King Oey, Pejuang HAM Kaum LGBT:

Diskriminasi Paling Keras Terhadap LGBT Berasal dari Keluarga Sendiri

Senin, 27/01/2020 09:01 WIB
King Oey (Dok.Pribadi)

King Oey (Dok.Pribadi)

law-justice.co - Keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat pada republik Indonesia sudah dikenal luas oleh negara-negara lain. Semboyan Indonesia Bhinneka Tunggal Ika,î memberi kesan negara keanekaragaman, di mana perbedaan-perbedaan antar orang dihormati sebagai sesuatu yang menyumbang ke kesejahteraan masyarakat. Tetapi dibandingkan banyak negara-negara lain, Indonesia adalah sebuah negara di mana gaya-gaya hidup segala macam diakui dan dihormati. Tetapi, terwujudnya semboyan ini sebagai realitas belum tercapai di Indonesia.

Namun sayang, indahnya keberagaman tersebut harus dirusak oleh tindakan-tindakan yang yang bersifat kekerasan dan diskriminasi. Seperti contoh kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Konsep Hak Azasi Manusia untuk orang LGBT mungkin dianggap aneh oleh banyak orang, tetapi sebetulnya konsep ini sudah lama ada. Hak azasi manusia diutamakan sejak awal pergerakan LGBT di Indonesia. Ini khususnya terjadi sejak Lambda Indonesia didirikan tahun 1982, dan usaha-usaha penting Dede Oetomo dan orang-orang lain sejak waktu itu, melalui Gaya Nusantara, Arus Pelangi, dan banyak kelompok, organisasi, dan yayasan lain.

Adalah King Oey yang merupakan aktivis pejuang HAM yang sangat konsisten untuk memperjuangkan HAM untuk para kaum LGBT. Salah satu pendiri Arus Pelangi tersebut mencurahkan hidupnya untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik untuk kaum LGBT di Indonesia. Pria lulusan Wageningen University & Research tersebut mengatakan kaum LGBT adalah warga negara Indonesia yang juga memiliki kesamaan hak layaknya warga negara lainnya. Ia juga menyesalkan masih banyak kelompok intoleran yang menganggap LGBT adalah sebuah kelompok yang harus disingkirkan.

Pria yang biasa dipanggil Om King tersebut juga menceritakan bagaimana kelompok LGBT didiskriminasi bahkan menerima tindakan kekerasan selama hidupnya. Berikut petikan wawancara King Oey yang dilakukan beberapa minggu lalu:

Bagaimana anda melihat tentang kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang masih sering terdapat tindakan diskriminasi?

Pertama, kita kan masih hidup dengan masyarakat yang konservatif dan pakem-pakem tradisional meskipun sudah masuk ke era modern, masih ada nilai-nilai yang bertahan. Dan ditambah juga masuknya nilai-nilai yang saya anggap baru seperti nilai-nilai agama, yang menganggap itu dosa. Kalau jaman dulu itu tidak dianggap dosa, hanya dianggap aneh iya. Tapi kan baru-baru ini saja sejak Islamisasi itu berkembang di tahun 80an itu dilarang keras. Dan sementara proses political Islam berkembang.

Nah, disitu kita berbenturan dengan arus globalisasi yang membawa lebih banyak peluang, kebebasan, informasi, kalau dulu itu cari informasi itu susah sekali. Saya waktu muda mengalami itu, kalau sekarang kan tinggal ketik di google aja langsung dapat informasi. Di satu sisi itu terjadi globalisasi tapi disisi lain ada arus balik dari pihak-pihak agama yang semakin keras menonjolkan nilai-nilainya dan juga berusaha keras untuk mengaplikasikannya terhadap kelompok-kelompok lain. Apalagi di era reformasi banyak kelompok yang bisa bebas berkembang apalagi kelompok intoleran. Saya kira sebagian masyarakat terbawa oleh arus itu.

Bagaimana anda melihat peran negara dalam situasi tersebut?

Ada dua hal ya, pertama soal negara. Kita kan kalau berbicara soal negara kan mau tidak mau harus melihat siapa yang mewakili negara itu. Dan disitu terjadi benturan politik. Dan Undang-undang yang kita dapat itu adalah hasil dari benturan-benturan itu. Pertama, dimana banyak UU yang simpang siur karena benturan itu tidak membawa hasil yang konsisten. Kedua, aturan itu juga diterapkan oleh manusia yang membawa nilai-nilai intoleran ke dalam ranah hukum sehingga muncullah Perda-perda yang sebetulnya melanggar Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) tapi dibiarkan, ya begitulah manusianya. Mungkin mentalitas kita ya yang tidak terlalu khawatir dengan ketidakjelasan, kita nyaman-nyaman saja, aturan abu-abu ya fine saja.

Lalu tentang usulan perkawinan sesama jenis, itu tidak pernah digulirkan oleh kelompok LGBT. Yang ada kan itu revisi UU pernikahan, tapi tidak pernah ada niat merevisinya sehingga mensahkan perkawinan sejenis. Tuduhan itu digulirkan oleh kelompok-kelompok intoleran yang bilang, "Tuh kan, pasti maunya kesitu". Pasti ujung-ujungnya kesitu maka RUU itu harus ditentang keras. Padahal kelompok-kelompok LGBT tidak pernah meminta hal itu. Kalau di negara-negara lain terjadi UU pernikahan sesama jenis, ya senang-senangnya saja buat negara itu, tapi kita juga tahu di Indonesia tidak mungkin. Dan jangankan berjuang soal pernikahan, hidup sehari-hari saja sudah susah, karena didiskriminasi habis-habisan.

Perlakuan terhadap pelaku LGBT dengan para pejuang HAM yang kebetulan membela HAM para LGBT, apakah perlakuan kelompok intoleran tersebut sama atau berbeda?

Saya tidak tahu persis karena saya sendiri kan sebagai kelompok minoritas memang merasakan itu, yaitu kebencian. Nah, apakah pejuang HAM yang ikut berjuang ikut mengalami? Kalau dari amatan saya tidak separah seperti pejuang LGBT. Bagaimanapun pejuang-pejuang HAM yang bukan LGBT mereka bisa pulang ke rumah dan keluarganya dengan nyaman dan aman. Kalau LGBT, apalagi yang muda itu seringkali tidak nyaman di rumahnya sendiri, bedanya disitu. Diskriminasi terhadap LGBT itu yang paling keras itu berasal dari keluarga sendiri. Beda dengan kelompok katakanlah Ahmadiyah, meskipun mereka diusir atau diserang tapi mereka tetap nyaman keluarga mereka sendiri. Bedanya disitu.

Bagaimana perkembangan Arus Pelangi sekarang?

Dulu kami masih bisa melakukan aksi di jalan atau menyelenggarakan diskusi publik. Namun suasana politik sudah berubah. Isu LGBT sekarang dipolitisir habis; isunya digoreng terus. Intinya, kelompok-kelompok garis keras mengkambing hitamkan LGBT untuk menekan pemerintah. Situasi ini sudah berdampak pada ruang gerak Arus Pelangi. Dengan gelombang intoleransi terhadap LGBT ini memang tidak memungkinkan lagi untuk mencantumkan alamat. Karena itu nanti akan mudah untuk diserang.

Apakah bentuk ancaman atau gangguan itu sering terjadi?

Yang terjadi secara konkrit itu suatu saat di dekat kantor Arus Pelangi muncuk spanduk "Kami Menolak LGBT Di Lingkungan Kami". Ya kalau kami tanyakan tentang ini kepada kepala RT mereka tidak mengakui tapi keliatan mereka tidak nyaman dengan keberadaan kami. Kalau dulu kami melakukan aksi selalu ada resiko kami diserang tapi sekarang penyerangan menjurus ke keberadaan komunitas, bukan lagi aksi kami. Apalagi bentuknya berkelompok. Dan jangankan kantor Arus Pelangi, kosan pun seringkali digrebek. Misalnya seperti waria, mereka kan susah cari kosan, dan ketika mereka dapat kosan yang nyaman biasanya mereka numpuk. Nah, pengusiran waria sering terjadi disitu. Katanya lingkungan mereka menolak lalu mereka diusir, padahal pemilik kosnya tidak masalah. Memang data kami agak kurang tapi itu sering terjadi.

Kalau melihat simpati masyarakat atau ikut membela kelompok LGBT, bagaimana anda melihat?

Saya kira masih kurang ya, karena kalau kita dapat dukungan masif maka serangan-serangan itu tidak akan terjadi. Sayangnya saat ini mayoritas masih menolak dan yang menolak secara keras itu mendominasi wacana. Kalau kita lihat di medsos tentang LGBT, yang kontra itu mayoritas daripada yang membela. Jadi situasinya masih begitu.

Menurut anda masih kelompok agamakah yang paling keras menentang?

Ya kelompok agama, dan mereka masih bebas-bebas saja kan menentang kebebasan berpendapat kelompok LGBT. Dan event-event LGBT yang diadakan sering sekali dibubarkan. Makanya policy-policy kami itu bersifat konfidensial untuk setiap kegiatan.

Melihat banyaknya arus penentangan, bagaimana sikap kelompok LGBT?

Masih terus berjuanglah, apalagi masih banyak dukungan dari para pejuang HAM yang membela kita. Tinggal pimpinan tertinggi saja mau tidak dia komit melindungi kami. Tadinya kan kita berharap di periode pertama ini, tapi saya mengerti dia sedang menyeimbangkan faksi-faksi di pemerintahannya. Tapi kalau kita lihat periode sekarang dimana dia mengangkat orang ulama sebagai Wapres ternyata tidak bisa berharap banyak juga. Beda dengan Barrack Obama

Kalau kita lihat Barrack Obama sebagai contoh saja kan, periode pertama dia masih anti LGBT, tapi periode kedua dia habis-habisan pro karena dia merasa tidak terbeban lagi. Harusnya kita begitu, dan bukan hanya LGBT tapi semua kelompok minoritas dia rangkul tanpa tebang pilih.

Bagaimana anda melihat aksi diskriminasi ini kadang tidak terlihat atau tidak terlalu diketahui bahkan tidak terekspos?

Jadi begini, itu tergantung unsur sensasi. Kalau ada unsur sensasi pasti diangkat habis-habisan. Seperti kejadian Spa yang dirazia dan para gay yang ditangkap, itu kan di blow up. Yang tidak terekspos adalah diskriminasi sehari-hari yang dirasakan oleh semua LGBT yaitu bullying, ejekan, hujatan, diskriminasi yang terjadi di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, dll.

Apakah menurut anda itu juga sebagai bentuk kebencian terhadap minoritas?

Sebenarnya saya yakin masyarakat juga tidak setuju dengan kelompok-kelompok intoleran yang membenci LGBT. Sayangnya mereka diam saja. Saya harap masyarakat bisa disadarkan bahwa diam saja memberi peluang bagi kelompok-kelompok intoleran untuk lebih berkembang.

Apa harapan anda terhadap masyarakat yang masih mendiskriminasikan orang atau kelompok?

Itu kembali ke penegakkan hukum. Katakanlah negara belum siap untuk menghapus bentuk-bentuk diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Kita tidak punya UU kecuali tentang UU tentang penghapusan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis (UU PDRE No. 40/2008), tetapi kalau berdasarkan orientasi seksual atau agama minoritas tidak ada. Semuanya dibiarkan kan, tidak ada aturan. Tapi kalau kita ngomong kekerasan itu kan tidak boleh, bagaimanapun. Tapi itulah yang terjadi dan pemerintah lalai untuk menegakkan hukum. Kalaupun ditegakkan hanya untuk menegakkan hukum kepada kelompok yang melakukan kekerasan yang berlebihan itu tidak tentang bagaimana cara menghapus diskriminasi.

Dan kalau kita lihat secara global gelombang intoleransi bukan hanya terjadi di Indonesia, di seluruh dunia mau di Amerika, Eropa, India. Intoleransi itu berkembang. Dan kalau kita lihat sejarah jangka panjang mungkin gelombang itu suatu saat akan hilang. Tapi kapan itu kita tidak tahu karena saat ini masih kuat.

Dan suatu harapan juga untuk generasi muda yang nanti akan berkuasa untuk lebih toleran dan terbuka untuk kelompok-kelompok minoritas. Sekarang itu kan yang megang kekuasaan itu masih banyak dari orde baru. Memang jaman Soeharto itu tidak secara langsung menyerang kelompok LGBT karena saat itu kelompok LGBT memang diam. Tidak berbuat banyak. Mereka ada tapi mereka tidak muncul ke permukaan. Makanya tidak terdengar. Yang paling dikejar-kejar kan yang melawan Suharto. Ya mudah-mudahan generasi berikut akan lebih baik.

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar