Merasa Dibohongi Pemerintah, DPR Bakal Gulirkan Pansus BPJS

Rabu, 08/01/2020 11:20 WIB
Pelayanan di BPJS Kesehatan (Pontas.id)

Pelayanan di BPJS Kesehatan (Pontas.id)

Jakarta, law-justice.co - Keputusan pemerintah yang tetap menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk semua kelas dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap DPR.

Menurut DPR, pemerintah sudah dua kali mengingkari hasil keputusan rapat dengan DPR terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2020.

Komisi IX DPR pun menggulirkan wacana untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) BPJS.

”Kita rapat sampai jam 3 pagi, sudah ada kesepakatan (untuk tidak ada kenaikan iuran BPJS Kelas III Mandiri-red). Kita sedih, selevel DPR saja tidak didengar, terus yang mau didengar siapa? Yang bikin tragis, opsi (memberikan subsidi kenaikan tarif kelas III mandiri-red), itu mereka. Istilahnya, ‘kau yang mulai, kau yang mengingkari,” ujar anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati kepada wartawan di Jakarta, Selasa (7/1/2020) seperti melansir sindonews.com.

Kurnia mengatakan, semua anggota Komisi IX DPR satu suara untuk menolak kenaikan iuran BPJS kelas III mandiri. Karena itu, pihaknya mengusulkan untuk dibentuknya Pansus BPJS.

Opsi lainnya adalah dengan mengusulkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75/2019 yang dijadikan acuan dalam menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan.

”Kita akan lihat dari ini dulu, penjelasan dan klarifikasinya dulu dari pemerintah seperti apa? Kalau memang dirasa perlu bikin Pansus ya kita akan dorong bikin Pansus di rapat perdana itu nanti,” katanya.

Karena itu, dalam rapat perdana di Komisi IX setelah masa reses pekan depan, pihaknya mengagendakan untuk memanggil Menteri Kesehatan (Menkes), Direktur BPJS Kesehatan, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menanyakan mengenai kenaikan iuran BPJS. Sebab, kenaikan iuran BPJS dilakukan saat masa reses.

“Kita akan minta penjelasan kenapa dua kali ingkar janji. Komisi akan membuat pansus, bila perlu lintas komisi. Kita juga masih mencari dasar hukum kalau ada yang melanggar keputusan rapat dengan DPR, misalnya bagaimana jika melakukan interpelasi,” tuturnya.

Menurut Kurnia, selama masa reses, dirinya berkeliling ke daerah pemilihan (Dapil) DKI II dan menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait kenaikan iuran yang berlaku sejak 1 Januari 2020 lalu.

”Saat reses ini, kami keliling ke dapil, semua berteriak mengeluhkan kenaikan iuran BPJS ini. Ini kado awal tahun, sudah gitu warga habis kena banjir, terus tahu tagihan BPJS-nya naik, mereka semua berteriak,” ujar politikus PKS ini.

Diketahui, pemberlakuan penyesuaian iuran peserta yang didasarkan pada Perpres Nomor 75/2019 berlaku mulai Januari 2020 untuk jenis kepesertaan pekerja bukan penerima upah (PBPU) dengan perincian kelas III naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000, kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000, dan kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp160.000. Selain itu penyesuaian iuran juga dilakukan bagi pekerja penerima upah (PPU) pemerintah dan PPU swasta.

Selanjutnya untuk jenis kepesertaan penerima bantuan iuran (PBI) dari APBN dan penduduk yang didaftarkan pemda (PBI APBD) disesuaikan dari Rp23.000 menjadi Rp42.000 berlaku per Agustus 2019. Khusus PBI APBD untuk tahun 2019 selisih Rp19.000 ditanggung pemerintah pusat.

”Ini rakyat yang menderita. Ini ada warning ke mitra kita (Komisi IX). Kita lihat kemungkinan hak-hak DPR ketika ada yang ingkar dengan hasil raker. Kita juga minta Presiden untuk meninjau ulang perpres. Ini kado pahit Jokowi yang ingkar janji. Sudah (mengurusi) banjir saling menyalahkan, sibuk berantem saja,” keluhnya.

Kelompok pertama adalah yang dibayar oleh negara/dibayar dari pemotongan gaji (PBI, PPU pemerintah, PPU badan usaha) yang jumlah keseluruhannya 186.355.409 jiwa. Kemudian kelompok kedua adalah yang membayar secara mandiri (PBPU dan BU) yang jumlah keseluruhannya adalah 35.932.299.

Dan dari kelompok kedua ini yang mengambil kelas III berjumlah 19.961.569 jiwa. Untuk selanjutnya bila disebutkan kelas III, maka merujuknya adalah pada jumlah 19.961.569 jiwa yang ada di kelompok kedua.

Sebelumnya, untuk menyikapi munculnya perpres, Komisi IX DPR RI telah melakukan rapat gabungan dengan kementerian terkait pada 2 September 2019.

Salah satu poin penting adalah penolakan pada kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada kelas III yang mandiri dan meminta pemerintah menunda serta mencari solusi penyelesaiannya.

Keputusan ini juga tetap konsisten dipegang ketika Komisi IX DPR RI, Kemenkes, DJSN, dan BPJS Kesehatan mengadakan rapat tanggal 7 November dan 9 Desember 2019.

Pada raker Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes, DJSN, dan BPJS Kesehatan tanggal 12 Desember 2019, ditemukan kesepakatan yang bisa digunakan sebagai solusi agar pada peserta mandiri kelas III tidak terjadi kenaikan iuran.

Kenaikan premi BPJS Kesehatan kelompok pertama dan kelompok kedua yang kelas I dan kelas II diproyeksikan tahun 2020 akan memiliki surplus sebesar Rp13,3 triliun.

Adapun kebutuhan anggaran untuk membayar selisih kenaikan kelas III mandiri dari iuran awal Rp25.500 ke iuran yang baru Rp42.000 untuk 19.961.569 jiwa dalam setahun adalah Rp3,9 triliun. Jadi surplus Rp13,3 triliun bisa digunakan untuk membayar selisih tersebut.

Kesimpulannya BPJS Kesehatan akan tetap naik iurannya sesuai dengan perpres, namun untuk kelas III mandiri iuran tiap bulannya tetap sama, yakni Rp25.500. Adapun selisih kenaikan iurannya akan dibayar oleh pemerintah dari surplus yang ada.

Dalam raker tanggal 12 Desember tersebut, Komisi IX DPR RI meminta Kemenkes dan BPJS Kesehatan bisa menjamin implementasi dari hasil kesimpulan raker agar masyarakat yang kelas III mandiri pada 1 Januari (yang merupakan batas waktu mulai pemberlakuan perpres) tidak perlu membayar kenaikan iuran.

Terpisah, Wakil Ketua MPR Syariefuddin Hasan meminta agar iuran BPJS Kesehatan tidak memberatkan rakyat. ”Iuran kesehatan jangan memberatkan rakyat. Kalau ada kenaikan, kenaikan itu tidak memberatkan. Dan ada subsidi silang lah.

Rakyat berpendapatan rendah, menengah ke bawah harus banyak menjadi perhatian,” tutur Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (7/1/2020).

Keluhan terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini juga disampaikan para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam Sidang Paripurna Tahun 2020, Senin (6/1/2020), DPD menganggap kebijakan pemerintah menaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut perlu dikaji ulang karena sangat memberatkan hampir sebagian besar masyarakat.

Hampir seluruh laporan reses para senator melaporkan perlunya ditinjau ulang kenaikan iuran BPJS karena sangat memberatkan masyarakat. Senator DKI Jakarta Fahira Idris menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100% sangat memberatkan.

”Saya kira hampir semua hasil reses di daerah minta pemerintah pusat untuk mengkaji ulang kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini sangat memberatkan,” tegasnya.

Senator Jawa Timur, Adilla Aziz menuntut BPJS untuk memperbaiki pelayanannya, terutama menempatkan karyawan BPJS di rumah-rumah sakit untuk memberikan pelayanan administrasi secara langsung kepada peserta BPJS.

”Kenaikan BPJS tidak hanya mengancam penurunan kesertaan BPJS, tapi juga mengancam juga kemampuan APBD daerah dalam pemenuhan pemberian bantuan iuran saya kira seluruh daerah juga mengalami hal serupa,” tandasnya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar