Dwi Sawung: Ada Pejabat yang Tidak Mendukung Energi Terbarukan

Selasa, 11/02/2020 19:36 WIB
Dwi Sawung (Ngelmu.com)

Dwi Sawung (Ngelmu.com)

law-justice.co - Dwi Sawung sudah menjadi aktivis lingkungan hidup setidaknya sejak tahun 2008, saat menjadi salah satu anggota staf Divisi Advokasi Walhi Jawa Barat. Ia dikenal sebagai aktivis yang fokus pada isu Perkotaan, Limbah, dan Energi Terbarukan. Sejak tahun 2016, Sawung dipercaya manajer Manager Kampanye Perkotaan dan Energi di Walhi Nasional.

Sawung sering mengkritik pembangunan PLTU di Indonesia yang sarat dengan praktik kongkalikong antara pejabat pemerintah, politisi, dan swasta. Bergabung dalam koalisi nasional, ia dan kawan-kawannya menemukan nama-nama besar dalam bisnis batubara, seperti Menkomaritim Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Agama Fachrul Razi, dan Menkoperekonomian Airlangga Hartarto.

Selain masalah itu, Indonesia dinilainya belum serius merencanakan penggunaan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik. Padahal, sebagai negara tropis, negara ini memiliki banyak potensi mengembangkan energi terbarukan dan berangsur-angsur meninggalkan energi fosil.

Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari proses alam yang sifatnya berkelanjutan. Sumber energi terbarukan bisa berasal dari tenaga surya, tenaga angin, arus air, atau panas bumi. Bisa juga berasal dari proses biologis seperti gas yang dari kotoran hewan ternak atau biofuel, bahan bakar yang bersumber dari sumber daya hayati.

Sementara energi fosil adalah energi yang sumbernya berasal bahan-bahan non terbarukan, bersifat cadangan, dan bisa habis sewaktu-waktu. Sumber energi fosil di antaranya berasal dari minyak, gas, dan batubara.

Secara umum, penggunaan energi di Indonesia masih bergantung pada energi fosil. Masyarakat Indonesia menggantungkan nasibnya sebesar 92 persen pada energi fosil. Hanya delapan persen energi terbarukan yang sudah dimanfaatkan. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam yang besar sebagai modal beralih ke energi terbarukan.

Untuk listrik misalnya, energi angin, air, tenaga surya, dan panas bumi, berpotensi menghasilnya 442 Gigawatt listrik. Tapi baru 12 persen di antaranya yang digunakan untuk pembangkit listrik. Sebagian besar sumber listrik kita berasal dari batu bara.

Selain bisa habis, energi fosil tidak ramah lingkungan. Proses pembakaran dari pengolahan energi fosil bisa berdampak langsung pada perubahan iklim. Karena itu, negara-negara Eropa sudah banyak yang mulai beralih ke energi terbarukan.

Baru-baru ini, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu juga mengkritik kebijakan pemerintah dalam memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Ia meyakini, ibu kota baru yang terletak di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada akhirnya akan bernasib sama dengan DKI Jakarta. Masalah-masalah yang umumnya dialami kota besar, seperti sanitasi, transportasi, dan kependudukan, belum tampak jalan keluarnya dalam rancangan desain ibu kota baru.

“Pada akhirnya, pegawai dengan gaji yang minim akan tinggal di pinggiran. Seperti Depok, Bekasi, dan Bogor,” kata dia.

Bagi Sawung, penggunaan energi terbarukan juga belum tampak terencana di ibukota yang baru. Menurut dia, selama pemerintah belum serius dalam peralihan ke energi terbarukan, ancaman krisis energi dan kerusakan lingkungan akan terus ada. Itu sebabnya, negara-negara maju telah berlomba-lomba beralih ke energi terbarukan. Setiap orang perlu menyadari ancaman krisis energi fosil, kata Sawung.

Kenapa Indonesia lamban dalam peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik? Law-justice.co mengupasnya lebih jauh bersama Sawung, yang dilakukan beberapa waktu yang lalu. Berikut petikannya:

Bagaimana nasib energi terbarukan di Indonesia saat ini?

Harusnya saat ini sudah mencapai sekitar 23 persen dari perencanaan tahun 2017. Tapi sekarang baru 13 persen pemenuhan listrik kita yang berasal dari energi terbarukan. Rata-rata dari Pembangkit Listrik Tenaga Air, tenaga angin, atau air terjun.

Di mana kendalanya?

Enggak niat saja sih kalau saya lihat. Perencanaan peralihan tidak didasarkan pada pentingnya penggunaan energi terbarukan. Misalnya, kita punya target 28 persen pada 2050, tapi pembangunannya tidak dimulai dari sekarang. Ya enggak bakal bisa tercapai target tersebut.

Kebutuhan listrik kita juga lebih mengutamakan penggunaan energi batubara atau minyak. Kalau kita butuh 54 Gigawatt, PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang dulu dibangun. Bukan energi terbarukan.

Selain itu, tergantung juga pada pejabat negara. Kalau yang berkuasa kebanyakan orang (pengusaha) batubara, pasti PLTU yang digenjot. Kalua orang gas, pasti penggunaan gas di mana-mana. Begitu juga kalau orang minyak yang sedang berkuasa, pasti penggunaan minyak juga digenjot.

Kapan kita mulai terancam dengan penggunaan energi fosil?

Untuk batubara, kira-kira tahun 2030 kita harus sudah mulai berhenti ekspor. Kalau masih dengan kondisi sekarang, pasti akan semakin berkurang cadangannya. Akhirnya, tahun 2045 kita akan mulai impor. Sektor Migas juga kira-kira seperti itu.

Di sektor mana kita sudah mulai harus beralih ke energi terbarukan?

Terutama sekali itu penggunaan Listrik. Sekitar 80 persen energi fosil kita dimanfaatkan untuk listrik. Kebutuhan listrik kita juga sangat tinggi.

Apakah mungkin untuk beralih? Investasi energi terbarukan sangat mahal. 

Sangat mungkin dan potensinya sangat besar. Sebetulnya, cadangan listrik kita itu lumayan besar. Ada gap, yang memungkinkan kita untuk beralih sambil memenuhi kebutuhan yang mengikat itu.

Kita harus mulai bangun dari sekarang. Sekitar empat tahun ke depan, kalau sudah banyak, pasti harganya akan murah. Panel surya saat ini memang mahal, tapi itu karena barangnya sedikit. Kalau produksinya banyak, pasti harganya lebih murah.

Sekarang sudah mulai banyak rumah-rumah orang kaya di Jakarta yang pasang panel surya. Apalagi sejak blackoutkemarin.

Bagaimana penghitungannya kalau pakai panel surya?

Satu rumah itu kita-kira butuh 5000 Watt. Perlu 20 panel. Satu panel harganya masih sekitar Rp 2,5 juta. Jatuhnya memang mahal, bisa 100 jutaan.

Tapi kalau dia bisa dipaketkan dengan pembangunan rumah, bisa sekalian dicicil, pasti akan terjangkau. Beberapa rumah di Tangerang Selatan sudah ada yang seperti itu.

Selain panel surya?

Penggunaan Mikrohidro juga sangat potensial. Justru akan lebih bagus karena memaksa orang menjaga hutan.

Kita punya contoh yang bagus di Palu. Ketika gempa, PLN kan hancur, ada beberapa daerah di sana yang langsung ada listrik karena orang-orang pakai panel surya dan mikrohidro. Perawatannya gampang kok. Lulusan SMA atau STM bisa jika benar-benar diajarkan.

Bagaimana dengan PLN kita?

Iya, konsekuensinya pasti ada bisnis PLN yang terganggu. Karena selama ini mereka jual listrik. Tapi sebetulnya PLN bisa mengambil alih pelayanan sevis. Atau, PLN bisa saja dari produsen panel surya. Dijual ke masyarakat dengan cara dicicil sekaligus jual jasa untuk maintenance.

Jadi sebetulnya enggak terancam banget lah bisnisnya. Cuma kan ada sebagian orang yang menerima komisi gede dari batubara, misalnya, itu saja kendalanya kalau di PLN. Ada orang-orang yang memang menghambat penggunaan energi terbarukan.

 

 

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar