`Cilaka`, Tak Ada Pembahasan Cuti Hamil 3 Bulan di Omnibus Law

Senin, 20/01/2020 08:25 WIB
Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Massa yang tergabung dalam aliansi gerakan buruh bersama rakyat (Gebrak) melakukan demonstrasi menolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di depan gedung DPR pada Senin (13/1). Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di tolak keras Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang perlindungan perempuan, Perempuan Mahardika.

Bahkan menurut Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi, pihaknya kemudian melabeli singkatan satire sebagai Omnibus Law Cilaka.

Kata dia, aturan yang termuat dalam Omnibus Law Cilaka merupakan konsolidasi politik oligarki untuk menghancurkan manusia Indonesia, termasuk perempuan.

Dalam draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang diterimanya, tidak terdapat perhatian khusus terhadap hak-hak kelas pekerja perempuan seperti cuti melahirkan.

Ia memandang aturan ini lebih parah dibandingkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Di Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, hak-hak perempuan disebutkan normatif, (pekerja) melahirkan dapat cuti 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Di Omnibus Law itu enggak ada," tutur Mutiara di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Minggu (19/1) seperti melansir CNNIndonesia.com.

Sementara, kata dia, waktu 3 bulan cuti melahirkan dalam UU Ketenagakerjaan itu sebelumnya juga telah dituntut pihaknya agar ditambah menjadi 14 minggu.

"Beberapa waktu lalu, banyak sekali teman-teman pergerakan yang berjibaku untuk melakukan revisi terhadap UU yang dinilai sudah tidak bisa memenuhi tuntutan kesejahteraan pekerja," tambahnya.

Mutiara berpendapat aturan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tidak memperhatikan kualitas hidup para pekerja. Aturan itu, ujar dia, hanya sebatas untuk memenuhi hidup manusia untuk hari ini dan besok.

"Dari perspektif perempuan, penyediaan lapangan kerja itu tidak untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, tapi hanya untuk sebatas agar orang-orang tenaga kerja Indonesia bisa hidup untuk hari ini dan tidak mati besok hari," ujarnya.

Ia pun mengkritik wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja oleh Presiden Jokowi yang digadang-gadang untuk menumbuhkan investasi dan menciptakan lahan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.

"Sebenarnya jadi pertanyaan juga, jadi Pemerintah memang tidak bisa menciptakan lapangan kerja bagi masyarakatnya sendiri," sindir dia.

Atas dasar itu, ia menilai konsolidasi bersama dalam wadah Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) merupakan langkah terakhir untuk mencari keadilan dan kesejahteraan bagi para pekerja, termasuk perempuan di dalamnya.

"Ini jadi basis kekuatan kita bersama," tandas Mutiara.

Presiden Jokowi telah meminta jajaran kementerian di Istana agar segera berembuk dengan DPR membahas Omnibus Law. Jokowi bahkan mendorong Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja bisa rampung dalam 100 hari kerja.

Masa 100 hari itu terhitung sejak naskah akademik RUU tersebut disampaikan ke lembaga legislatif hingga masa pembahasan selesai. Saat ini, pemerintah masih finalisasi naskah akademik tersebut.

Targetnya, naskah akademik akan diselesaikan pada pekan ini. Lalu, diberikan ke DPR pada pekan berikutnya sebelum 100 hari kerja pemerintahan Kabinet Indonesia Maju yang jatuh pada Selasa (28/1).

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar