Rahmat Thayib, Penggiat Gerakan Demokrasi Berkeadaban

Apakah PDI Perjuangan, Polisi dan Istana Sekongkol Bunuh KPK?

Senin, 20/01/2020 14:08 WIB
Apakah PDI Perjuangan, Polisi dan Istana Sekongkol Bunuh KPK?. (Politictoday)

Apakah PDI Perjuangan, Polisi dan Istana Sekongkol Bunuh KPK?. (Politictoday)

Jakarta, law-justice.co - Judul tulisan ini adalah sebentuk pertanyaan. Pertanyaan ini muncul usai merunut megap-megapnya KPK hari ini. Ironisnya, wajah mengenaskan ini terpamerkan pasca klaim upaya memperkuat KPK sahut-menyahut. Tiga institusi penting yang paling disorot adalah PDIP, Polisi dan Istana.

Pertanyannya: apakah ketiganya satu kata, satu perbuatan? Mari kita sigi satu persatu.

Pertama, posisi PDIP. Publik maklum. PDIP terbilang parpol utama yang jualan janji memperkuat KPK. Faktanya justru sungsang. Publik bisa berkaca dari catatan lima tahun ke belakang. Kader-kader PDIP di DPR menjadi motor utama Pansus Angket KPK tahun 2017 silam. Pasca Pemilu 2019, PDIP paling ngotot merevisi UU KPK yang kini sudah jadi UU NO. 19/2019.

Sepekan terakhir, kita disuguhi dagelan garing kader-kader parpol banteng. Tim penyelidik KPK yang sudah dibekali surat tugas “diusir” satpam kantor DPP PDIP. Alasannya miris banget. Mereka tidak membacakan surat tugas kepada si satpam. Padahal kedatangan mereka untuk melakukan sterilisasi supaya bukti-bukti persekongkolan kader-kader PDIP dengan Wahyu Setiawan tidak dilenyapkan.

Kenapa prosedur membunuh subtansi? Kenapa mencari dalih? Masak tujuan penting mesti diinjak-injak gara-gara penyelidik tidak membacakan surat tugas? Padahal Ketua Umum Megawati Sukarnoputeri sudah menyatakan tidak bakal kasih ampun kader-kader PDIP yang terlibat kasus korupsi. Faktanya?

Kedua, posisi polisi. Konon ketika diangkat sebagai Kapolri, Idham Azis pernah berjanji akan memperkuat KPK. Faktanya malah terjadi insiden Tirtayasa. Ada sekelompok polisi yang menghambat operasi tim penyelidik KPK di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK.)

Alih-alih membantu, tim penyelidik KPK malah dipersulit. Mereka “disandera” bahkan diminta tes urin. Padahal aktivitas tim penyelidik KPK nyata-nyata dilindungi UU. Inikah yang dimaksud polisi siap memperkuat KPK?

Benarkah tim penyelidik KPK sekadar menumpang salat di PTIK. Jangan-jangan mereka sedang memburu target: Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto misalnya? Siapa yang bertangungjawab atas pengerahan polisi-polisi yang menahan penyelidik KPK hingga menjelang subuh? Benarkah dari Bareskim Mabes Polri? Apakah gerakan mereka diketahui oleh Kapolri Idham Azis?

Banyak pertanyaan yang bergejolak di benak publik atas insiden Tirtayasa. Pertanyaan-pertanyaan itu belum bisa dijawab oleh penjelasan pimpinan KPK dan Polri. Bahkan ada kesan dua institusi penegak hukum ini sedang menyembunyikan sesuatu.

Selama insiden ini tidak diusut tuntas, selama tidak ada penjelasan yang masuk nalar, jangan salahkan bila stigma negatif atas relasi KPK dan Polri makin meruyak. Jangan salahkan bila desas-desus bahwa sejak Firli Bahuri menjabat Ketua KPK, KPK telah menjadi cabang dari Polisi makin keras. KPK tunduk dibawah kuasa Polri?

Terakhir, posisi istana. Konon Presiden Jokowi menegaskan tidak akan melindungi kader PDIP yang tersangkut kasus suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Termasuk Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Jangan langsung disambut tepuk-tangan. Pernyataan Presiden perlu diuji oleh waktu.

Yang jelas, Jokowi bertanggungjawab atas pelemahan KPK. Revisi UU KPK terbukti membuat KPK bergerak ke arah yang keliru. Terbit matahari kembar antara Komisioner dan Dewas KPK. Relasi matahari kembar ini yang membuat penindakan KPK terhambat. Ironisnya, Dewas KPK sejatinya adalah perpanjangan tangan Presiden. Jokowi sendiri yang menunjuk mereka tanpa berkonsultasi dengan publik.

UU KPK No19/2019 telah menarik KPK ke bawah daulat eksekutif. Implikasinya makin terbuka ruang bagi pejabat-pejabat eksekutif yang “nakal”—mereka yang berada di lingkar utama istana—untuk mengintervensi KPK. Lembaga antirasuah kehilangan rohnya: independensi.

Cara tercepat untuk mengembalikan roh KPK adalah lewat penerbitan Perppu. Nyatanya Presiden terus tarik-ulur. Alasannya macam-macam. Janggal nian. Dalam situasi darurat KPK, Presiden malah menanti hasil judicial review di Mahkamah Konstitusi sebelum jadi/tidak jadi menerbitkan Perppu.

Wajar bila publik menilai Presiden telah melemahkan KPK. Malah menuding Presiden sengaja mempertahankan supaya pelemahan KPK terus berlangsung. Jangan salahkan bila publik lantas kembali terjebak dengan narasi petugas partai. Jokowi mesti taat dengan garis kebijakan PDIP. Apa itu? Melemahkan KPK.

Last but not least, jika tiga kekuatan besar ini bergeming. Potensi kehancuran Indonesia akibat tangan-tangan jahat koruptor makin kuat. Apakah publik akan membiarkannya? Saya pikir tidak! Publik pasti melawan habis-habisan.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar