Analisis Hukum RUU Cipta Kerja, Untuk Kepentingan Siapa?

Jum'at, 14/02/2020 15:46 WIB
Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo telah menandatangani surat presiden atau surpres terkait draft omnibus law tentang RUU cipta lapangan kerja. Dengan ditandatanganinya surpres tersebut, maka draf rancangan undang-undang tersebut siap diberikan kepada DPR sebagai mitra untuk pembahasannya.

Pada hari rabu tanggal 12 Pebruari 2020, Pemerintah akhirnya secara resmi menyerahkan Surat Presiden dan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Penyerahan tersebut dilakukan langsung ke Ketua DPR RI oleh Puan Maharani dan Menko Perekonomian Airlangga.

Selain itu ikut mendampingi yaitu Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Keuangan Sri Mulyani, , Menteri ATR Sofjan Djalil, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan juga Menteri LHK Siti Nurbaya.

Puan mengatakan, RUU Omnibus Law di sektor ketenagakerjaan kini berganti nama menjadi RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), bukan lagi Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Namun ia enggan menjelaskan secara detail alasan pergantian rancangan beleid sapu jagat RUU Cipta kerja."Hari ini disampaikan oleh Pak Menko Perekonomian, Bu Menkeu, Menaker, dan lainnya untuk bisa berkoordinasi terkait dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, bukan lagi Cilaka ya," ujar Puan di Gedung DPR RI, Jakarta,(12/2).

Dalam kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga menuturkan, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia. Tujuannya agar masyarakat mengetahui betul latar belakang disusunnya UU `Sapu Jagat` Cipta kerja.

"Sehingga diharapkan masyarakat bisa mengetahui apa yang akan dibahas, apa yang diputuskan, juga dampaknya bagi perekonomian nasional," tutur Airlangga.

Menurutnya, berdasarkan kesepakatan dengan DPR, RUU Cipta Kerja ini bakal disosialisasikan dulu ke seluruh provinsi di Indonesia. Setelah sosialisasi nantinya bakal dilakukan pembahasan secara bersama antara pemerintah dan DPR sebagai mitra.

Termasuk tujuh komisi DPR yang memiliki kepentingan terhadap RUU Cipta Kerja ini bakal ikut mensosialiasikannya. “Tentunya anggota dewan akan kami libatkan untuk sosialisasi,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu berharap melalui sosialisasi RUU Cipta Kerja ini kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan dapat mengetahui seputar informasi RUU Cipta Kerja secara utuh termasuk dampaknya bagi perekonomian nasional.

Nantinya, masyarakat pun dapat mengawasi pembahasan RUU Cipta Kerja antara pemerintah dan DPR di parlemen.“Publik pun dapat mengetahui hasil RUU Cipta Kerja yang nantinya bakal diputuskan dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU.”

Soal apakah perumusan telah melibatkan kelompok serikat pekerja, Airlangga menegaskan telah melibatkan konfederasi serikat pekerja dengan menyerap masukan dan aspirasi kalangan serikat pekerja.

Lagi pula, nantinya dalam pembahasan draf RUU Cipta Kerja ini pun DPR bakal menyerap masukan dan aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan termasuk organisasi serikat buruh/pekerja.

“Public hearing kan baru bisa dilakukan saat pembahasan di DPR. Tapi, sudah ada 10 konfederasi sudah diajak dialog dengan Menaker. Nantinya, tentunya akan dibentuk tim. Dengan demikian seluruhnya sudah diajak sosialisasi.” klaimnya.

Apa itu RUU Cipta Kerja ?

Barang macam apa RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini? Jika diurut berdasarkan rentetan waktu, amat masuk akal menganggap kehadiran RUU Cipta Lapangan Kerja datang dari suasana `keheranan`, meminjam ekspresi Presiden Joko Widodo di tahun 2019 lalu dalam beberapa pidatonya.

Hal yang paling mengena ketika ia mengungkap kekesalannya setelah mengetahui China banyak merelokasi pabrik ke Vietnam, sementara tak satu pun ke Indonesia. Laporan Bank Dunia yang dikutip Jokowi menunjukkan dari 33 perusahaan di China, 23 di antaranya memilih relokasi ke Vietnam, sementara 10 lain menuju ke Malaysia, Thailand, Kamboja.

Perang dagang AS-China dalam dua tahun terakhir dibincangkan intens oleh pemerintah dan kalangan pengusaha, bersama bagian lain mengenai isu soal ketidakpastian perekonomian global, gejolak geopolitik yang beberapa di antaranya tercuat dari Brexit, ketegangan Jepang-Korsel, demonstrasi Hong Kong, dan perlambatan ekonomi dunia.

Manufaktur di China mencoba keluar dari tekanan tarif tinggi AS dengan merelokasi pabrik ke negara berkembang demi menekan ongkos produksi lewat pengurangan upah tenaga kerja. Syarat ini dipenuhi oleh Vietnam, berkebalikan dengan Indonesia yang kurang kondusif untuk iklim investasi menurut pandangan sejumlah pengusaha.

Birokrasi yang berbelit, tumpang tindih perizinan dari regulasi pemerintah daerah dan pusat, tanah, daya saing SDM adalah beberapa faktor yang konon membuat pengusaha di China enggan memindahkan pabrik mereka ke Indonesia.

Laporan Bank Dunia berjudul "Doing Business 2020" menunjukkan peringkat kemudahan berbisnis (ease of doing business) Indonesia ada di posisi ke-73, skor kemudahan bisnis naik 1,64 poin menjadi 67,96, namun masih kalah dari Vietnam di peringkat 70 dan juga Kamboja.

Ini hanya penampang sekilas, uraian lengkap dari pemerintah yang melatarbelakangi lahirnya RUU Cipta Lapangan Kerja.

Selain itu dari paparan sementara Kemenko Perekonomian yang dikutip, disebutkan bahwa pemerintah berupaya mengejar pertumbuhan ekonomi 6% atau lebih per tahun untuk membuka lapangan kerja baru guna menampung 2 juta pekerja baru dan 7 juta dari pengangguran yang ada.

Sebagaimana dimaklumi, pertumbuhan ekonomi, memerlukan investasi baru sebesar Rp 4800 Triliun (karena setiap 1% pertumbuhan ekonomi, memerlukan Rp 800 Triliun), jumlah yang tidak sedikit tentunya.

Oleh karena itu melalui penerapan RUU Cipta Kerja ini diharapkan menjadi terobosan untuk mengatasi keterpurukan perekonomian secara nasional. Setidaknya, bisa membuka lapangan kerja (seluas-luasnya) untuk mengurangi angka pengangguran yang kini merajalela.

Dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi;(huruf b bagian menimbang-RUU Cipta kerja).

Undang-Undang Cipta kerja diselenggarakan dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak melalui kemudahan dan perlindungan UMK-M serta perkoperasian, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional (pasal 3).

Adapun materi muatan RUU Cipta Kerja murni menciptakan lapangan kerja. Dalam situasi global atau dengan adanya virus corona menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan lapangan kerja. Antara lain dengan mentransformasi struktural ekonomi yang seluruhnya berada dalam omnibus law RUU Cipta Kerja.

Ruang Lingkup RUU Cipta Kerja

Substansi dalam RUU Cipta Kerja yang sudah dirancang sedemikian rupa dengan harapan terjadi perubahan struktur ekonomi yang mampu menggerakan semua sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 5,7 persen hingga 6,0 persen. Melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi dan produktivitas yang dikuti dengan peningkatan upah pekerjanya.

Substansi RUU Cipta Kerja terdiri dari 15 bab, 173 pasal dengan 79 UU terdampak. Selain itu dibagi kedalam 10 klaster dengan total 80 UU (1.201 pasal) yang terdampak sebagaimana diatur dalam pasal 6 RUU ini.

1.Klaster Pertama, Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha. Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud meliputi : (a).penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko,(b).penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan pengadaan lahan, (c). penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan (d).penyederhanaan persyaratan investasi.

2.Klaster kedua, Ketenagakerjaan. Klaster ini diantaranya mengatur tentang upah minimum. Sementara pokok-pokok kebijakan terkait upah minimum terdapat beberapa hal yakni kebijakan pengupahan masih tetap menggunakan sistem upah minimum.

Kemudian upah minimum tidak turun dan tak dapat ditangguhkan. Kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Upah per jam dapat diberikan untuk jenis pekerjaan tertentu (konsultan, paruh waktu, ekonomi digital). Mencakup 3 UU yang terdiri dari 55 pasal.

Pengaturan lain dalam klaster tiga yakni pemutusan hubungan kerja (PHK). Pokok-pokok kebijakan terkait PHK antara lain, tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Kemudian, pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan konpensasi PHK (berupa pesangon penghargaan masa kerja dan kompensasi lainnya).

Hal lain dalam klaster ketiga yaitu peningkatan perlindungan pekerja dan perluasan lapangan pekerjaan. Poin ini terbagi menjadi tiga yaitu pekerja kontrak, alih daya (outsourcing), dan waktu kerja. Aturan yang bakal diatur tentang pekerja kontrak diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap.

Antara lain dalam hal upah, jaminan sosial, perlindungan K3, kompensasi pengakhiran hubungan kerja. Dengan dibukanya pekerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) untuk semua jenis pekerjaan, maka kesempatan keja lebih terbuka serta dapat meningkatkan perluasan kesempatan kerja.

Bagi pengusaha alih daya, berkewajiban memberi hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya berstatus kontrak ataupun tetap. Kontrak pada outsourcing berupa hak atas kompensasi pengakhiran hubungan kerja.

Sementara pengaturan waktu kerja tetap mengedepankan hak dan perlindungan pekerja. Waktu kerja normal ditetapkan paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Bagi pekerja yang melebihi jam kerja diberikan upah lembur.

Perizinan tenaga kerja asing (TKA) ahli dan sweetener pun masuk dalam klaster ini. Penggunaan TKA hanya dibatasi untuk jenis pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh pekerja dalam negeri. TKA yang melakukan kegiatan tertentu dibebaskan dari kewajiban rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA).

3.Klaster ketiga, tentang kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Pengaturan dalam klaster empat memuat kriteria UMKM, basis data tunggal, pengelolaan terpadu UMK dalam penataan klaster.

Kemudian kemitraan, perizinan tunggal dan kemudahan, insentif pembiayaan serta dana alokasi khusus. Ada tiga UU dan tujuh pasal di klaster kemudahan dan perlindungan UMKM; mencakup 3 UU terdiri dari 6 pasal.
4. Klaster keempat, memuat aturan tentang kemudahan berusaha. Mulai kemudahan pendirian badan usaha, kemudahan dalam proses, pertambangan hilirisasi minerba, minyak dan gas bumi, hingga badan usaha milik desa (BUM-Des).

Kebijakan perdagangan luar negeri nantinya memberi keberpihakan pada produk inovasi nasional. Mencakup 9 UU dan 23 pasal di klaster kemudahan berusaha.

5. Klaster kelima, dukungan riset dan inovasi. Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang berusaha, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah: sehingga berbunyi sebagai berikut:

“Pemerintah Pusat dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, penelitian dan pengembangan, serta inovasi dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN serta mempertimbangkan kemampuan BUMN.Setiap penugasan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS/ Menteri.

6.Klaster ke enam, tentang Pengadaan Lahan. Poin ini mengatur Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan, Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Penguatan Hak Pengelolaan, Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing, Pemberian Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah,

7.Klaster ke tujuh, Kawasan Ekonomi. Antara lain mengatur Kawasan Ekonomi Khusus; dan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

8.Klaster ke delapan , Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Disini diatur antara lain (a) Investasi Pemerintah Pusat dilakukan dalam rangka meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja. (b)Lembaga Pengelola Investasi,(c). Pertanggungjawaban Pemerintah Pusat/Pengurus Lembaga (d).Kemudahan Proyek Strategis Nasional

9.Klaster kesembilan , pelaksanaan administrasi pemerintahan, Poin ini mengatur antara lain tentang presiden sebagai kepala pemerintahan melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan.

Sementara kewenangan menteri/kepala dan pemda merupakan pelaksana kewenangan presiden. Presiden menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dilaksanakan oleh menteri/kepala dan atau pemda. Presiden berwenang membatalkan Perda melalui peraturan presiden. Terdapat dua UU dan 14 pasal di klaster administrasi pemerintahan.

10.Klaster sepuluh, tentang Pengenaan Sanksi. Antara lain mengatur pemisahan penerapan sanksi administratif dengan sanksi pidana. Pengenaan sanksi pidana sesuai ketentuan KUHP dan/atau UU Tindak Pidana Korupsi.

Sanksi administrasi berupa peringatan, pembekuan izin, pencabutan izin dan denda. Sementara sanksi pidana dapat diterapkan untuk pengenaan sanksi administratif yang tidak ditindaklanjuti dalam rangka kepastian penegakan hukum.Terdapat 49 UU dan 291 pasal di klaster pengenaan sanksi.

Landasan Dasarnya Dipertanyakan

RUU Cipta lapangan kerja merupakan salah satu dari beberapa RUU yang berkaitan dengan Omnibus Law, seperti RUU Cipta Lapangan Kerja; RUU Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibukota Negara demi menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Semuanya berawal ketika Presiden Jokowi membuka rapat kabinet perdana pemerintahan di periode keduanya. Saat itu Presiden Joko Widodo menawarkan sebuah gebrakan narasi hukum yang bahkan tidak pernah diucapkannya di masa-masa kampanye pemilu 2019 lalu.

Sebuah reformasi perundang-undangan, jika tidak bisa disebut sebagai revolusi perundang-undangan yang menuai perdebatan oleh banyak ahli hukum dan ekonom apalagi buruh tanah air.

Mengingat dampak daripada deregulasi Undang-undang ini akan signifikan memperngaruhi system dan struktur ekonomi nasional.
Konsep yang juga dikenal dengan omnibus bill ini sering digunakan di Negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.

Untuk memuluskan pembahasan omnibus law, pemerintah bahkan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Omnibus Law yang beranggotakan 127 orang. Anggota Satgas Omnibus Law terdiri atas perwakilan dari kementerian atau lembaga terkait, pengusaha, akademisi, kepala daerah, dan tokoh-tokoh masyarakat.

Nama-nama pengusaha besar yang masuk dalam Satgas tersebut, antara lain CEO Lippo Group James Riady, Komisaris Utama Bosowa Corporation Erwin Aksa, Komisaris PT Bakrie & Brothers Tbk Bobby Gafur Umar, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani, hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rahmi.

Dalam membedah legalitas formal dan dampak hukum RUU Omnibus Law, beberapa ahli hukum bahkan berpandangan bahwa omnibus law tidak lazim diterapkan di Indonesia karena menggunakan sistem hukum civil law.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana menguraikan upaya politik hukum pemerintah ini tidak memiliki dasar hukum, sehingga Omnibus Law akan berpotensi menambah masalah dalam sistem hukum Indonesia.

Sementara itu, hal yang paling disoroti oleh public adalah proses perencanaan omnibus law ini juga dinilai sangat terburu-buru dan cenderung tertutup. Maka sangat rasional jika banyak organisasi buruh yang menentang keberadaan RUU Omnibus Law ini.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bahkan percaya diri mengatakan omnibus law menggunakan basis hukum administratif. Sehingga para pengusaha atau pihak lain yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi berupa denda.

Alhasil penerapan omnibus law dinilai berpotensi bisa menambah masalah baru dalam sistem hukum Indonesia; terburu-terburu dan tertutup; dan berpotensi melanggar hak warga negara terutama buruh dan keluarganya yang dijamin konstitusi.

Kritik terhadap pemerintah melakukan deregulasi melalui mekanisme omnibus law tak hanya datang dari kalangan buruh, tapi juga lembaga bantuan hukum. Pasalnya, pemerintah saat ini tengah sibuk merumuskan dan membahas sejumlah RUU Omnibus Law, seperti RUU Cipta Lapangan Kerja; RUU Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibukota Negara demi menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Direktur LBH Jakarta Arif Maulana memberi catatan sedikitnya 3 hal terhadap omnibus law yang digulirkan pemerintah. Pertama, berpotensi menambah masalah dalam sistem hukum Indonesia.

Arif melihat melalui omnibus law pemerintah akan merevisi lebih dari 70 UU, salah satunya UU Ketenagakerjaan melalui RUU Cipta Lapangan Kerja selain RUU Omnibus Law yang lain. Menurut Arif, revisi sejumlah UU melalui omnibus law ini tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Sebut saja, Undang-Undang (UU) No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbarui dengan UU No.15 Tahun 2019 tidak mengatur tentang mekanisme omnibus law.

Bahkan, ada pandangan yang menyebut omnibus law tidak lazim diterapkan di Indonesia karena menggunakan sistem hukum civil law.“Omnibus law ini tidak punya landasan (dasar) hukum,” kata Arif dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (8/1/2020).

Dia menilai penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja seharusnya taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika tidak, berpotensi menimbulkan masalah baru. Selain itu perencanaan omnibus law ini terburu-buru dan terkesan tertutup.

Hal ini dapat dilihat dari absennya upaya pemerintah untuk melibatkan publik, terutama dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh. Sebab, Satgas Omnibus Law yang dibentuk pemerintah dipimpin kalangan pengusaha dengan anggota dari pengusaha, perwakilan pemerintah dan akademisi.

Arif mengingatkan kebijakan yang diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi publik akan melahirkan kebijakan yang diskriminatif. Arif tidak yakin omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja ini bakal mengakomodir kepentingan buruh dan keluarganya karena perwakilan mereka tidak dilibatkan dalam pembahasan.

Ketentuan Krusial

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, RUU Cipta Kerja terdiri dari 15 bab, 174 pasal dengan 79 UU terdampak. Selain itu dibagi kedalam 11 klaster dengan total 80 UU (1.201 pasal) yang terdampak.

Isi RUU Cipta Lapangan Kerja, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan usul revisi UU 13/2003 yang diupayakan sejak tahun 2006 lalu, yang juga ditolak buruh. Dalam revisi tersebut, ada banyak hak buruh yang dihapus--tak lagi berlaku. Misalnya soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Para karyawan tetap yang sudah puluhan tahun mengabdi tidak lepas dari ancaman. Turunnya jumlah pesangon secara drastis atau bahkan dihapus, jelas akan membuat pengusaha tidak perlu berpikir untuk memecat karyawannya. Karyawan akan bekerja tanpa posisi tawar

RUU Cipta Lapangan Kerja membuat kontrak dan alih daya (outsourcing) diperluas baik dari segi waktu atau jenis pekerjaan, padahal dua sistem kerja tersebut meningkatkan kerentanan buruh.

Belum lagi soal diubahnya sanksi jika pengusaha menghalangi buruh cuti haid, melahirkan, tidak membayar upah minimum, upah lembur, atau menghalangi buruh berserikat dan mogok, seperti yang diatur dalam UU 13/2003.

"Semua pelanggaran aturan-aturan itu nantinya cuma dihukum sanksi administrative

Selain itu rencana mengubah upah per bulan jadi dihitung per jam artinya buruh bukan manusia, sekadar mesin produksi. Karyawan tetap terancam jadi karyawan jam-jaman.

Yang terdampak dari peraturan ini juga termasuk calon pekerja yang saat ini masih bersekolah. Dalam kondisi pasar tenaga kerja fleksibel yang terus diperluas, para pekerja muda dan calon pekerja tidak akan memiliki jaminan kerja (job security) karena sewaktu-waktu dapat dipecat dengan mudah dan murah.

Mereka akan berstatus sebagai buruh kontrak dan outsourcing bertahun-tahun tanpa ada kepastian kondisi ini memperparah nasib para pekerja muda dan calon pekerja yang sekarang dirugikan lewat sistem pemagangan.

Sistem magang membuat mereka menerima upah jauh dari layak. Sehingga sering dijuluki RUU Cipta Lapangan Kerja sebagai "RUU Cilaka", yang mirip dengan diksi "celaka" (malang; sial; dan sejenisnya).

RUU Cipta Lapangan Kerja sebagai salah satu omnibus law akan menganulir salah satunya UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.Pada draf omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja misalnya, poin-poin yang diusulkan sangat berpotensi melanggar hak warga negara terutama buruh dan keluarganya yang dijamin konstitusi.

Karena Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebut setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Sekurang-kurangnya ada 5 hal di RUU Cipta Kerja yang cukup kontroversial sehingga buruh menolaknya sebagaimana telah disuarakan pada demo beberapa hari yang lalu :

1.Menghilangkan upah minimum.Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.

Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum. Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam.

Hal ini akan semakin menyengsarakan bagi pekerja yang sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, atau cuti melahirkan. Dimana upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja.

Namun demikian, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam. Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah minimum.

Upah minimum adalah upah minimum, berlaku bagi semua warga negara yang bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan upah minimum per jam. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum.

Jika itu dilakukan, sama saja dengan kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana. "Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari.

2. Menghilangkan pesangon.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menggunakan istilah baru dalam omnibus law, yakni tunjangan PHK yang besarnya mencapai 6 bulan upah.

Terkait hal ini, dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 masalah pesangon sudah diatur bagi buruh yang terkena PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah.

Selain itu, mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15 persen dari toal pesangon atau penghargaan masa kerja.

Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah. Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih.

3. Fleksibilitas pasar kerja atau penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas.

Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja. Iqbal menilai, istilah ini dapat diartikan tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap (PKWTT).

Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan semua jenis pekerjaan bisa di-outsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas. Hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah minimum, dan pesangon dihapuskan.

4. Lapangan pekerjaan yang tersedia berpotensi diisi Tenaga Kerja Asing (TKA) Unskill.

Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan. Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu.

TKA yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers) tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasional, maintenance untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.

Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal.

Tujuannya adalah, supaya terjadi transfer of job dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan sang TKA . Dalam omnibus law terdapat wacana, semua persyaratan yang sudah diatur akan dihapus.

Sehingga TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mestinya bisa diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA," ujar Iqbal.

5. Jaminan sosial terancam hilang

Jaminan sosial yang hilang diakibatkan karena sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian pekerjaan. Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya jaminan hari tua dan jaminan pension.

Secara umum dapat dikatakan bahwa omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja berpotensi melanggar hak warga negara terutama buruh dan keluarganya yang dijamin konstitusi.

Pada hal Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Sebaliknya, dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, sejumlah pasal yang berkaitan kesejahteraan buruh yang selama ini dijamin UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikurangi atau dihapus.

Diantaranya, upah minimum, fleksibilitas hubungan kerja,dan pesangon. Karena itu Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja ini merupakan ancaman terhadap kesejahteraan buruh dan keluarganya serta warga negara pada umumnya.

Mungkin saja semua itu terjadi karena kebijakan omnibus law ini muncul lantaran politik hukum yang diusung Presiden Joko Widodo mengutamakan investasi dan infrastruktur demi pertumbuhan ekonomi. Presiden Joko Widodo tidak pernah menyebut perlindungan dan pemenuhan HAM dalam pidato resmi kenegaraan usai ditetapkan sebagai Presiden periode 2019-2024 yang lalu.

Untuk Siapa?

Dalam upaya memahami tujuan dan niat baik pemerintah yang ngotot untuk menggolkan draf RUU Omnibus Law ini menjadi hukum positif negara, rasanya penting untuk kita renungkan bersama sebuah pertanyaan filosofis Pujangga kritis Alm. W.S Rendra dalam salah satu sajaknya, "Maksud baik Saudara untuk siapa"?

Pertanyaan serius dan elegan yang bertujuan untuk mengoreksi niat baik atas segala "kebijaksanaan" para pembuat kebijakan. Dalam konteks UU Omnibus Law ini, sebagai warga negara sejatinya kita wajib berprasangka positif dan memberikan dukungan moral kepada pemerintah yang bahkan telah mentargetkan untuk menyelesaikan UU radikal ini dalam waktu tiga bulan saja.

Meskipun sangat mungkin, mengingat mayoritas kursi parlemen hari adalah milik partai koalisi pemerintah.
Namun, dalam proses pembahasan rancangan Undang-undang yang notabene kompleks dan baru dalam sejarah system legislasi Indonesia, tindakan grasa-grusu sebaiknya dihindari sejauh mungkin.

Public wajib mengapresiasi upaya strategis pemerintah ini, dalam rangka mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional yang sempat gagal meroket pada periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi. Meskipun 16 paket Kebijakan Ekonomi sudah ditembakan ke titik-titik macet ekonomi nasional.

Meski ternyata, jika ditelaah secara detail, akan kita jumpai jenis paket ekonomi bermerk Omnibus Law ini adalah sama atau sejenis material hukumnya dengan roket paket kebijakan Ekonomi yang bahkan pernah gagal untuk sekedar lepas landas. Lantas? Apakah efektif dan jitu menggunakan strategi yang sama dengan situasi ekonomi nasional maupun global yang semakin buruk seperti saat sekarang ?

Namun demikian, Misteri UU Omnibus Law yang penuh tanda tanya dan syarat ketimpangan nalar ini, menjadi wajar adanya jika hanya sekedar menjadi bahan eksperimentasi dan praktek spekulasi strategi pembangunan Ekonomi Nasional.

Ditengah kondisi kegalauan kepemimpinan nasional yang di liputi suasana bingung dan kegamangan. Meskipun akibatnya nanti bisa bertambah fatal manakala kebijakan yang diambil hanya sekadar pencitraan agar dianggap sebagai pemimpin yang mempunyai terobosan.

Entah siapa yang paling diuntungkan dengan disahkannya UU yang menjadi payung bagi puluhan jenis UU ini. Dengan data dan fakta yang coba kami gambarkan di atas, apakah jurang ketimpangan ekonomi rakyat akan semakin sempit. Atau sekedar membahagiakan hati rakyat dengan iming-iming "niat baik" perluasan lapangan kerja ?

 

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar