Penyelewengan Dana Bantuan Masyarakat (Tulisan-II)

Impunitas dan Jalan Buntu Penuntasan Dugaan Korupsi di Istana

Sabtu, 01/02/2020 03:02 WIB
Ilustrasi pembagian anggaran korupsi (Foto:Kanalkalimantan.com)

Ilustrasi pembagian anggaran korupsi (Foto:Kanalkalimantan.com)

Jakarta, law-justice.co -  

Penuntasan kasus korupsi yang terkait dengan istana kepresidenan selalu menemui jalan buntu. Hal itu terlihat dari penuntasan beberapa kasus korupsi yang dijalan oleh Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Waktu itu, Timtas Tipikor  yang dipimpin oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji dinilai gagal menuntaskan kasus korupsi di lembaga kepresidenan dan sekretariat negara.

Tim yang dibentuk pada tahun 2005 itu sudah bekerja selama dua tahun. Namun, itu dinilai tidak mampu menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan istana dan sekretariat negara seperti pengelolaan aset negara di Senayan dan Kemayoran. Selain itu, timtas tipikor juga dianggap tidak membuka aliran dana non bujeter Bantuan Presiden (Banpres) atau sekarang dikenal dengan dana bantuan kemasyarakatan.

Dasar hukum pembentukan Timtas Tipikor adalah Keppres No. 11 Tahun 2005. Hendarman dipercaya menjadi Ketua Timtas Tipikor yang membawahi anggota multi-instansi yang terdiri dari 15 orang dari Kejaksaan, 15 orang dari Kepolisian dan 15 orang dari BPKP. Sementara, pimpinan masing-masing lembaga yaitu Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BPKP didudukkan sebagai Penasihat.


Mata anggaran Kementerian Sekretariat Negara soal bantuan masyarakat (Foto:Repro Kemenkeu/Law-Justice.co)

Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang berisikan 45 anggota tim itu diinisiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Harapannya, tim itu mampu membersihkan lembaga istana dan sekretariat negara dari kejahatan korupsi. Selama dua tahun bekerja Hendarman Supandji mengklaim berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 3.9 triliun. Tim itu telah menangani 72 perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, ada 45 kasus di Kementerian Sekretariat Negara, 2 kasus di Kementerian BUMN dan 233 kasus yang bersumber dari laporan masyarakat.

Jika melihat data tersebut, perkara korupsi di Kementerian Sekretariat Negara terbilang tinggi. Ada 45 kasus korupsi seperti penyelewengan dana penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-50 di Bandung pada tahun 2004. Menurut laporan Timtas Tipikor audit BPK tentang dugaan korupsi di Setneg menyangkut tiga komponen. Yakni, yang berkaitan dengan pengelolaan aset, pengelolaan APBN, dan pengelolaan dana rekanan Setneg.

Namun dalam penyelidikan beberapa kasus di Kementerian Sekretariat Negara, tim tersebut menghadapi tembok penghalang seperti hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang molor dari jadwal penyelidikan dan penyidikan. Sehingga, menyulitkan tim dalam menuntaskan beberapa kasus korupsi. Sehingga hal itu memicu kemarahan dari Hendarman Supandji yang menjabat sebagai ketua tim penuntasan tindak pidana korupsi.

"Saya perintahkan tim mengusut langsung ke BPK karena hasil audit belum kami terima," kata Ketua Timtas Tipikor Hendarman Supandji kepada pers di Gedung Kejagung, seperti dikutip dari Media Indonesia, pada tahun 2005.

Sampai akhir pembubaran tim, penuntasan korupsi di lembaga sekretariat negara dan presiden nyaris tak bersuara alias diam di tempat. Hal itu menyiratkan dugaan ada kekuatan tertentu yang menghalangi penuntasan korupsi di ring nomor satu istana kepresidenan tersebut. Bahkan, Mensesneg kala itu dijabat oleh Yusril Ihza Mahendra meminta penundaan penanganan tindak korupsi di lembaga yang dipimpinnya. Yusril kala itu mengirim surat kepada Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) Hendarman Supandji.

Menurut Yusril, permintaan penghentian dilakukan karena menyebabkan gonjang ganjing kinerja pejabat di tubuh lembaga yang mengatur dan mendukung kegiatan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, tindakan itu dinilai menghalangi pengungkapan dugaan korupsi di tubuh lembaga yang dipimpinnya.

"Saya tidak pernah menghalang-halangi. Seperti anda tahu bahwa saya yang menyusun UU Anti Korupsi, dan saya juga yang membentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," katanya kepada pers seperti dikutip dari Tempo.

Dana Bantuan Kemasyarakatan Jadi Bancakan Sejak Dulu
Dana bantuan kemasyarakatan yang dulu dikenal dengan istilah dana bantuan presiden (Banpres) itu sudah lama diidentifikasi sebagai ladang bancakan. Asal usul dana banpres mulai dikumpulkan sejak tahun 1970-an. Namun, pada tahun 1995, Presiden Soeharto kala itu menghentikan pengumpulan dana Banpres. Berdasarkan laporan audit BPK, sumber penerimaan Banpres berasal dari subsidi pemerintah, kelebihan ongkos naik haji, dan hasil tata niaga cengkeh impor.

Selain itu, juga berasal dari sebagian iuran hasil hutan tambahan dan hasil penjualan terigu oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), sisa dana pembangunan Kedutaan Besar RI (KBRI) Singapura, penghasilan sebagian bunga deposito dana reboisasi dan hasil pengembangan dana, antara lain bunga atas penempatan dana di bank, serta sumber-sumber lain yang ditetapkan presiden. Saldo dana Banpres yang disimpan di beberapa bank pemerintah dan swasta dalam bentuk rekening giro per 30 Juni 2000 sebesar Rp 120,7 milyar dan empat juta dollar AS lebih.

Dari jumlah itu, ditemukan penyimpanan dana banpres pada rekening salah satu pejabat di Sekretariat Negara dengan nilai Rp 60.5 miliar dan lebih dari empat juta dollar Amerika Serikat. Dana banpres yang disimpan pun memiliki tidak hanya dalam bentuk simpanan, namun juga ada deposito senilai Rp 271 miliar atau setara dengan 10 juta dollar AS.


Masyarakat miskin menerima hadiah bingkisan dari presiden Joko Widodo (Foto:Radarbogor)

Hal itu memicu polemik soal keamanan atas penempatan dana. Sebab, selain negara berada dalam posisi lemah apabila terjadi masalah terhadap rekening giro dan sertifikat deposito, juga membuka peluang kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap dana Banpres. Ini terjadi karena belum ada sistem dan prosedur baku atas pengelolaan dana Banpres dan tidak berpedoman pada ketentuan pengelolaan APBN.

Menteri Sekretaris Negara di rezim pemerintahan Megawati, Bambang Kesowo menjelaskan, pengelolaan dana banpres oleh Setneg berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 1999 dan Inpres No 4/2000 soal penertiban rekening departemen/lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), sudah dengan jelas memerintahkan kepada para menteri dan pimpinan LPND untuk menyampaikan semua data mengenai saldo rekening pada departemen/LPND kepada Menteri Keuangan (Menkeu).

Namun dalam prakteknya, masih ditemukan adanya penyimpanan dana pada rekening pribadi dan adanya piutang yang bersumber dari anggaran Banpres.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester kedua tahun anggaran 2000, dana Banpres yang dikelola Setneg adalah dana yang dihimpun dari 13 jenis dana dan itu merupakan bagian dari keuangan negara di luar APBN. Pembentukan dan penggunaan setiap jenis dana ditetapkan dengan keputusan presiden (Keppres). Dalam dana Banpres ada komponen yang disebut Dana Bantuan Umum (DBU) yang antara lain digunakan untuk membiayai pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perhubungan, dan pertanian. Akan tetapi, dalam pelaksanaan, terdapat penggunaan dana Banpres di luar tujuan tersebut.

Dalam sejarahnya, dana Banpres pernah digunakan sebagai bantuan kepada organisasi politik dan organisasi masyarakat sebesar Rp 31,8 milyar, bantuan rutin dan dana kampanye bagi Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebesar Rp 7,5 milyar. Juga ada bantuan khusus kepada PDI untuk konsolidasi Januari 1998 sebesar Rp 2 milyar. Kongres PDI di Palu sebesar Rp 1,8 milyar, Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya sebesar Rp 909 juta, dan Kongres PDI di Medan sebesar Rp 200 juta.


BPK Temukan Dugaan Bancakan Dana Banmas
Dalam laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2017, ditemukan adanya dugaan pengunaan dan Bantuan Kemasyarakatan/ Bantuan Presiden yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Dalam laporan tersebut tercatat pengeluaran belanja bantuan kemasyarakatan (banmas) belum dilengkapi dengan daftar penerima bantuan dan laporan pertanggungjawaban, sehingga berpotensi tidak sesuai dengan peruntukan. Selain itu, pemberian banmas secara berulang kepada pihak yang sama mengakibatkan penyaluran banmas tidak tepat sasaran.

Selain itu, pada unit Sekretariat Wakil Presiden di Kementerian Sekretariat Negara terdapat penggunaan anggaran bantuan kemasyarakatan yang tidak tepat, yaitu untuk pembayaran honorarium pengelola kegiatan.


Data hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan soal Dana Bantuan Kemasyarakatan Presiden (Foto:Repro BPK/Law-Justice.co)

Masalah pengelolaan dan pengunaan dana bantuan kemasyarakatan Presiden sempat dipermasalahkan oleh Fahri Hamzah yang dulu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Menurut Fahri dalam untaian cuitan di twitter pada Januari 2019, Presiden Joko Widodo dibekali anggaran sekitar 110 miliar rupiah. Menurut Fahri, jumlahnya itu naik sekitar 7 miliar rupiah jika dibandingkan tahun anggaran 2018.

"Tahun 2019 Presiden bersafari menyapa wong cilik dibekali dana 110 M. Jumlahnya naik 7 M dari tahun lalu, walaupun 2019 ini masa baktinya tidak setahun penuh," ujar Fahri seperti dikutip dari Twitter.

Bahkan dalam cuitannya, pengunaan dana anggaran bantuan kemasyarakatan Presiden bisa memicu permasalahan. Apalagi apabila pemberian dana yang besar itu dilakukan mendekati tahun pemilu.
"Kalo kita cermati APBN 2019, setidaknya ada 4 pos anggaran yang masuk kategori potensi dana yang bisa meraup elektabilitas petahana. (1) Dana Desa, (2) Dana Kelurahan, (3) Dana Bansos PKH, (4) Dana Bantuan Kemasyarakatan Presiden," ungkapnya.

Law-Justice berusaha mengkonfirmasi sumber dan pengunaan anggaran bantuan kemasyarakatan Presiden yang berpotensi merugikan negara kepada Menteri Sekretariat Negara Pratikno namun hingga berita ini diturunkan tidak ada respon. Bahkan juru bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman juga enggan untuk membuka soal alokasi dan pengunaan dana tersebut.

Bekas Juru bicara Presiden Johan Budi SP yang kini duduk sebagai Anggota Komisi II DPR pun tidak menjelaskan rinci soal pengunaan dana bantuan kemasyarakatan presiden. Kata dia, dirinya tidak mau ikut campur komentari soal sumber dana dan pengunaan dana bantuan kemasyarakatan Presiden.
"Maaf ke jubir presiden yang baru," ungkapnya.

Kontribusi Laporan : Bona Ricki Siahaan, Janurdi Husin, Vicky Andrew Manurung

 

 

 

 

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar