Jerat Korupsi dalam Tubuh Bapeten (Tulisan-II)

Ada Restu Istana di Bisnis Kolusi Alat Pemindai Nuklir

Jum'at, 24/01/2020 22:03 WIB
Gedung Bapeten (Foto: Denny/Law-Justice.co)

Gedung Bapeten (Foto: Denny/Law-Justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Pemerintah melalui Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) melakukan pengadaan barang dan jasa alat pemindai nuklir yang diduga akan merugikan negara hingga triliunan rupiah. Pengadaan alat bernama Radiation Data Monitoring System (RDMS) dan Radiation Portal Monitor (RPM) rencananya akan dipasang di beberapa objek vital seperti pelabuhan, bandara dan gedung milik pemerintah. Dasarnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.60 Tahun 2019 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Keselamatan Nuklir dan Radiasi.

Dalam Peraturan Presiden itu, dijabarkan target dari lembaga seperti Kemenristek Dikti, BAPETEN dan BATAN untuk menyediakan alat RDMS dan menyusun peta jalan untuk produksi alat RDMS dan Radiation Portal Monitor (RPM) dalam negeri dengan mencontoh alat RDMS yang dibeli dari Eropa. Sebagai langkah awal, Bapeten berencana melakukan impor alat RDMS dengan jumlah hingga 126 unit yang akan dipasang di stasiun milik BMKG.

BAPETEN sendiri sudah melakukan impor RDMS dan RPM sejak tahun 2013. Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Total RDMS yang diadakan sejak 2013 hingga 2018 mencapai 15 unit. Dengan rincian, 6 unit pada tahun anggaran 2013, 3 unit pada tahun anggaran 2015, 1 unit pada tahun anggaran 2017 dan 5 unit pada tahun anggaran 2018. Sedangkan di tahun 2020 direncakanakan untuk membeli 4 unit. Sedangkan pada tahun 2021 pengadaannya direncanakan mencapai 86 unit RDMS.

Payung hukum perlindungan negara dari bahaya radiasi nuklir (Foto:repro)

Tak tanggung-tanggung, untuk menjaga keamanan, Bapeten juga memasang 3 unit alat RPM dan 1 unit alat RDMS di Istana Kepresidenan Jakarta pada tahun 2016 dengan menggunakan anggaran pembelian tahun 2013 untuk RPM dan tahun 2015 untuk RDMS.

Sekedar informasi, RPM merupakan seperangkat alat yang dilengkapi sensor yang mampu mendeteksi adanya zat radioaktif, termasuk nuklir. RPM sangat diperlukan untuk dipasang di seluruh pelabuhan dan bandara internasional serta pos lintas batas negara guna mencegah masuknya bahan radioaktif secara ilegal. Selain itu, RPM diperlukan untuk menghindari penyelewengan penggunaan zat radioaktif dan bahan nuklir oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Pepres ini dinilai menjadi legalisasi proyek pengadaan barang RDMS dan RPM yang dilakukan oleh Bapeten dan Batan. Seakan menjadi karpet merah pengadaan alat RDMS dan RPM. Karena Bapeten dan BATAN menjadi leading sector soal nuklir. Selain itu masih rendahnya alat sinyal proteksi nuklir, dinilai membahayakan lingkungan hidup dan manusia di Indonesia. Menurut Deputi Bidang Perizinan dan Inspeksi Bapeten Khoirul Huda, Indonesia membutuhkan 126 sinyal proteksi nuklir.

Kepala Bapeten Jazi Eko Istianto menyebut alat RDMS tersebut akan di pasang di daerah perbatasan. Tak hanya itu, Bapeten menyebut akan membentuk konsorsium dalam negeri untuk memproduksi alat detektor sinyal nuklir atau Radiology Delta Monitoring System (RDMS). Konsorsium itu terdiri Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), PT LEN Industri, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini, kata Jazi, konsorsium tersebut sedang melakukan uji coba pembuatan RDMS.

Kata dia, selama ini pengadaan RDMS masih bergantung impor dari Eropa. Apabila uji coba tersebut berhasil, kata Jazi, impor RDMS akan dihentikan.


Dugaan Korupsi dan Pemborosan Anggaran

Pemborosan anggaran diduga terjadi dalam proyek pengadaan alat pemindai radiasi nuklir RDMS dan RPM sejak 2013 hingga 2018. Menurut bekas Kepala Bidang Pengkajian Bidang Industri Bapeten, Togap Marpaung. Pembelian alat RDMS dan RPM diduga sebagai pemborosan dan proyek akal-akalan dari pejabat Bapeten. Kata dia, nilai manfaat alat tersebut dinilai tidak maksimal. Selain karena mahal juga perawatan alat tersebut yang memakan biaya mahal sehingga rawan penggerusan anggaran negara.

"Barang tersebut 126 unit itu tidak bermanfaat karena jumlahnya saja terlalu banyak. Dari segi jumlah terlalu banyak dan kinerja alat itu tidak mampu mendeteksi radioaktivitas lingkungan. Kalau pun terjadi, Presiden mau bagaimana kepada rakyatnya. Karena sumber terjadinya kecelakaan itu terjadi di luar negeri akibat perlombaan senjata nuklir atau kecelakaan pembangkit tenaga nuklir," ungkap Togap saat dihubungi Law-Justice.co

Togap menambahkan, pembelian itu juga dinilai memerlukan biaya perawatan yang mahal. Kata dia, alat RDMS yang dimiliki Bapeten sudah ada beberapa yang rusak. Dan perbaikannya memerlukan biaya mahal karena harus dilakukan di negara produsen di Eropa.

"Kami berpendapat barang tersebut terjadi pemborosan anggaran karena kehandalan alat tadi.Jadi pemasangan RDMS ini mubazir dan pemborosan anggaran. Mudharat lebih besar dari manfaatnya. alat ini pun faktanya, baru tahun lalu mereka buat tahun 2013 dipasang tahun 2014. ada 3 dari 6 itu sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki di sini harus dikembalikan ke negaranya. Biayanya sangat mahal dan seperti membeli baru. Alat ini hanya bisa bertahan 3 tahun menurut pakar, kalau dipaksakan bisa 500 miliar untuk biaya perawatan," tambah Togap.

Hasil audit BPK soal kerusakan alat RDMS milik lembaga Bapeten (Foto:Repro BPK)

Selain itu, niat pemerintah untuk membuat alat RDMS dan RPM akan memerlukan biaya mahal. Karena teknologi yang dimiliki oleh para ahli di Indonesia belum ada yang mampu untuk membuat alat tersebut.

Dalam laporan hasil pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) tahun 2018 tercatat bahwa ada kerusakan alat Radiation Data Monitoring System (RDMS).Hasil cek fisik di lapangan diketahui terdapat 3 unit RDMS yang tidak berfungsi/rusak yang ditempatkan pada kawasan Pusat Penelitlan limu Pengetahuan dan Teknologi (Puspipiek) Serpong Provinsi Banten.

Peralatan RDMS yang tidak berfungsi tersebut adalah RDMS yang berfungsi sebagai pemantau lokasi reaktor nuklir. Menurut keterangan pihak BAPETEN diketahui bahwa jumlah ideal RDMS yang ditempatkan pada lokasi reaktor nuklir adalah sebanyak 8 unit, yaitu sesuai dengan 8 arah mata angin. Namun karena adanya keterbatasan anggaran.

Jumlah RDMS yang ditempatkan di Puspitek Serpong adalah sebanyak 6 unit, yaitu terdiri dari 2 unit ditempatkan di pintu masuk daerah Puspitek dan 4 unit lainnya di reaktor nuklir. menyesualkan dengan arah angin. Dari 6 alat yang ditempatkan di Puspitek tersebut, sebanyak 3 alat rusak. Alat tersebut rusak karena tidak dapat mengirimkan data yang akurat ke apllkasi RDMS, dan dari faktor kalibrasi juga sudah melewati ambangbatas faktor kalibrasi.

Hasil konfirmasi dengan pihak distributor alat RDMS diketahui bahwa untuk perbaikan RDMS hanya dapat dilakukan oleh pabrikan dengan cara mengirlmkan alat ke Jerman dan belum bisa diketahui perkiraan biaya dan lamanya proses perbaikan. Hal ini dikarenakan kerusakan terjadi di dalam komponen detektor yang apabila dibuka harus divakum dulu menggunakan nitrogen untuk menjaga dari kelembaban dan korosi. Setelah selesai perbaikan RDMS tersebut harus dikalibrasi untuk melihat ketepatan hasil pengukurannya, dan yang mempunyai fasilitas kalibrasi RDMS ini hanya pabrikan.

Dari laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan tersebut, pengadaan alat RDMS itu dinilai belum maksimal karena perawatan yang sulit dan perbaikan yang mahal sehingga rawan pemborosan dalam anggaran pembelian alat RDMS dan RPM. Sebagai inisiasi Bapeten melakukan pengadaan RDMS berupa peralatan mobile decontamination dan pengadaan pemantau lingkungan dengan nilai sekitar Rp 8 miliar yang dimenangkan oleh PT Sembada Wira Perkasa dan PT Pernadi Wiraperkasa.

Dalam proses pengadaannya ternyata terdapat masalah hukum dan kini sedang masuk dalam penyelidikan dari kepolisian Polda Metro Jaya. Bahkan, hasil audit BPKP perwakilan DKI Jakarta menyimpulkan ada dugaan perbuatan melawan hukum dalam proses lelang tersebut. Namun, hingga kini pihak kepolisian belum mau memberikan keterangan resmi terkait hasil penyelidikan kasus ini setelah mendapatkan hasil audit dari BPKP.

Sedangkan Kepala Biro Hukum Bapeten Indra Gunawan membantah pengadaan RDMS dan RPM sebagai pemborosan keuangan negara. Kata dia, alat pemindai radiasi nuklir seperti RDMS dan RPM diperlukan untuk menjaga perbatasan dari bahaya radiasi nuklir.

"RPM itu satu alat yang di beberapa negara bahkan di negara tetangga kita seperti Thailand, Malayasia, Singapura, sudah sangat umum dan memang dipasang di berbagai portal perbatasan. Terutama untuk arus keluar masuk negara. Tiga negara itu kerja sama dengan Amerika Serikat. Kita sudah koordinasi dengan Kemenlu. Prinsipnya secara mandiri kita akan mengadakan sendiri," ungkapnya.

`
Dokumen pengadaan alat radiasi nuklir di Bapeten yang tersandung masalah hukum (Foto:Repro)

Kata dia, fungsinya alat itu untuk mengetahui keluar masuk barang itu apakah ada kandungan radioaktif atau tidak. Di beberapa negara maju dalam konteks nuklir security yang jadi isu dunia,"Kalau kita mau mengirim barang ke negara maju, barang tersebut harus bebas dari kontaminasi radiaktif nulir. Tidak boleh terkontaminasi. Ini sangat penting. Jadi RPM dan RDMS ini sebagai satu jaminan tidak ada ancaman terorisme nuklir. Thailand misalnya, mereka salah satu perakit mobil terbesar di Asia Tenggara. Mereka sudah lama pasang RPM di mana-mana. Karena kalau memproduksi mobil bahannya metal kan rentan mendapatkan besi itu sudah dilebur dengan limbah radioaktif. Kan treatmentnya tidak mudah," jelasnya.

"Juga jaminan buat mitra dagang kita supaya mereka tahu bahwa kita juga menerapkan prinsip-prinsip keamanan nuklir. Hal-hal seperti itu yang penting. Kemudian kita bikin beberpa kajian dan dokumen bahwa RPM dan rdms kita butuhkan . Untuk mendeteksi radiaksi nuklir. Itulah yang membuatkita perlu mengadakan barang-barang tersebut. Dalam melakukan pengawasan itu ada peraltan yang sifatnya aktif dan pasif," tambahnya.

Sementara itu, Divisi Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gulfino Che Guevarrato menilai, dugaan pemborosan yang dilakukan lembaga pemerintah seperti Bapeten jamak terjadi. Kata dia, hal itu menjadi tugas pemerintah yang tidak pernah selesai karena penilaian kinerja yang hanya berbasiskan sarapan anggaran.

"Dalam pemborosan anggaran kami jamak menemui kasus itu. Karena masalah pemerintah selama ini memang seperti itu, melihat kinerja bukan berbasiskan output kinerjanya, impactnya, tapi utamanya berbasiskan sarapan anggaran," katanya saat dihubungi Law-Justice.co

Gulfino menambahkan, Fitra mendorong kinerja pemerintah yang berbasis pada dampak yang dikeluarkan dari program-program yang dibiayai oleh anggaran negara.


RPM dan RDMS

Alat yang diperbincangkan dan menjadi kasus hukum di Kepolisian adalah pengadaan alat RPM dan RDMS. Peneliti BATAN Susilo Widodo menjelaskan soal kegunaan dan spesifikasi alat pemindai radiasi nuklir ini.

Susilo menjelaskan, detektor itu untuk mendeteksi sinar gama. Tapi yang lain itu tidak mungkin dideteksi tanpa membuat sampling secara khusus di laboratorium, baru di uji. Kalau alat monitor itu yang bisa dideteksi itu sinar gama. Dia juga mempertanyakan soal detektor alat tersebut untuk menjaga keamanan.

"Harus memperhatian detection limit. Artinya kalau barang yang dibawa itu gede, mudah terdeteksi. Besar kecil itu dalam artian ukuran aktivitas sumber radiasinya. Itu pun khusus untuk gama. Jangan harap kalau detektor gama bisa mendeteksi bahan bakar nuklir. Mendeteksi uranium, misalnya, itu susah. Uranium itu pemancar alfa.
Kalau barang yang diselundupkan itu scrap metal dari india, itu bisa dipakai. Nah mungkinkah scrap metal lewat bandara? Logis enggak? Scrap metal itu kan mungkinnya lewat kapal-kapal di drop ketempat peleburan. Itu betul, harus diawasi. Itu barang kotor, harus diawasi. Cuma pengawasannya itu apakah perlu monitor RPM, saya enggak tahu apakah mampu untuk mengawasi scrap metal. Tapi ada metode lain, misalnya disurvei di lapangan. Setiap ada scrap metal di survei," katanya.

Dia juga mempertanyakan, soal lokasi pemasangan alat itu, "Itu yang harus ada kajiannya, memilih dimana alat itu di pasang. Karena susah juga kalau mengawasi seluruh wilayah Indonesia. Itu pilihan, yang ekonomis, yang praktis. Sudah ada kah kajian itu? saya enggak tahu," katanya.

"Yang saya enggak tahu, kalau barang itu dipasang di istana. Itu fungsinya mengawasi apa? Apakah Indonesia memang berpotensi terhadap ancaman nuklir? Ancaman nuklir itu bermacam-macam. Seberanya kalau masalah illicit traficking, dulu yang gencar waktu eropa barat membuka pintu dari eropa timur. Pintu masuk ke eropa barat diawasi terkait dengan aktivitas radiaktifnya. Tapi enggak semua bersedia mengawasi, karena akan ribet. Tapi isu itu sekarang sudah reda," tambahnya.

"Tapi walaupun begitu, kalau ada radiasi nuklir dari negara tetangga, bagaimana? Nah alat untuk mendeteksi itu yang belum ada sampai sekarang. Itu yangl lebih urgen. Yang rilis dari udara," kata dia soal pengawasan radiasi dari udara.

Kontribusi laporan :Januardi Husin, Vicky Andrew, Bona Ricki Siahaan

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar