.Pada saat pemeriksaan ada limbah B3 padahal dokumen persetujuan impor non-B3. (Republika.co.id).

Sebenarnya kegiatan impor limbah tidak sepenuhnya salah, asalkan yang diimpor adalah limbah non-B3. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya. Dalam aturan itu disebutkan bahwa limbah non-B3 yang dapat diimpor hanya berupa sisa, reja (sisa buangan) dan scrap. Lebih lanjut, limbah non-B3 yang dimaksud juga tidak terkontaminasi limbah B3 atau limbah lainnya yang tidak diatur dalam Permendag Nomor 31 Tahun 2016. Importir juga harus mengantongi persetujuan impor disertai lampiran surveyor agar dapat mengimpor sampah.

Namun aturan ini tak selamanya diindahkan seperti kasus yang terjadi di Batam, Kepulauan Riau. Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan mendapati adanya limbah B3 disusupkan masuk dalam kontainer yang berisi limbah non-B3.

Aturan Impor Sampah di Indonesia
Aturan tentang impor sampah di Indonesia dituangkan dalam beberapa peraturan antara lain di UU Pengelolaan Sampah, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan UU Perdagangan beserta aturan pelaksanaannya. Dalam UU Pengelolaan Sampah, Indonesia memiliki ketentuan yang secara jelas melarang perbuatan “memasukkan sampah ke dalam wilayah Indonesia,”dan/atau “mengimpor sampah ”serta mengancam pelanggarnya dengan sanksi pidana.
Akan tetapi, penerapan ketentuan ini dalam praktik jauh dari hitam putih. Pada implementasinya, terdapat area abu-abu antara “sampah” dan “limbah” yang masih dapat digunakan sebagai bahan baku produk.

Ketentuan larangan impor sampah ini sesungguhnya didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam bagian penjelasan, disebutkan bahwa hal-hal yang diatur dalam PP antara lain adalah jenis, volume, dan/atau karakteristik sampah. Akan tetapi, hingga kini, belum ada ketentuan dalam PP yang mengatur lebih lanjut muatan materi dimaksud.

Alhasil, belum ada definisi yang secara rinci mengatur apa yang dimaksud “sampah” yang dilarang importasinya. Hanya ada definisi sampah secara umum sebagai “sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat,”serta definisi sampah spesifik,sampah rumah tangga, dan sampah sejenis rumah tangga. Sayangnya, tidak satupun dari definisi ini dapat memperjelas area abu-abu dalam definisi “sampah,” misal bagaimana ketentuan ini berhubungan dengan kebolehan impor limbah dalam UU Perdagangan.

Definisi “sampah” dalam UU Pengelolaan Sampah juga tidak membedakan sampah yang ditujukan untuk didaur ulang dengan sampah yang ditujukan untuk pembuangan akhir. Sebagaimana dapat dilihat dalam pendefinisian “limbah berbahaya” dan “limbah lainnya”.
UU Pengelolaan Sampah Pasal 39 ayat (2) mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan dan/atau mengimpor sampah spesifik ke wilayah NKRI diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah. Mengenai limbah spesifik ini dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b nya diatur bahwa limbah spesifik salah satunya yaitu “sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun”.

Dengan demikian sanksi yang dapat diberikan bagi pelanggaran ketentuan larangan “memasukkan sampah ke dalam wilayah Indonesia” dan/atau impor sampah dibedakan menjadi dua: (a) jika melibatkan sampah rumah tangga dan/atau sampah sejenis rumah tangga, dikenakan pidana penjara 3 (tiga) s.d. 9 (sembilan) tahun dan denda Rp 100 juta s.d. Rp 3 milyar;dan (b) jika melibatkan sampah spesifik, ancaman pidana penjaranya lebih berat, yaitu pidana penjara 4 (empat) s.d. 12 (dua belas) tahun dan denda Rp 200 juta s.d. Rp 5 milyar.

Mengingat ketentuan pidana ini mensyaratkan pembuktian unsur “melawan hukum,” maka keberlakuannya akan sangat bergantung pada bagaimana ketentuan larangannya diinterpretasikan. Dengan definisi yang ada sekarang, ketentuan pidana ini telah dapat digunakan secara terbatas sepanjang perbuatan “memasukkan sampah ke dalam wilayah Indonesia” atau “mengimpor sampah” jelas-jelas ilegal. Dengan kata lain, objek yang dimasukkan atau diimpor tidak dapat disengketakan lagi merupakan “sampah rumah tangga” atau “sampah sejenis rumah tangga” sebagaimana definisi yang ada.

Pengaturan larangan impor limbah B3 juga diatur di UU PPLH. Didalam UU ini secara tegas juga telah menentukan larangan memasukkan limbah B3 ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam UU PPLH, Pasal 69 ayat (1) huruf c secara tegas telah melarang setiap orang untuk memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah NKRI ke media lingkungan hidup NKRI.

Tindak pidana ini merupakan tindak pidana formil yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Hal ini diatur dalam Pasal 105 UU tersebut.
Secara substansi norma, pengaturan larangan dan sanksi pidana yang terdapat dalam 2 pasal undang-undang tersebut nampaknya sudah tidak ada persoalan. Namun ternyata jika dicermati, masih ada hal yang menjadi persoalan, khususnya yang diatur dalam UU PPLH. Dalam penjelasan pasal 69 ayat (1) huruf c UU PPLH tersebut dijelaskan bahwa “Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Artinya pasal ini telah membuka celah pengaturan pengecualian di peraturan lain. Pengaturan lain di sini yaitu pengaturan dalam bidang perdagangan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) pada hakikatnya sejalan dengan tujuan aturan terkait pelarangan impor limbah B3. Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (2) UU tersebut pada pokoknya menentukan bahwa “Semua Barang dapat diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain oleh undang-undang”, dan bahwa pemerintah melarang impor atau ekspor barang untuk kepentingan nasional dengan alasan salah satunya yakni “untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup”. Namun yang perlu dicermati pengaturan dalam Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 52 ayat (2) UU tersebut.

Pasal 51 ayat (2) UU Perdagangan menentukan bahwa “Importir dilarang mengimpor Barang yang ditetapkan sebagai Barang yang dilarang untuk diimpor”. Sementara Pasal 52 ayat (2) menentukan bahwa “Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor”. Kedua aturan ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda mengenai sanksi hukumnya. Untuk larangan Pasal 51 ayat (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2). Sementara larangan Pasal 52 ayat (2) diancam dengan sanksi administratif dan/ atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (termasuk kewajiban reekspor) yang ditegaskan dalam Pasal 52 ayat (5).

Dua pasal ini menimbulkan multiinterpretasi dalam penerapan hukumnya di lapangan, karena menjadi celah yang bisa menjadi “modus” bagi pelaku importir yang melanggar ketentuan larangan impor limbah B3. Modusnya dengan mengimpor limbah B3 dalam bentuk campuran limbah/ sampah B3 dan non-B3. Dengan hanya melanggar batasan barang yang diimpor, maka hanya akan dikenakan sanksi administratif dan kewajiban reekspor.

Persoalannya, dalam aturan di bidang perdagangan, impor limbah bahan baku plastik dibolehkan dengan pembatasan. Impor bahan baku plastik diatur dalam Permendag No. 36/MDAG/ PER/7/2013 tentang Ketentuan Impor Bahan Baku Plastik beserta perubahannya. Pasal 2 Permendag ini membatasi jenis bahan baku plastik yang diatur impornya, berikut pos tarif / kode HS-nya, yakni: (a) gas petroleum dan gas hidrokarbon lainnya berupa etilena yang dicairkan, dengan tingkat kemurnian kurang dari 95%; (b) hidrokarbon asiklik tidak jenuh berupa etilena, dengan kemurnian tidak kurang dari 95%; (c).kopolimer propilena berbentuk butiran; (d) kopolimer propilena selain dalam bentuk cair atau pasta.

Permasalahannya, impor bahan baku plastik ini tidak harus dalam keadaan baru. Mengenai hal ini ada aturan Peraturan Menteri Perdagangan yang mengizinkan impor terhadap limbah non-B3, yaitu Permendag No. 31/M-DAG/ PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah non-B3. Permendag ini mengizinkan impor limbah non-B3 berupa “sisa, reja, dan skrap”, sepanjang digunakan untuk bahan baku dan/atau bahan penolong industri.

Impor limbah non-B3 ini hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang memiliki Angka Pengenal Importir Produsen dengan kualifikasi: (a) memiliki fasilitas pengelolaan sisa proses produksi yang menghasilkan buangan yang ramah lingkungan; dan (b) fasilitas pengolahan lanjutan, dalam hal limbah non-B3 dimaksud merupakan sisa, reja, dan skrap “plastik” [Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c Permendag No. 31/M-DAG/ PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah non-B3].
Tidak ada definisi “sisa, reja, dan skrap” dalam ketentuan tersebut. Sementara jenis, sisa, reja, dan skrap yang dapat diimpor dirinci dalam lampiran peraturan ini. Sisa, reja, dan skrap dari plastik termasuk dalam Kelompok B limbah non-B3 yang “boleh diimpor”. Jenis sisa, reja, dan skrap plastik terdiri dari: (a) sisa, reja, dan skrap plastik dari polimer etilena; (b).sisa, reja, dan skrap plastik dari polimer stirena; (c) sisa, reja, dan skrap plastik dari polimer vinil klorida; dan (d) sisa, reja, dan skrap plastik “dari jenis plastik lainnya” (icel.or.id, 2019).

Pendetailan untuk jenis sisa, reja, dan skrap plastik di atas masih menimbulkan ruang multi-interpretasi. Pendetailan pada poin a-c hanya merinci “dari produk seluler yang tidak kaku” dan “lain-lain.” Sementara, untuk sisa, reja, dan skrap plastik “dari jenis plastik lainnya” tidak ada perinciannya sehingga hal tersebut menimbulkan celah hukum pada saat dilakukan penyelidikan hukum.

Meskipun dalam Pasal 4 Permendag tersebut ditegaskan bahwa sisa, reja, dan skrap plastik tersebut dapat diimpor hanya apabila tidak berasal dari kegiatan landfill atau tidak berupa sampah, tidak terkontaminasi B3 dan/atau limbah B3, dan/atau tidak bercampur limbah lainnya. Namun Permendag ini tidak menjelaskan sama sekali mengenai apa yang dimaksud dengan “tidak berupa sampah”, atau “tidak terkontaminasi B3 dan/atau limbah B3” dan/atau “tidak bercampur limbah lainnya”.
Selain ketentuan sebagaimana dikemukakan diatas, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993. Konvensi Basel mengatur perpindahan lintas batas limbah secara internasional, yang menetapkan pengetatan atas pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup efektif. Tanggal 10 Mei 2019, 187 negara telah mengambil langkah besar untuk mengendalikan krisis perdagangan plastik dengan menyertakan plastik ke dalam Konvensi Basel. Perjanjian tersebut berupaya mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun antar negara, terutama dari negara maju ke negara berkembang.

Penegakan Hukum Importir Limbah B3
Satjipto Raharjo menyatakan bahwa, “Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan” .Keinginan hukum maksudnya tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Perumusan pemikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan” (Sajipto Raharjo, 2009).

Mengingat modus yang telah lebih banyak terungkap merupakan ketidaktaatan, serta hal ini dapat langsung ditindaklanjuti, maka opsi kebijakan pertama yang dapat diambil adalah mengoptimalkan identifikasi atas modus ketidaktaatan yang ada, serta melakukan penegakan hukum terhadapnya. Untuk impor limbah non-B3 yang telah memiliki persetujuan impor, maka yang dapat dilakukan adalah:
a. Mengoptimalkan pengawasan, baik pengawasan dokumen pelaporan maupun melalui inspeksi, atas larangan pemindahtanganan atau perdagangan limbah non-B3 yang diimpor kepada pihak lain serta kewajiban mengolah sendiri agar megnhasilkan barang dengan pos tarif / kode HS baru dan memiliki nilai tambah;
b. Megoptimalkan pengawasan atas ketaatan importir terhadap persetujuan impor sebelum pengiriman limbah non-B3, dengan memperketat verifikasi atau penelusuran teknis di negara muat sebelum barang dikapalkan, khususnya terkait pemeriksaan jumlah/volume atau berat, jenis dan spesifikasi, serta nomor pos tarif / kode HS limbah non-B3 yang diimpor;
c. Mengoptimalkan pengawasan terhadap surveyor, baik melalui pengawasan dokumen pelaporan verifikasi surveyor, maupun penaatan atas kelalaian penyampaian laporan;
d. Mengoptimalkan pengawasan atas pelanggaran berupa kontaminasi limbah B3, serta memerintahkan pelaksanaan ekspor kembali muatan yang terkontaminasi;
e. Mencabut PI limbah non-B3 yang melanggar larangan pemindahtanganan dan/atau kewajiban pada huruf (a); gagal melaksanakan kewajiban ekspor kembali pada huruf (b);
f. Mengoptimalkan pengkajian atas modus-modus pemalsuan isi PI limbah non-B3 serta surat pernyataan eksportir, dan mencabut PI limbah non-B3 yang terbukti “mengubah, menambah dan/atau mengganti” isi PI atau surat pernyataan eksportir;
g. Mengoptimalkan kerjasama dengan masyarakat untuk memfasilitasi pengaduan PI limbah non-B3 yang dapat dicurigai “menyampaikan data dan/atau keterangan yang tidak benar” sebagai persyaratan permohonan PI; atau melakukan program pengujian kembali PI.

Sebagai opsi, untuk memberikan pesan bahwa pemerintah mampu mengidentifikasi pelanggaran dan sungguh berniat menegakkan hukum, KLHK bersama Kemenperin dan Bea Cukai dapat mengekspos modus pemindahtanganan serta pengabaian kewajiban, serta sanksi yang diberikan atas ketidaktaatan tersebut.

Dalam rangka penegakan hukum kiranya perlu mengoptimalkan Ketentuan Hukum yang Telah Ada untuk Persetujuan Izin Limbah non-B3.Untuk memastikan bahwa impor barang sesuai ketentuan pembatasan dalam Permendag, persetujuan impor memerlukan berbagai syarat, yang selemah-lemahnya, jika dipastikan terimplementasi dengan baik, dapat mengurangi praktik impor limbah plastik yang menyalahi ketentuan impor.

Terdapat ruang diskresi yang cukup luas yang dapat dioptimalkan dalam penerbitan izin limbah non-B3 kedepannya, yaitu:
a. memanfaatkan ruang diskresi dalam penerbitan rekomendasi dari Dirjen LB3 KLHK untuk merinci lebih lanjut mengenai definisi "tidak berupa sampah," "tidak terkontaminasi B3 dan/atau limbah B3," serta terkait dengan syarat kemampuan pengolahan lanjutan "ramah lingkungan" atau "fasilitas pengolahan lanjutan" yang dinilai layak;
b. memanfaatkan ruang diskresi dalam penerbitan rekomendasi dari Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Kemenperin mengenai “tidak bercampur limbah lainnya”;
c. membangun mekanisme verifikasi terhadap bukti-bukti dokumen bahwa usaha merupakan produsen yang mampu mengolah sendiri limbah non-B3 yang diimpor;
d. merinci persyaratan dalam PI secara ketat terkait dengan "sisa, reja dan skrap plastik" "lain-lain" untuk polimer etilena, stirena, dan vinil klorida; serta "sisa, reja dan skrap plastik dari jenis lainnya."

Dalam rangka penegakan hukum impor limbah B3 pula kiranya perlu dilakukan perbaikan definisi: “Sampah,” “Limbah,” “Limbah Berbahaya” untuk Mempermudah Verifikasi. Karena larangan dalam UU Pengelolaan Sampah dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sangat bergantung dari pendetailan mengenai apa yang dimaksud dengan “sampah” serta “limbah” serta penapisan dalam peraturan perdagangan bilamana suatu benda harus diperlakukan “limbah untuk bahan baku atau bahan pembantu produksi” dan kapan ia menjadi sampah. Penting adanya pendetilan kriteria apa yang dimaksud sebagai “sampah” dalam artian larangan impor sampah, dan jika diperlukan, penjabarannya.

Selain itu perincian persyaratan substantif mengenai konten limbah sebagai pendetilan dari penggunaan limbah sebagai “bahan baku atau bahan penunjang produksi”. Detail lain yang diperlukan adalah : (a).pendetilan penjabaran “kontaminasi” limbah B3 untuk sisa, reja dan skrap plastik, baik dari sisi persentase volume maupun konsentrasinya, (b).pendetilan penjabaran “bercampur limbah lain,” jika diperlukan dengan pendetilan kode HS untuk limbah plastik “lain-lain”; (c).pendetilan ketentuan untuk sisa, reja dan skrap yang

Pada akhirnya, Indonesia sesungguhnya memiliki ketentuan yang cukup tegas untuk kegiatan yang ilegal. Pemidanaan, baik dengan ketentuan dalam UU Pengelolaan Sampah maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dapat dilakukan sebagai ultimum remedium, atau usaha terakhir. Akan tetapi, dengan multi interpretasi yang kini dapat timbul dengan kompleksitas definisi sebagaimana diatas,implementasi ketentuan pidana ini cukup menantang.

Berbagai persoalan dalam peraturan yang terkait limbah B3 berimplikasi pada masih terjadinya berbagai kasus impor limbah “terkontaminasi B3”. Persoalan tersebut oleh karenanya perlu ditindaklanjuti dengan cara revisi atau penyempurnaan regulasi agar lebih memberikan kejelasan dan tidak menimbulkan celah hukum dan multi-interpretasi dalam penegakan hukumnya, terutama regulasi soal perizinan limbah non-B3. Celah tersebut nampaknya yang selama ini dijadikan modus bagi para importir yang tidak bertanggung

Lebih jauh lagi, perlu aturan yang lebih jelas mengenai prosedur untuk memastikan bahwa barang yang akan diimpor ialah barang yang memenuhi syarat sesuai ketentuan pembatasan dalam Permendag tersebut. Pengaturan mengenai hal ini diharapkan dapat mencegah praktik impor limbah plastik yang menyalahi ketentuan impor.

Permendag No. 31 Tahun 2016 perlu diperketat dengan cara direvisi agar sesuai dengan Konvensi Basel mengenai ketentuan terkait kategori baru “plastik terkontaminasi”, baik dalam hal konsentrasi maupun persentase volumenya. Hal ini harus dilakukan agar tidak terjadi lagi modus impor limbah non-B3 namun sebenarnya terkontaminasi dengan limbah B3.

Kabarnya Pemerintah saat ini tengah melakukan finalisasi Permendag Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun. “Revisi Permedagnya sudah tahap finalisasi. Tidak hanya plastik, tapi juga macam-macam bahan baku daur ulang,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto di Kementerian Koordinator Kementerian Kemaritiman, Jakarta, Jumat (26/7/2019).

Diluar revisi ketentuan yang ada maka DPR RI, sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan perlu segera membentuk tim untuk melakukan pengawasan atas impor limbah B3 yang masih saja masuk ke Indonesia. Selain itu, dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi, DPR RI perlu segera melakukan harmonisasi antara UU PPLH, Pengelolaan Sampah, dan UU Perdagangan terkait definisi limbah B3 dan larangan impor limbah B3 dalam bentuk apapun sehingga tidak ada celah hukum yang memungkinkan masuknya limbah B3 ke wilayah Indonesia

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar