Ditolak Jokowi,Muhammadiyah Izinkan Eks ISIS Dipulangkan dengan Syarat
ISIS mencatat rekor atas tewasnya 69 korban dari Tentara Nigeria dan pasukan anti-militan Afrika dalam sejumlah serangan yang terjadi selama sepekan, kata kelompok tersebut dalam surat kabar mingguan miliknya, Kamis (18/4/2019). (Antara)
Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo atau Jokowi secara pribadi menolak wacana kepulangan eks combatan ISIS ke Indonesia. Berebeda dengan Jokowi, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu`ti meminta untuk dipulangkan. Namun, dengan sejumlah pertimbangan.
"Pertama, kalau mereka warga negara Indonesia dan masih punya paspor Indonesia, ya mereka punya hak dong untuk kembali ke tanah airnya," kata Abdul Mu`ti di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2020).
Sisi kemanusiaan, menurutnya, juga perlu dilihat dalam menanggapi isu ini. Abdul menyebut banyak dari mereka yang bergabung dengan ISIS hanyalah ikut-ikutan saja.
"Banyak mereka yang tidak tahu menahu, kemudian mereka diajak dan ikut. Nah kalo kemudian semua dipukul rata tidak fair dan tidak adil," ujar Abdul.
Dia menuturkan jika pemerintah mampu memberikan bantuan kemanusiaan untuk warga negara lain, maka seharusnya pemerintah mampu membantu warganya sendiri, terlepas dari mereka eks kombatan ISIS atau tidak.
"Menurut saya, kalau banyak orang negara lain saja atas kemanusiaan kita berikan bantuan, masa ini eks (warga) negara Indonesia tidak kita berikan bantuan dengan pendekatan kemanusiaan," sambungnya.
Terakhir, Abdul Mu`ti menyarankan pemerintah menerima kepulangan WNI eks ISIS yang dokumen kependudukannya di Indonsia masih lengkap dan sah. Soal kekhawatiran para WNI tak mengakui NKRI, Mu`ti menyarnkan adanya semacam `karantina politik`.
"Ketiga memang secara politik ada yang khawatir dengan mereka ini. Tapi menurut saya kan perlu ada solusi jalan tengah, misalnya, mereka kita izinkan ke Indonesia tapi sampai ke masa tertentu ketika secara ideologi mereka kita anggap belum memiliki istilahnya kesetiaan kepada Pancasila, ya mungkin perlu dilakukan rehabilitasi atau apapun namanya, pembinaan politk begitu," ungkap Abdul.
Pembinaan politik yang dia maksud bukan berupa pemenjaraan di lembaga permasyarakatan (lapas) seperti yang dialami para narapidana kasus terorisme (napiter). Maksud Abdul Mu`ti, karantina politik dapat dilakukan di suatu tempat.
"Jadi istilahnya bukan mereka kemudian dibina di lembaga permasyarakatan. Tetapi di tempat tertentu di mana mereka ada pembinaan. Semacam karantina politiklah, saya kira mungkin ada karantina politik sebagai jalan tengah. Supaya mereka bisa kembali ke tanah air, kemudian mendapatkan hak-haknya dengan pendekatan kemanusiaan gitu dan secara politik mereka dilakukan pembinaan," tandasnya. (detikcom)
Komentar