Benarkah Cosplay Bisa Berakibat Disfungsi Sosial?

Sabtu, 18/01/2020 20:13 WIB
Safira (kiri) dan Shiron (kanan) (law-justice.co/Reko Alum)

Safira (kiri) dan Shiron (kanan) (law-justice.co/Reko Alum)

Jakarta, law-justice.co - Beberapa tahun belakangan ini kegiatan cosplay atau costume play marak di Indonesia. Tak hanya anak muda, bahkan dari anak-anak hingga orang tua menggemari hobi baru satu ini. Mereka menjadikan kegiatan berpakaian, berdandan, dan mengenakan aksesoris menyerupai karakter anime ini sebagai hobi.

Saat melakukan cosplay, para cosplayer (Orang yang meniru tokoh tertentu) dituntut untuk mampu duplikasi karakter yang mereka bawakan semaksimal mungkin. Bahkan, demi menghidupkan karakter anime tersebut, para cosplayer harus menanggalkan identitas mereka untuk sementara waktu.

Lalu, bagaimana dampak dari sering melakukan cosplay dari segi kejiwaan dan aspek sosial? Dikutip dari situs Merdeka.com, seorang psikolog Ardhiana Puspitacandri, M. Psi mengatakan, duplikasi tokoh dalam batas normal dinilai masih wajar. Namun jika menjiwai karakter secara berlebihan akan membahayakan personal tersebut. Bahkan menyebabkan kehilangan jatidiri.

"Selama duplikasi masih dalam batas normal, artinya dia bisa beradaptasi dengan baik. Namun itu jika dia hanya meniru semampunya, tidak berlebihan," jelasnya.

"Namun ketika menginternalisasikan karakter dalam dirinya secara berlebihan, seseorang bisa saja tak memahami konsep diri dan kehilangan jati diri," tambahnya.

Dari sisi psikologis, Ardhiana menjelaskan bahwa pada dasarnya adaptasi semacam ini bisa menjadi indikasi kurangnya rasa percaya diri seseorang, sehingga dia berusaha menduplikasi karakter lain.

"Mungkin dengan menampilkan citra diri apa adanya dia tak merasa percaya diri. Sebagai kompensasinya dia mencoba menduplikasi tokoh lain yang sudah pasti disukai banyak orang," ungkap Ardhiana.

Hal lain diungkap oleh Gilang Ayu, salah satu pendiri komunitas J-Zone Malang. Gilang mengaku keberatan jika cosplay dijadikan barometer untuk menunjukkan tingkat percaya diri. Menurutnya sejauh ini cosplayer yang ditemuinya masih dalam tahap normal.

"Cosplay itu ibarat main band buat mereka (para cosplayer), hanya sebagai wadah untuk mengakomodir hobi," ungkap Gilang yang sudah berada di komunitas J-Zone sejak tahun 2005.

Gilang tak menampik jika terdapat beberapa cosplayer yang masih mencari jati diri. Ketika menemukan karakter anime yang disuka, mereka lantas ingin menjadi seperti itu.

Namun di sisi lain, Gilang juga menjelaskan bahwa banyak cosplayer yang berprestasi, memiliki predikat bagus, total dalam ber-cosplay, namun tetap percaya diri di dunia nyata, ketika menjadi diri mereka sendiri.


Sedangkan Staf Pengajar pada Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Tangerang Gideon K Frederick menjelaskan, ada gejala psikobehavioral yang aneh dari penggemar cosplay. Kata dia, pengguna kostum memperlihatkan perubahan perilaku yang signifikan. Perubahan perilaku ini terkadang derajatnya bisa sangat kecil dan meyakinkan, hingga yang besar dan terbawa ke kehidupan sehari-hari di luar aktifitas cosplaying.

"Perubahan ini disinyalir hanya sementara, sebagai bagian dari stage act. Namun, ternyata, perubahan psikobehavioral temporal ini dapat bermanfaat secara positif bagi cosplayer, yang sifatnya rehabilitatif, dan kuratif," kata dia dalam tulisannya.

"Hal ini merupakan salah satu efek yang kebanyakan tidak disadari oleh cosplayer yang pada umumnya memiliki stigma sosial negatif di masyarakat, hingga fakta bahwa banyak cosplayer yang memiliki disfungsi sosial," tambahnya.

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar