Mariana Amiruddin: Rekomendasi Komnas Perempuan Sering Dipelintir

Minggu, 12/01/2020 19:27 WIB
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin (law-justice.co/Januardi Husin)

Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin (law-justice.co/Januardi Husin)

law-justice.co - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memasuki babak baru dengan terpilihnya 15 komisioner untuk periode 2020 – 2014. Mariana Amiruddin kembali dipercaya untuk menjadi komisioner untuk empat tahun ke depan. Menurut dia, sinergi dengan lembaga pemerintah harus semakin digalakkan, agar Komnas Perempuan tidak lagi dipandang sebelah mata.

Dalam 10 tahun terakhir, ada lebih dari 100.000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi setiap tahunnya. Laporan yang masuk ke Komnas Perempuan cenderung meningkat, dimana kasus kekerasan tertinggi terjadi pada tahun 2018 dengan jumlah 406.178 kasus.

Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia menjadi beban tersendiri bagi Komnas Perempuan. Lembaga itu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 sebagai lembaga independen yang bertujuan mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan. Bisa dibilang, Komnas Perempuan berada di garda terdepan dalam mendukung program penghapusan kekerasan perempuan di Indonesia.

Sayangnya, dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokok, Komnas Perempuan mengalami banyak kendala. Mulai dari minimnya anggaran dan Sumber Daya Manusia,  dukungan politik, hingga munculnya gerakan-gerakan yang mendiskreditkan lembaga ini.

Data dan fakta kasus yang dipaparkan setiap tahunnya, belum cukup meyakinkan pemangku kebijakan untuk mengeluarkan regulasi yang pro penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) urung disahkan sejak 2013. Padahal Komnas Perempuan telah melakukan banyak kajian yang mendukung pentingnya pengesahan RUU PKS.

“Secara politis, Komnas Perempuan sebetulnya kurang dipandang. Bahkan kami sering dianggap NGO (Non Governmnet Organization), karena sering mengkritik,” kata Mariana Amiruddin.

Mariana adalah satu dari dua komisioner periode 2015-2019 yang kembali terpilih menjadi bagian dari Komnas Perempuan 4 tahun ke depan. Selama ini, ia dipercaya untuk menangani isu konflik yang menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan, termasuk pelanggaran HAM berat masa lalu.  

Saat ditemui law-justice.co di kantornya, Senin (6/1/2019), perempuan 43 tahun itu bercerita tentang pengalaman dia saat berhubungan dengan para korban tindak kekerasan. Saking banyaknya kasus yang masuk, Mariana mengaku sempat kewalahan mengatur ritme penyelesaian dan pemulihan kondisi korban. Empat tahun ke depan, Mariana ingin fokus merampungkan tugas periode lalu sembari meningkatkan kinerja agar lebih cepat dan efektif.

Bagaimana kesan menjadi Komisioner Komnas Perempuan selama empat tahun terakhir?

Kasus kekerasan terhadap perempuan itu banyak sekali dan datang terus menerus. Baru fokus ke kasus A, datang kasus baru. Kita sampai enggak sempat ambil nafas. Tapi justru dengan adanya konflik, saya seperti menghadapi tantangan baru terus menerus juga.

Selain itu juga menjadi pelajaran bagi kami untuk mengelola banyak persoalan perempuan. Bagaimana agar bisa menganggapi lebih cepat dan lebih efektif.

Kenapa memutuskan kembali maju sebagai komisioner?

Banyak pihak yang mendorong agar saya maju lagi. Saya coba ikuti prosedurnya sama seperti lima tahun yang lalu, meminta masukan dari berbagai pihak tentang apa yang harus dibenahi, dan akhirnya terpilih kembali.

Saya pikir, tugas saya kemarin belum selesai. Kalau terpilih lagi, pasti bisa dilanjutkan dan tidak terhenti di tengah jalan.

Isu apa yang sangat menguras energi selama setahun terakhir?

Tahun 2019 bisa dibilang tahun yang penuh konflik. Ada konflik Pemilu, konflik di Papua, dan banyak perempuan jadi korban. Tapi isu pelanggaran HAM masa lalu juga menguras energi. Kami dituntut terus menerus fokus pada pemulihan trauma korban pelanggaran HAM 1965, 1998, dan konflik Papua. 

Belum selesai, tiba-tiba sudah tahun 2020 dan banjir. Hehehe…

Terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, seberapa besar peluangnya untuk diselesaikan?

Kami lebih fokus pada kondisi korban, ketimbang penegakan hukumnya. Waktu bikin laporan publik, ada beberapa perwakilan lembaga negara yang tidak tahu sejarah kekerasan perempuan di masa lalu. Setelah tahu kondisi korbannya, mereka bilang ‘kasihan juga ya kalau enggak dibantu’. Itu menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak tahu betapa pentingnya pelanggaran HAM masa lalu untuk dituntaskan.

Secara umum, bagaimana kondisi perempuan Indonesia saat ini?

Dari sisi ekonomi, sudah cukup lumayan pemberdayaan perempuannya. Banyak perempuan yang bisa hidup mandiri.

Tapi kalau dari sisi budaya, menurut saya masih buruk sekali. Misalnya, perkawinan anak masih tinggi. Pelecehan seksual dan pemerkosaan semakin meningkat. Banyak peraturan yang diskriminatif.

Kalau kita kritik sedikit, dianggap tidak menghormati nilai-nilai budaya, adat, dan agama.

Kenapa bisa begitu?

Banyak orang yang enggak tahu masalah perempuan, makanya muncul peraturan-peraturan diskriminatif. Kalau yang buat aturan enggak ada data, tanpa pengalaman, dan kemampuan berhadapan dengan korban, tentu peraturannya berantakan. Semuanya hanya berdasarkan asumsi yang lebih cenderung mengarah pada masalah kesusilaan. Padahal ini soal hidup orang yang terancam.

Kami setiap hari berhadapan langsung dengan para korban. Makanya kami buat rekomendasi. Tapi sayangnya, rekomendasi kami sering dipelintir.

Mengapa RUU PKS urung disahkan?

Karena sering dimainkan oleh elit politik. Coba lihat, gelombang penolakan terhadap RUU PKS meningkat pada tahun-tahun politik.

Itu sekaligus menjadi kritik bagi kami, bahwa Komnas Perempuan mungkin kurang dalam mensosialisasikan RUU PKS ke akar rumput. Sehingga masyarakat mudah sekali didoktrin dan tergiring oleh isu politik.

Masalahnya, selama ini kami hanya mengandalkan jaringan gerakan perempuan yang jumlahnya terbatas di daerah. Kami perlu meningkatkan kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, seperti KPPA, Kominfo, bahkan Kepolisian. Mereka yang punya banyak jaringan di semua daerah sampai ke akar rumput.

Apakah sudah ada upaya untuk menjalin komunikasi dengan gerakan anti feminisme yang menolak RUU PKS?

Sudah sering kami undang untuk berdialog. Cuma kebanyakan mereka berbentuk komunitas, sehingga kelompok mereka terpisah-pisah. Kalau kami undang berdialog ke Komnas Perempuan, mereka menganggapkan enggak setara. Padahal kami benar-benar mau dengar apa yang menjadi kritik mereka terhadap RUU PKS.

Sulit sekali berkomunikasi dengan mereka. Tapi akan kami coba terus. Memang sebaiknya ada komunikasi dan dialog. 

Bagaimana dukungan secara politis?

Komnas Perempuan sebetulnya kurang dipandang. Kami diminta enggak usah ikut-ikut politik. Dianggap anak yang nyaris enggak ada, karena toh lahir hanya dari Kepres, bukan dari Undang-undang.

Bahkan, kadang-kadang kami dianggap NGO. Karena sering mengkritik pemerintah. Padahal mengkritik juga tugas kami sebagai lembaga independen.

Secara citra, Komnas Perempuan sebetulnya cukup dikenal masyarakat. Terbukti, banyak aduan yang masuk. Data-data dan rekomendasi kami sangat diperlukan oleh KPPA agar mereka bisa mengeksekusi program dengan baik dan cepat.

Begitu juga kalau terjadi pidana kekerasan terhadap perempuan. Polisi akan mudah bekerja kalau ada data, fakta, dan kronologis.

Empat tahun ke depan, apa yang bakal jadi prioritas Komnas Perempuan?

Kami ingin lihat dulu rencana strategis dari program pemerintah. Harus menyesuaikan, karena di sana ada anggaran dan sebagainya.

Tapi tentu kami akan tetap memprioritaskan isu konflik yang sering melibatkan perempuan. Konflik Papua, terutama. Akhir-akhir ini juga sering terjadi bencana alam. Kekerasan dalam rumah tangga juga masih jadi fokus kami.

Untuk penjaringan data, kami ingin lebih banyak bekerja sama dengan lembaga pemerintah lainnya. Termasuk koordinasi mengenai penyelesaian masalah. Karena kalau hanya banyak data yang masuk, bagaimana dengan penyelesaian masalahnya? Sementara kewenangan Komnas Perempuan terbatas.

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar