Kisruh KBN vs KCN (Tulisan-2)

Pemangsa Aset Negara di Pelabuhan Marunda Ingin Dongkel KCN

Jum'at, 10/01/2020 13:19 WIB
Pulau reklamasi penghubung dua pelabuhan (foto: detik)

Pulau reklamasi penghubung dua pelabuhan (foto: detik)

Jakarta, law-justice.co - Perseteruan hukum PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dengan anak usahanya, PT Karya Citra Nusantara (KCN), belum menunjukkan tanda akan berakhir. Pihak KBN masih yakin ada celah memenangkan perkara meski Mahkamah Agung (MA) pada 10 September lalu telah mengabulkan kasasi PT KCN terkait pengelolaan Pelabuhan Marunda.

“Putusan MA itu tidak memenangkan KCN. Tetapi hanya menyatakan bahwa PN (Pengadilan Negeri. Red) tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Putusan MA belum masuk ke pokok perkara,” kata Hamdan Zoelva, pengacara KBN, seperti disampaikannya via WhatsApp kepada Bona Siahaan dari Law-Justice.co.

Konflik ini sudah berlangsung selama 8 tahun. Begitupun tak ada tanda kedua pihak akan dapat mencapai titik temu ideal. KBN menuding KCN telah melanggar Undang-Undang (UU) yang melarang swasta masuk ke bisnis pelabuhan umum, karena posisi pelabuhan yang strategis. Menurut KBN, pembangunan dan pengelolaan pelabuhan umum mestinya dilakukan KBN bekerjasama dengan BUMN lain yang khusus mengelola pelabuhan, dan bukan KCN.

Masalahnya, ketika KBN memutuskan untuk mengembangkan dua jenis pelabuhan, yakni umum dan khusus pada 2004 silam, belum ada BUMN yang siap menjadi mitra. Tak ada pilihan, KBN pun lalu menggandeng swasta lewat lelang terbuka untuk mencari mitra bisnis. Pemenangnya, PT Karya Teknik Utama (KTU). Perusahaan swasta yang juga beroperasi di Batam ini sudah ada sejak 1983. Pemiliknya adalah kakak beradik Wardono Asnim dan Poniman Asnim.

Bisnis Wardono Asnim (Khe Kun Cai) menggurita di berbagai sektor. Meskipun berfokus pada cabang-cabang usaha di sektor kelautan (pembuatan kapal, perdagangan, perikanan, dan transportasi), namun ia juga melakoni bisnis di sektor lain, seperti pembiayaan (kredit), perkebunan, perdagangan, hingga  jasa perhotelan.  Tak heran bila perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah Karya Technik Group (KTG) ini pun bukan hanya tersebar di Jakarta, tetapi juga Batam, Bali, Papua Barat, bahkan hingga Panama.

Tak banyak catatan mengenai sosok pengusaha keturanan Tionghoa ini. Namun menurut sumber Law-justice.co mereka ini di Batam cukup exist dan terbiasa menjalankan usaha dengan mendapat backing kuat dari aparat. “Lalu dia main ke Jakarta, dia bawa kebiasaan di sana,” katanya tanpa mengelaborasi siapa backing mereka di Jakarta.

 

Dirut KCN: kepemilikan saham tidak bisa seimbang (foto: sindonews)

Di Batam, masih menurut sumber Law-justice.co ibarat ‘rimba persilatan’. “Kalau nggak punya backing-an kuat, maka bisnis hancur. Widodo (Dirut KCN yang juga adik Wardono Asnim. Red) ini ngerti hal seperti itu. Apalagi kan dia Cina. Kalau bisa dibayar ya bayar, kalau nggak bisa pakai cara lain.” Law-justice.co berusaha mengkonfirmasi info tersebut kepada Wardono Asnim, tetapi belum berhasil.

Di awal kerjasama, perkongsian KBN dan KTU berjalan mulus. Saat KBN mengumumkan KTU sebagai pemenang tender, keduanya lalu bersepakat melanjut ke proses negosiasi komposisi kepemilikan saham di perusahan joint venture yang kelak menjadi KCN. Pada 3 Agustus 2004, disepakatilah komposisi sahamnya, yakni PT KBN 15% dan PTU 85%. Perjanjian kerjasama pendirian perusahaan patungan pun kemudian ditandatangani pada 28 Januari 2005.

Semula semua lancar hingga suatu ketika, tepatnya pada 1 Februari 2018, KBN yang diwakili Diretur Utama Sattar Saba melayangkan gugatan terhadap sejumlah pihak, termasuk PT KCN, Kementerian Perhubungan dan PT KTU ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

“Ini yang diributkan soal perjanjian yang dulu sudah sama-sama disetujui, sekarang diributkan lagi oleh Dirut KBN, yaitu Sattar Taba. Apalagi saya lihat begitu ngototnya mereka. Mereka itu sebenarnya baca perjanjian tidak sih? Mereka sama-sama buat perjanjian tapi mereka juga yang ributkan,” kata Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi kepada Law-justice.co.

Alasan gugatan seperti termaktub dalam dokumen pengadilan, antara lain karena KBN terusik atas munculnya perjanjian konsesi selama 70 tahun yang terjadi antara KCN dengan Kementerian Perhubungan pada 29 November 2016. Perjanjian tersebut dinilai merugikan KBN karena ada klausal yang menyebut bahwa setelah 70 tahun seluruh aset yang dikonsesikan akan dikembalikan ke Kementerian Perhubungan. Padahal, menurut KBN objek yang diperjanjikan dalam konsesi tersebut adalah milik mereka.

Selain itu menurut kuasa hukum KBN Hamdan Zoelva, perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan KBN. “Itu melanggar hukum. Apalagi Aset yang dikonsesikan adalah aset negara yang dikelola KBN berdasarkan Keppres.”

 

Pengacara KBN Hamdan Zoelva (foto: Merdeka)

Sementara itu KCN menilai perjanjian konsesi dapat dilakukan cukup lewat otoritas pelabuhan dan unit penyelenggara pelabuhan. Hal itu telah sesuai dengan UU no.17/2008 tentang Pelayaran pasal 28 ayat (4) yang menyatakan: “Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berperan sebagai wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian.” UU ini memang dirancang untuk mendorong pemerintah agar mendelegasikan pengelolaan pelabuhan kepada Badan Usaha Pelabuhan (BUP).

Menurut Juniver Girsang, Kuasa Hukum PT KCN, konsesi proyek pembangunan Pelabuhan Marunda berasal dari Kementerian Perhubungan sebagai pihak paling berwenang atas pengelolaan perairan disana, bukan PT KBN.

“KBN berhak atas apa? Atas bibir pantai 1.700 meter yang sudah dikerjasamakan melalui lelang tahun 2004, siapa yang menggagas lelang tersebur? KBN sendiri tahun 2004, kan aneh,” jelasnya kepada wartawan pada 23/8/2019, seperti dilansir RRI.

Sejumlah pengamat menduga, awalnya KBN tak mengira jika lahan yang saat ini digarap KCN adalah aset yang bakal berpotensi mendatangkan keuntungan besar. Itu sebabnya gugatan keberatan atas perjanjian konsesi baru terjadi setelah satu dekade kemudian.

“Makannya begitu KCN mengurus konsesi, dia (KBN. Red) terkejut, oh ini ada mainana begini...KBN baru melek, baru mengerti…Mereka melihat ini mainan yang luar biasa menguntungkan,” ungkap sumber Law-justice.co.

Padahal pengaturan konsesi sendiri sudah juga diatur lebih lanjut dalam PP No. 64/2015 tentang Kepelabuhanan. Menurut PP tersebut, salah satu aspek penting yang harus dipertimbangkan saat memberikan konsesi adalah agar investasi sepenuhnya dilakukan oleh BUP alias tidak menggunakan pendanaan yang bersumber dari APBN/APBD.

Saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa pada Jumat (27/12/2019) lalu, pihak KCN kembali menegaskan mereka ingin mengembalikan kedudukan hukum Badan Usaha Pelabuhan (BUP) KCN seperti semula, yakni proyek Non APBN dan Non APBD. Sayang, RUPS-LB tidak berhasil mendapat kata sepakat, sehingga rapat memutuskan untuk menunda hingga 23 Januari 2020 mendatang.

Terkait skema tersebut, KCN menegaskan bahwa keinginan KBN untuk mengubah komposisi kepemilikan saham dari minirotas menjadi seimbang, sulit dipenuhi. Saat ini KBN adalah pemegang 15% saham di KCN, sedangkan KTU menguasai mayoritas atau 85 persen sisanya. Di bawah kepemimpina Dirut Sattar Taba, PT KBN menginginkan pembagian saham PT KCN yang seimbang, yakni 50 persen.

Menurut Widodo, seperti disampaikan kepada Law-justice.co hal tersebut tidak memungkinkan, mengingat proyek tersebut skemanya non Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (non APBN) dan non Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (non-APBD).

Ada tiga skema yang ditawarkan pemerintah kepada swasta atau badan usaha pelabuhan (BUP) untuk berpartisipasi dalam proyek infrastruktur maritim. Ketiganya adalah skema konsesi, skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) serta skema kerja sama pemanfaatan aset Barang Milik Negara (BMN). Saat ini Kemenhub baru menerapkan dua skema, yakni konsesi dan KPBU serta baru menjangkau 18 lokasi pelabuhan, yaitu empat lokasi existing dan 14 lokasi baru dari total sekitar 223 BUP.

Ada yang ingin mendongkel KCN

Menurut sumber Law-justice.co yang enggan disebutkan namanya, ada indikasi upaya untuk mendorong KCN keluar dari proyek pembangunan Pelabuhan Marunda. Kelak, proyek ini akan dilanjutkan oleh anak usaha Pelindo. “Jadi begini ada dorongan sebenarya ingin menendang KCN dari Marunda…Kan gini, pelabuhan Tanjung Priok itu akan difokuskan kontainar. Maka seluruh fasilitas non-container itu mau dipindahkan ke Marunda sama ke Banten,” ujarnya.

Sebagimana diketahui, rencana pemerintah mengembangkan Pelabuhan KCN Marunda dimaksudkan untuk mengurangi beban pelabuhan utama Tanjung Priok yang difokuskan untuk menangani kapal kontainer. Sementara Pelabuhan KCN dirancang untuk menampung aktivitas bongkar muat kapal-kapal pengangkut muatan curah seperti batubara, komoditas cair, hingga pasir.

“Menurut kabar, itu (Pelabuhan Marunda. Red) nanti bisa menjadi jalur lintas, bila reklamasi sudah selesai,” kata Uchok Sky Khadafi, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis.

Menurut hasil telusuran Law-justice.co, di lokasi yang tak jauh dari Pelabuhan Marunda, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II juga membangun New Tanjung Priok. Proyek ini dikerjakan di atas lahan Pulau N, salah satu dari 17 proyek pulau reklamasi yang berada di kawasan Teluk Jakarta. Proses pembangunan pelabuhan dengan teknik tiang pancang ini telah dimulai sejak 2013. Tiga tahun kemudian New Priok Container Terminal 1 (NPCT1) beroperasi dengan kapasitas total arus peti kemas mencapai 1 juta TEUs.

Kehadiran dua pelabuhan ini kemudian memunculkan gagasan untuk membuat Kawasan Ekonomi Khusus di Pantai Utara Jawa. Ide ini muncul, seperti dilaporkan Suara, ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama dan Direktur PT Pelindo II, R.J. Lino berkunjung ke Rotterdam, Belanda pada 2015. Mengusung nama Port of Jakarta, proyek ini akan berlokasi di Pulau N,O,P, dan Q dengan nilai investasi mencapai 5 milyar Dollar AS.

Sebagai langkah awal untuk mewujudkan proyek ini, PT Pelindo II, PT KBN dan PT Jakarta Propertindo telah berencana  menandatangani nota kesepahaman untuk merestrukturisasi KBN Marunda yang akan dijadikan pusat logistik. Dalam proyek seluas 500 hektar ini, PT Pelindo II dan PT Jakarta Propertindo mendapat bagian 76 % dan 24 % saham. Namun Gubernur Basuki ingin saham itu terbagi rata, masing-masing pihak menguasai 50 %.

Belakangan, proyek ini menguap begitu saja. Pasalnya hubungan antara para pihak yang terlibat dalam kerjasama itu memanas. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya menuding PT Pelindo II dan Kawasan Berikat Nusantara melakukan reklamasi secara ilegal karena berdasarkan Kepres Nomor 52/1995 wewenangnya berada di tangan Gubernur DKI Jakarta. Proyek ini sirna sama sekali ketika proyek reklamasi kemudian bermasalah karena terindikasi korupsi.

Proyek reklamasi terhenti sama sekali ketika Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pada September 2018, ia mengumumkan pencabutan izin 13 pulau reklamasi. Alasannya, seperti dilaporkan Katadata,  verifikasi yang dilakukan Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Jakarta menyatakan pulau-pulau itu tidak memenuhi berbagai perizinan yang dipersyaratkan.

Sejak saat itu, praktis hanya 4 pulau reklamasi saja yang tetap dipertahankan. Bila Pulau C, D, dan G yang sebelumnya dikelola swasta dan kemudian dialihkan ke PT Jakarta Propertindo, maka Pulau N tetap dikuasai oleh PT Pelindo II. Ketika itu, seperti dilaporkan Tempo, perusahaan itu sedang dalam persiapan pembangunan Container Terminal 2 dan 3, serta Product Terminal 1 dan 2.

 

Bogkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok (foto: tirto)

Lokasi Pelabuhan KCN Marunda yang strategis memang dirancang untuk mendukung poros maritim, yaitu menunjang pelabuhan utama Tanjung Priok yang diperuntukkan untuk aktivitas bongkar muat kontainer.

“Nah ini (Pelabuhan Marunda. Red) yang mau diberikan ke anak usaha Pelindo sebagai ‘mainanan’. Nanti kerjasamanya dengan KBN. Jadi KBN mitra dengan anak usaha Pelindo. KCN, dia akan ditendang. Itu lah alurnya sebetulnya. Permainannya itu sebenarnya seperti itu…Makanya KBN ngotot, sampai dia gugat,” kata sumber Law-justice.co.

Saat ini, Pelabuhan Marunda telah memiliki sejumlah terminal. Setidaknya sudah ada dua Badan Usaha Pelabuhan (BUP), yaitu Marunda Center Terminal (MCT) dan PT Karya Citra Nusantara (KCN). Keduanya berperan merealisasikan rencana induk Pengembangan Pelabuhan Marunda yang telah masuk dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 38/2012 tentang Rencana Induk Pelabuhan Tanjung Priok.

Berdasarkan data terkini, total kunjungan dan volume barang yang ditangani Pelabuhan Marunda telah tembus 33 juta ton dan tiap bulan tidak kurang terdapat 300 call. Dengan dasar hitungan kontribusi yang telah negara terima dari KCN pada 2016—2017, perusahaan memperkirakan total potensi kontribusi bila seluruh dermaga Pier I, Pier ll dan Pier III beroperasi mencapai Rp 200 miliar per tahun. Sayangnya, pengembangan Pelabuhan Marunda belum optimal.

KCN mengatakan kini baru satu dermaga yang beroperasi, dari tiga yang direncanakan. Menurut Dirut KCN Widodo Setiadi kepada Law-justice.co, pembanguna Dermaga Pier 1 yang dimulai sejak 2010, sudah terbangun sepanjang 1.950 meter, dari total seluruh pier sepanjang 5.350 meter. Sementara pembangunan dermaga Pier 2 sudah rampung sekitar 30 persen.

“Bayangkan jika dermaga I ini sepenuhnya bisa beroperasi, ditambah dengan dermaga II dan dermaga III. Kami memprediksi, dwelling time di Tanjung Priok akan lebih menurun lagi,” kata Widodo.

Rebutan aset di Marunda

Jadi jelas bahwa ribut-ribut di proyek Pelabuhan Marunda ini lebih pada persoalan perebutan aset. “Apa yang diributkan pihak KBN sebenarnya soal perjanjian yang dulu sudah sama-sama disetujui dan baru dipersoalkan kembali oleh Dirut KBN, Sattar Taba. Mereka ini begitu ngototnya. Ada apa?” ujar seorang narasumber Law-justice.co.

Yang pasti KBN menilai ada potensi bisnis luar biasa dari pengusahaan kepelabuhanan. Sebagaimana diketahui KBN adalah BUMN yang fokus usahanya hanya menyewakan lahan untuk pabrik-pabrik, atau kawasan berikat. Bisnis itu relatif kecil dibandingkan dengan pelabuhan.

“Itulah sebabnya dia (KBN. Red) seperti tersadarkan dengan bisnis pelabuhan ini. Gede banget bisnis pelabuhana ini, KCN saja bisa dapat 200 Miliar per tahun, KBN belum tentu dapat seperti itu. Jadi ini menggiurkan. Karena itulah KBN memutuskan gugat, kita ambil hak kita,” ujar sumber Law-justice.co yang akrab dengan isu sengketa KBN-KCN.

Lewat Hamdan Zoelva, kuasa hukum KBN, perusahaan menyangkal ada kepentingan direksi maupun komisaris saat menggugat KCN. “Direksi dan komisaris KBN hanya menjaga aset rakyat yang dikelola sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi direksi atau komisaris,” ujarnya lewat pesan yang disampaikan via WhatsApp kepada Bonna Siahaan drai Law-justice.co.

 

Pelabuhan KCN Marunda (foto: beritasatu)

Jika pun kelak KBN berhasil mengambil alih proyek pembangunan Pelabuhan Marunda dari KCN, pengerjaannya tetap harus dikerjasamakan dengan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang berpengalaman. Seorang sumber mengatakan hal itu sudah dipikirkan bahkan dipersiapkan, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Adalah Pelindo II dibawah kepemimpinan Direktur Utama R.J. Linno sudah aktif mendirikan sejumlah anak perusahaan. Alasan pendirian anak-anak perusahaan ketika itu adalah untuk spesialisasi.

“Dengan begitu, sumber daya manusia yang ada bisa kompeten dalam bidangnya. Orang itu nggak mungkin jago dalam semua. Akhirnya jadi nggak jago," sebut Lino pada 22/2/2012 silam, seperti dilansir Kompas.

Menurut sumber Law-justice.co pendirian anak usaha Pelindo yang terjadi dalam 5 tahun terakhir terbanyak terbanyak didirikan di zaman R.J. Linno, tersangka korupsi pengadaan QCC Pelindo II tahun 2010. Sebagian besar anak usaha ini kini telah mandiri, namun sebagian lagi belum berkegiatan.

“Nah, yang belum itu yang akan diarahkan untuk mengurusi barang-barang konvensional, seperti curah kering, curah cair. Itu yang belum ada mainan yang signifikan. Kalau mau main di Marunda, kan sudah ada KCN, anak usaha dari KBN juga.”

Menurut sumber Law-justice.co, KBN sedang mengupayakan untuk ‘menendang’ KCN dari Marunda. “Ini sebetulnya. Jadi begini, ada dorongan sebenarya yang ingin menendang KCN dari Marunda. Pelabuhan Tanjung Priok itu kan akan difokuskan kontainar. Jadi seluruh fasilitas non-container itu mau dipindahkan ke Marunda sama ke banten.”

***

Ada informasi menarik lain yang diperoleh dari salah seorang nara sumber Law-jsutice.co, yakni keterlibatan kelompok Makassar dalam sengketa KCN-KBN ini. Salah satu nama yang disebut adalah Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan HAM di era Presiden Soesibo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Ya itulah ya. Ada satu orang lagi yang berurusan soal ini, yaitu mantan menteri Hamid Awalludin. Mereka inilah sepertinya yang mempunyai kepentingan atau urusan soal KBN ini. Mereka ini sama-sama dari Makassar kan.”

Awak Law-justice.co berusaha beberapa kali menghubungi Hamid Awaluddin untuk dimintai konfirmasi, tetapi yang bersangkutan belum merespons.

Hubungan Sattar Saba dan Jusuf Kalla

Menarik juga mencermati gebrakan Direktur Utama KBN, Sattar Saba, di sengketa Pelabuhan Marunda, serta relasinya dengan sejumlah pejabat. Salah satunya adalah mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, Kalla adalah kakak kelas di Jurusan Ekonomi Universitas Hasanuddin dan satu organisasi di Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPP KKSS).

Kedekatan kedua sosok ini terlihat saat Sattar Saba diangkat sebagai Direktur PT KBN.  Ketika pelantikan, Jusuf Kalla yang kala itu tak menduduki jabatan publik, diminta untuk berbicara di hadapan para direksi baru PT KBN. Dalam kesempatan tersebut, seperti dilaporkan Antara, Kalla mendorong KBN untuk mengelola pelabuhan agar berbeda dengan kawasan industri lainnya.

Kemudian saat Jusuf Kalla kembali terpilih sebagai wakil presiden, kedekatan hubungan keduanya pun tetap terjaga. Di berbagai kesempatan, ia mengaku memiliki hubungan yang baik dengan Sattar. Seperti dilaporkan Majalah Tempo, Direktur Utama KBN itu kerap menghadap Kalla. Salah satu pertemuan itu digelar pada 2 Oktober 2018 di rumah kediaman Wakil Presiden, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Pertemuan berlangsung selama satu jam.

Secara terbuka Sattar mengaku sering bertemu Kalla. Tak sekadar membicarakan masalah pribadi atau organisasi, Direktur Utama KBN itu pun membahas masalah perusahaan. Kepada Majalah Tempo, ia bahkan mengaku lebih sering memberikan informasi dan perkembangan baru perusahaan kepada Kalla, ketimbang Menteri BUMN, Rini Soemarno.

Kedekatan inilah yang membuat Sattar dan Kalla memiliki pandangan yang sama tentang berbagai hal. Salah satunya tentang Pelabuhan Marunda. Menurut sumber yang sama, sosok wakil presiden itu menilai kesepakatan antara KBN dan KCN itu terlalu murah. Tak hanya itu, ia menuding pembuat kesepakatan telah melanggar sejumlah aturan. “Itu sudah melanggar. Yang bikin itu melanggar,” kata Kalla kepada Majalah Tempo.

Sattar Saba dan Jusuf Kall, berteman (foto: Tribune)

Menjelang akhir periode masa jabatan sebagai wakil presiden, hubungan Jusuf Kalla dengan Sattar Saba tetap dekat. Ia, misalnya, memberikan kata pengantar untuk buku biografi Sattar bertajuk HM Sattar Taba, Pekerja Keras Berbuah Profesionalisme. Dalam tulisan itu, Kalla memuji habis-habisan sosok Direktur PT KBN itu.

Sejak awal, Kalla mengakui sangat senang ketika Sattar ditunjuk Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk menjadi Direktur Utama PT KBN pada 2012. Saat dirinya menjadi wakil presiden, Kalla mendorong agar jabatan Sattar diperpanjang karena sosoknya yang pekerja keras dan memiliki banyak prestasi cocok memimpin perusahaan tesebut.

Hubungan mesra antara keduanya juga berbuah dukungan yang konsisten Kalla pada Sattar. Bahkan sebelum keluar putusan kasasi MA, Kalla terang-terangan menyebut agar penyelesaian sengketa KBN-KCN bersandar pada putusan pengadilan yang berlaku.

Pemerintah menurut Kalla, kerap mendorong agar faktor kebenaran, keadilan, dan keuntungan negara harus menjadi hal yang utama. “Karena ini milik pemerintah maka tentu apa yang terbaik untuk pemerintah dan juga bagi masyarakat keseluruhan. Unuk itu adalah sangat penting untuk dijaga [aset negara],” katanya kepada Bisnis.

Pernyataan Kalla klop dengan kehendak KBN terkait gugatan terhadap KCN, yakni untuk menjaga aset rakyat. “Karena menyangkut kepentinga rakyat dan negara seharusnya semua pimpinan negara bertanggung jawab menjaga kepentingan negara di KBN,” kata Hamdan Zoelva.

Hanya waktu yang akan membuktikan apakah betul tidak ada kepentingan lain KBN, selain menyelamatkan aset negara. Yang pasti sikap KBN yang ngotot menguasai kembali aset di Pelabuhan Marunda telah menimbulkan kecurigaan sejumlah kalangan. Bisnis pelabuhana ini menggigurkan meski menuntut modal besar dan tetap beresiko.

Kontribusi Laporan: Teguh Vicky Andrew, Januardi Husin, Nikolaus Tolen, Bona Siahaan, Yudi Rachman

(Tim Liputan Investigasi\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar