Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Pembangunan Tanpa Keadilan Jokowi Melalui Omnibus Law

Rabu, 22/01/2020 13:40 WIB
Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Benarkah revisi regulasi skala besar-besaran dengan nama Omnibus Law bisa menjadi solusi bagi masuknya investor dan menciptakan lapangan kerja?

Ini rumus lama. Deregulasi dan debirokratisasi dilakukan untuk menghadapi situasi ekonomi yang labil. Beberapa waktu lampau, biasanya melalui sebuah paket ekonomi. Bahkan ada yang agak ugal-ugalan, misalnya, Structural Adjusment Program (SAP) ketika krisis pada1998.

Secara makro, strategi pembangunan pertumbuhan ekonomi dengan cara mengundang investor untuk melakukan relokasi industri ke sebuah negara lain, bukan barang baru. Kajian yang memperlihatkan beberapa kemajuan atas model tersebut seperti, China, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, ada berserak. Meskipun detail kenapa berhasil atau tidak, banyak diulas, selain sisi memberi karpet merah pada investor.

Di Indonesia sendiri sebenarnya kajian yang memperlihatkan sejumlah kerugian-kerugian sebenarnya juga telah banyak diulas. Ekonom zaman awal-awal developmentalisme di tanah air seperti Mubyarto, Sritua Arief telah mengulasnya.

Kajian sosiologi pedesaan dan ekonomi pertanian tentang developmentalisme, seperti hilangnya pekerjaan dan aset rakyat banyak yang tidak sebanding dengan serapan kerja baru yang tercipta, juga sudah diulas oleh kalangan sarjana. Ulasan tentang kerusakan lingkungan, urbanisasi hingga hilangnya kehangatan sosial akibat developmentalisme yang mengedepankan relokasi industri sudah banyak. Hasil developmentalisme yang dijalankan Orba tersebut adalah krisis pada 1998.

Saat krisis, negara kita dipaksa melakukan serangkaian penyesuaian ke dalam struktur ekonomi global melalui paket kebijakan IMF dan sejumlah regulasi yang dipaksakan World Bank. Akhirnya mantra neoliberalisme seperti liberalisasi keuangan dan tenaga kerja, liberalisasi perdagangan, privatisasi plus komersialisasi barang milik publik hingga desentralisasi menjadi menu wajib untuk keluar dari kemelut ekonomi versi neoliberal.

Beberapa perbaikan coba dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil khususnya dengan membawa sejumlah UU Neolib tersebut ke MK. Melalui putusan MK, beberapa memberi putusan yang mencoba mengerem liberalisasi, di antaranya putusan yang mencegah liberalisasi tak terbatas sumber agraria terkait Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan Pesisir, Hak Guna Air, dan lain-lain.

SAP seperti telah diduga, tidak banyak menghasilkan perbaikan seperti janjinya. Ekonomi belum banyak bergerak. Bahkan dua dekade ini terjadi relokasi industri padat karya hingga manufaktur elektronik dan otomotif dari dalam negeri ke negeri seperti Vietnam, Kamboja, Bangladesh, India dan Thailand.

Pertumbuhan industri cenderung stagnan dan mengarah ke deindustrialisasi. Pengusaha besar yang tersisa sebagian besar berbisnis tambang, hutan dan kebun atau pemburu rente dari impor pangan seperti daging, garam, gula, beras hingga BBM. Bukan profil pengusaha ala negara-negara macan asia untuk kategori persaingan era 4.0 yang ramai dibincang itu.

Tak lama berselang, infrastruktur yang buruk menjadi dalih mengapa investor tidak kunjung masuk dengan pesat. Dibangunlah proyek infrastruktur bahkan beberapa dengan kajian yang lemah. Bandara BIJB Jabar kosong melompong dan merugi, sejumlah pelabuhan di KEK juga mangkrak. Listrik over suply yang menyebabkan PLN berdarah-darah karena wajib membeli listrik yang sudah dibangun kontraktor.

Evaluasi terhadap soal begini belum tuntas, telah dimulai proyek baru infrastruktur seperti pindah ibu kota dan sejumlah pembangkit energi kotor juga terus dibangun.

Ketika infrastruktur dibangun gencar, tanda-tanda investor datang belum berhasil. Karena itu dicari dalih baru, yakni kebijakan pasar tenaga kerja, lingkungan dan pertanahan yang tak ramah investor adalah penyebab, perlu kebijakan yang makin ultra liberal. Bahkan, sempat disebut KPK adalah biang keladi investor enggan masuk. Strategi mengundang investor dengan memberi insentif upah murah, dan pengabaian lingkungan hidup yang hendak diberlakukan melalui Omnibus Law.

Kebijakan upah murah semacam ini, selain harus seiring dengan penerapan hukum yang keras terhadap serikat buruh, juga harus bersandarkan kepada pangan murah, yang biasanya dijawab dengan impor pangan yang membesar. Petani akan menjadi korban.

Kita tentu bertanya-tanya mengapa konsep pembangunan tanpa keadilan tersebut diulang kembali di 2020?

Ironisnya, konsep ini membutuhkan Omnibus Law, dalam sejumlah pidato diungkapkan bahwa Omnibus Law ini adalah paket deregulasi memanggil investor untuk menciptakan lapangan kerja.

Mari melihat ke belakang. Tak perlu mengulang kesalahan. Jika pemerintah memang tak memiliki konsep pembangunan ekonomi kerakyatan, ekonomi konstitusi, seharusnya kebutuhan regulasi yang sederhana untuk mengundang investasi masuk tidak mengulang kesalahan masa lalu. Sebuah kebijakan ekonomi yang ditopang upah murah, antiserikat buruh, antikerja tetap (buruh kontrak), antipesangon, serta ditopang pangan murah dari kran impor yang merugikan petani, dan antikeberlanjutan lingkungan hidup yang tengah disorong, jangan sampai terjadi.

 

(Tim Liputan News\Tim Liputan News)

Share:




Berita Terkait

Komentar