Jelang Pilkada, Mendagri Tito Larang Kepala Daerah Mutasi Pejabat

Kamis, 23/01/2020 20:30 WIB
Tito Karnavian (Tirto)

Tito Karnavian (Tirto)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melarang semua Kepala Daerah memindahkan atau memutasi pejabat daerah menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2020. Tito mengeluarkan larangan tersebut dalam bentuk surat edaran, yang berlaku selama delapan bulan sejak Januari 2020 hingga hari pencoblosan tanggal 23 September 2020.

"Sesuai undang-undang, delapan bulan sebelum hari H, kepala daerah tidak boleh untuk mutasi pejabatnya," ujar Tito dalam jumpa pers usai penyerahan DP4, di Kantor KPU Pusat, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (23/1) seperti dikutip dari Rmol.

Tito menyatakan, langkah ini dilakukan dalam upaya menjaga netralitas ASN. Sebab ia khawatir para kepala daerah incumbent memanfaatkan rotasi pejabat untuk memenangkan dirinya sendiri.

"Ini sudah kami keluarkan edaran. Kalau nggak nanti pasti diputar semua untuk mendukung incumbent yang mau maju," tuturnya.

Lebih lanjut, mantan Kapolri ini mengaku dapat mengeluarkan izin mutasi pejabat jika memang yang bersangkutan memenuhi syarat yabg diatur undang-undang. Misalnya, disebutkan Tito, meninggal dunia, sakit, atau berhalangan tetap sehingga mengharuskan diganti dengan pejabat lain.

Berkenaan dengan upaya ini, Tito menggandeng Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil dan Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN RB) untuk terus menjaga netralitas PNS.

"Perjalanan panjang 1.000 mil harus dimulai dengan 1 langkah. Ini kita masuk langkah kesekian dari proses pilkada 2020," ungkapnya.

Sebagai informasi, berdasarkan Pasal 71 ayat (2) UU 10/2016 tentang Pilkada disebutkan, Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri.

Jika aturan ini dilanggar, maka pihak berwenang atau kepala daerah bisa mendapat pembatalan atau diskualifikasi sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Selain itu, ada pula ancaman pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta berdasarkan Pasal 190 UU Pilkada.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar