Tiga Fakta AS Jadikan Perang Sebagai Lahan Basah Mencari Uang

Sabtu, 18/01/2020 11:45 WIB
Kapal Perang AS (Antara)

Kapal Perang AS (Antara)

[INTRO]

Perang dan konflik kerap terjadi di wilayah Timur Tengah. Kondisi ini justru dimanfaatkan Amerika Serikat untuk mendulang keuntungan. Saat perang terjadi, peralatan perang hingga bantuan pasukan militer dibutuhkan. Hal ini yang dimanfaatkan AS.

Amerika Serikat memang dikenal sebagai negara adikuasa dengan militer terkuat di dunia. Bukan hanya personel militer yang terlatih, AS juga memiliki sejumlah peralatan militer canggih yang ditakuti dunia.

Berikut fakta-fakta Amerika Serikat menjadikan konflik dan perang sebagai lahan basah meraup untung:

Jualan Peralatan Militer

Amerika Serikat memiliki sejumlah perusahaan pembuatan peralatan militer hingga kendaraan tempur. Perusahaan-perusahaan itu, seperti Lockheed Martin Corp, General Dynamics dan United Technologies Corp. Masing-masing perusahaan itu memiliki hasil produksi yang berbeda. Lockheed Martin Corp dikenal sebagai perusahaan pembuatan pesawat tempur, seperti jet tempur F-16, F-22, dan F-35.

Kemudian General Dynamics dikenal sebagai perusahaan pembuatan senjata, rudal, kapal perang, kapal selam, dan roket. Selanjutnya United Technologies Corp merancang dan menjual sistem yang canggih untuk helikopter militer, sistem autopilot, dan sistem peringatan senjata berpemandu laser.

Sejumlah negara membeli senjata buatan AS, seperti Indonesia, Arab Saudi, dan sejumlah negara yang sedang berperang. Kemudian pada 2017, negara-negara seperti Israel, Inggris, Mesir, Irak, dan Australia juga ikut membeli senjata AS.

Untuk Arab Saudi, senjata AS diperlukan untuk melawan pemberontak Houthi, Yaman. Pada Maret 2018, Gedung Putih mengumumkan kepada Kongres telah menyepakati penjualan senjata senilai USD 1 miliar atau Rp 13,7 triliun kepada Arab Saudi. Adapun paket penjualan itu mencakup 6.700 tank anti-rudal buatan Amerika Serikat.

Kemudian pada Mei 2018, AS juga menjual senjata kepada Arab Saudi, Yordania dan Uni Emirat Arab senilai lebih dari USD 8 miliar. Penjualan senjata ini tentu tidak disetujui oleh Kongres AS, karena banyaknya korban sipil dari serangan ke Yaman, serta pelanggaran hak asasi manusia seperti pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di sebuah konsulat Saudi di Turki.

`Jualan` Pasukan Militer

Presiden Amerika Serikat dalam wawancara dengan stasiun televisi Fox News mengatakan dia membuat Arab Saudi membayar AS atas penambahan pasukan di kawasan Timur Tengah menyusul situasi yang kian menegangkan belakangan ini.

"Arab Saudi membayar untuk tentara kita. Kita punya hubungan sangat baik dengan Arab Saudi," kata Trump dalam wawancara dengan Fox News, seperti dilansir laman Middle East Monitor, Senin (13/1).

"Saya bilang, begini, Anda adalah negara kaya. Anda mau tambahan tentara? Saya akan kirimkan mereka untuk Anda, tapi Anda harus membayar. Mereka membayar. Mereka sudah menaruh deposit USD 1 miliar di bank," kata Trump.

Oktober lalu Pentagon mengatakan menyetujui pengerahan 3.000 tentara tambahan dan peralatan militer ke Arab Saudi setelah perusahaan minyak mereka, Aramco, mengalami serangan rudal September lalu. Kelompok pemberontak Huthi di Yaman mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Peralatan militer yang dikerahkan ke Saudi termasuk rudal Patriot, sistem pertahanan THAAD dan jet tempur.

Anggota parlemen AS Justin Amash menyebut tindakan Trump itu sama saja dengan menjual tentara.

"Dia menjual tentara," kata Amash dalam kicauannya di Twitter menanggapi pernyataan Trump dalam wawancara Fox News itu.

Jual Bahan Bakar untuk Pesawat Tempur

Tak hanya penjualan senjata dan pengiriman pasukan militer, Amerika Serikat juga menjual bahan bakar untuk kendaraan tempur. Dua negara yang membeli bahan bakar tersebut yakni Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Namun Arab Saudi belum membayar ongkos operasi pengisian bahan bakar di udara yang dilakukan militer AS kepada jet-jet tempur Saudi.

AS sempat menghentikan bantuan pengisian bahan bakar jet Saudi di udara ketika mereka menggempur pemberontak Huthi di Yaman pada November 2018.

Pada Desember 2018, militer AS mengatakan mereka menagih biaya sebesar USD 331 juta kepada Saudi dan Uni Emirat Arab setelah memberi bantuan pengisian bahan bakar jet tempur di udara dalam perang di Yaman. Lebih dari setahun kemudian Saudi masih belum membayar biaya itu.

"Proses pembayarannya masih berlangsung dan kami mengharapkan biaya itu diganti sepenuhnya. Saya tidak bisa menguraikan secara spesifik proses penggantian biaya itu," ujar Rebarich kepada CNN. (Merdeka)

(Hidayat G\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar