Dr (can) Hasrul Buamona,S.H.,M.H:

Peluang BPOM Judicial Review Pasal 98 UU Kesehatan di MK

Minggu, 19/01/2020 00:01 WIB
Petugas BPOM sedang melakukan razia di sebuah apotek (Okezone)

Petugas BPOM sedang melakukan razia di sebuah apotek (Okezone)

law-justice.co - Sebelum Menkes Terawan mengeluarkan pernyataan bahwa akan mengambil wewenang izin edar obat dari BPOM pada November 2019, penulis sejak Agustus 2018 telah membuat opini hukum di media yang berjudul “Obat Online dan Lemahnya BPOM”, yang telah memperkirakan suatu saat nanti Kemenkes dan BPOM akan saling merebut kewenangan, salah satunya terkait izin edar obat. 

Opini ini merupakan bagian dari penyampaian penulis sebagai narasumber dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Aliansi Mahasiswa Anti Kartel pada 19 Desember 2019 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan tema diskusi “Kemenkes dan BPOM Berebut Kuasa Soal Ijin Edar: Dampaknya Terhadap Industri Farmasi dan Jamu Tradisional”, yang dihadiri juga oleh BPOM RI Riska Andalucia, GP Jamu Charles Sarengan dan Wakil Ketua Umum Kadin Mufti Mubarok.

Dalam pengkajian penulis, polemik saling rebut izin edar obat bisa terjadi karena dalam UU Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perpres BPOM), memberi peluang untuk Kementerian Kesehatan mengambil wewenang izin edar obat dari BPOM, dan pada sisi lain dari aturan hukum di atas, juga telah melemahkan kedudukan hukum BPOM dalam melaksanakan wewenangnya terkait izin edar obat.

Secara hukum ada dua peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus, sekaligus penyebab lahirnya polemik saling rebut izin edar obat. 

Pertama, apabila  melihat Pasal 98 ayat (3) UU Kesehatan yang berbunyi “Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”

Kedua, melihat juga Pasal 1 ayat (2) Perpres BPOM yang berbunyi “BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.”

Menurut penulis, Pasal 98 ayat (3) UU Kesehatan telah membuka peluang menteri kesehatan untuk menafsirkan pasal tersebut secara bebas. Pasal tersebut, memang memiliki multi tafsir dan ambigu serta melahirkan konflik antar lembaga pemerintah. 

Norma “pengedaran sediaan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah” adalah salah satu penyebab Kemenkes ingin mengambil alih izin edar obat dari BPOM, karena Kemenkes dapat dengan bebas menfasirkan bahwa ketika pengedaran sediaan farmasi di atur dalam UU kesehatan, yang ketetapannya melalui peraturan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan; maka secara mutatis mutandis Kemenkes sepenuhnya mengganggap izin edar obat menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan.

Permasalahan selanjutnya ketika BPOM bertanggung jawab kepada presiden namun harus melalui Kementerian Kesehatan. Terlihat kewenangan BPOM sejak awal memang telah di amputasi oleh Peraturan Presiden yang mengatur BPOM itu sendiri. 

Seharusnya BPOM bertanggung jawab secara langsung kepada presiden, tanpa harus melalui Kementerian Kesehatan. Faktanya hari ini Kementerian Kesehatan sangat superioritas, karena kapan saja Kementerian Kesehatan dapat mencabut  izin edar obat dari BPOM. 

Secara khusus terkait izin edar obat dan makanan, ada tiga solusi yang penulis sampaikan. Pertama, dari norma Pasal 98 ayat (3) diatas,dan/atau pasal-pasal lain dalam UU Kesehatan yang berpotensi merugikan BPOM, sehingga membuka peluang bagi BPOM sebagai pihak yang dirugikan secara konstitusional untuk melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. 

Menurut penulis, BPOM memiliki legal standing, karena BPOM adalah badan hukum publik. Hal ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1) Perpres No 80 Tahun 2017 yang berbunyi “Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahaa di bidang pengawasan Obat dan Makanan”. Ini adalah solusi jangka pendek yang bertujuan memberi jaminan kepastian hukum kepada BPOM.

Kedua, UU Kesehatan perlu diganti dengan UU Kesehatan yang baru, di mana harus memperjelas kewenangan izin edar obat agar tetap menjadi kewenangan BPOM. Kemudian BPOM harus disebut secara jelas dalam UU Kesehatan yang baru sebagai lembaga pemerintah non kementerian yang bertanggung jawab secara langsung kepada presiden yang hanya bergerak di bidang pengawasan, penindakan, dan berhak mengeluarkan izin edar obat dan makanan. 

Ketiga, melanjutkan solusi di atas, maka sangat penting  kedudukan BPOM harus diatur dengan undang-undang, sebab secara politik hukum kedudukan Perpres hanya di bawah undang-undang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga hal ini sangat berpengaruh pada kinerja BPOM. Mulai dari pemberian izin edar, pengawasan obat dan makanan sampai pada penindakan terhadap pelanggaran obat dan makanan. 

Beban kerja BPOM yang harus melayani seluruh wilayah Indonesia yang  berpulau-pulau, juga memiliki kendala dan masalah kesehatan yang berbeda-beda, haruslah didukung dengan pranata hukum yang kuat yakni undang-undang bukan Perpres.

Kehadiran BPOM sebenarnya sudah tepat, karena telah banyak membantu Kemenkes dalam pekerjaan teknis manajemen, pengawasan produksi obat dan makanan dan bahkan melakukan tindakan hukum. 

Maka alangkah baiknya presiden dan DPR-RI membuat undang-undang kesehatan yang baru. Sudah tentu isinya harus saling mendukung dan bersinergi untuk memperkuat kewenangan BPOM.

Dr (can) Hasrul Buamona, S.H.,M.H: Advokat-Konsultan Hukum Kesehatan dan Direktur LPBH Nahdlatul Ulama Kota Yogyakarta

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar