Ciputra: Kita Harus Ke Jakarta Sebab di Sana Banyak Pekerjaan

Senin, 06/01/2020 08:33 WIB
Ciputra, Perintis Perusahaan Properti di Indonesia (Kompas)

Ciputra, Perintis Perusahaan Properti di Indonesia (Kompas)

law-justice.co - Ibarat dua sisi mata uang, selain dikagumi, ia juga dinilai sebagai sosok yang kontroversial. Dialah Ciputra, pengusaha yang memulai bisnis dari nol hingga meraih sukses besar. Pak Ci—begitu ia akrab disapa—menurut para pengkritiknya, adalah orang yang memicu sejumlah persoalan perkotaan, seperti segregasi ruang sosial, fragmentasi layanan di perkotaan, hilangnya lahan-lahan pertanian dan penyebab meningkatnya kemacetan di perkotaan (Leaf, 2015). 

Terlepas dari itu, harus diakui Ciputra telah berhasil mewujudkan imajinasi modernisme yang diimpikan Orde Baru. Melalui sejumlah perusahaan yang didirikannya, ia berhasil mengeksekusi sejumlah proyek pembangunan  berskala besar di sejumlah kota Indonesia, termasuk Jakarta yang menjadi kota metropolitan berkat tangan dinginnya.

Benih-benih Semangat Kewirausahaan

Lahir di desa Bumbulan, Parigi, Sulawesi Tengah pada 24 Agustus 1931, Ciputra (Tjie Tjin Hoan) merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio yang memiliki usaha toko kelontong. Bersama keluarganya, ia hidup serba berkecukupan. Namun kecamuk Perang Asia Timur Raya pada 1942 yang mencapai Hindia-Belanda mengubah segalanya.  

Ketidaksenangan tentara Jepang terhadap orang-orang Tionghoa  membuat ayahnya dituduh mata-mata Belanda. Tjie Sim Poe pun dibui dan tak lama kemudian meninggal di Manado. Ironisnya, Ciputra baru tahu sang Ayah telah meninggal ketika tentara Dai Nippon telah kalah perang pada 1945. Selama rentang waktu itu, rumah dan toko kelontong diambil alih dan tak dapat beroperasi hingga membuat keluarganya jatuh miskin.

Untuk bertahan hidup, keluarganya mengandalkan hasil buruan di hutan dan bercocok tanam di kebun hingga berjualan topi yang terbuat dari daun. Dalam urusan berburu,  Ciputra belajar dari orang Sangihe Talaud dan kerap membawa ke-17 anjingnya ke hutan. Hasilnya tak mengecewakan, ia hampir selalu berhasil membawa babi hutan untuk keluarganya. Selain dikosumsi sendiri, hasil buruan juga dijual ke pasar, begitu juga hasil dari bercocok tanam.

 “(Sejak Ayah meninggal) saya sadar  harus tumbuh dengan cepat dan tiba-tiba kehilangan rasa malu dan keengganan (untuk membantu keluarga).  Sikap semacam itu mulai tertanam dalam diri saya sejak remaja dan menjadi benih semangat kewirausahaan dalam diri saya. Benih-benih itu semakin matang dari waktu ke waktu dan menghasilkan  sesuatu yang besar karena kebutuhan untuk bertahan hidup,” tulisnya dalam  From Dirt and Scrap to Gold: A Vision for Entrepreneurship in Indonesia.

Meskipun hidup serba kekurangan, sang ibu selalu mengupayakan agar Ciputra mendapatkan pendidikan yang memadai. Tradisi ini telah dimulai ketika ayahnya masih hidup. Usia enam tahun, Ciputra dikirim ke sekolah Belanda di Gorontalo. Setelah perang berakhir, ia kembali bersekolah di desa Bumbulan, kemudian melanjutkan pendidikan SMP Gorontalo dan SMA Don Bosco Manado hingga akhirnya menempuh studi di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB).

Semangat kewirausahaan Ciputra kembali muncul pada tahun masa perkuliahannya di Bandung.  Ketika itu ibunya sudah tak sanggup lagi untuk mengirimkan uang bulanan. Ciputra lalu membeli  batik di Bandung, kemudian dijual oleh seorang kawannya di Medan. Pada  1957, ia merintis perusahaan konsultan arsitektur, PT Perentana Djaja  bersama dua kawannya Smail Sofyan dan Budi Brasali. Sampai saat ini, perusahaan ini masih tetap eksis.

Berkantor di sebuah garasi, perusahaan ini pun mendapatkan beberapa kontrak pekerjaan yang nilainya yang lumayan. Salah satu yang diingat Ciputra adalah sebuah gedung bertingkat yang difungsikan sebagai bank di Banda Aceh. Namun kerjasama antara ketiganya harus berakhir sementara, karena Ciputra telah lulus kuliah dan berencana pindah ke Jakarta. Pada 1960, kepada dua sahabatnya, ia mengatakan “…Ke Jakarta…Kita harus ke Jakarta sebab di sana banyak pekerjaan” (Benny Lo, 2010).

Visi Pembangunan Jakarta

Sebenarnya persentuhan Ciputra dengan Jakarta telah terjadi sejak masih SMA di Manado. Ketika itu, ia dipercaya mewakili Sulawesi Utara sebagai atlet lari yang akan bertanding pada Pekan Olahraga Nasional (PON) II di Lapangan Ikada, Jakarta.  Meskipun tak mendapatkan medali karena hanya menjadi finalis di nomor lari 800 dan 1.500 meter, ia sempat diundang Presiden Soekarno dan menikmati jamuan makan mewah di  Istana Merdeka (Albertiene Endah, 2018).

Tak disangka persentuhan kedua Ciputra dengan Jakarta hanya bermodal nekat. Menurut sang istri,  Dian Sumeler,  pada mulanya mereka harus pindah dari losmen ke losmen sebelum akhirnya menetap di Kebayoran Baru (PDAT, 2004).  Selain itu, dengan mengusung bendera PT Perentjaja Djaja  Ciputra pun hanya bermodal sebuah proposal pembangunan pusat perbelanjaan di kawasan Senen yang hendak ditawarkannya kepada Gubernur Jakarta, Soemarno.

Beruntung, ia mendapat bantuan dari Mayor Charles,  bekas  asisten Gubernur Soemarno. Ciputra pun diberikan kesempatan untuk memaparkan konsep pembangunan Jakarta. Di luar dugaan baik Gubernur Soemarno maupun Presiden Soekarno pun terkesan dan setuju dengan rencana yang diajukan Ciputra. Pada 1961,  sebuah perusahaan milik pemerintah, PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya pun didirikan dan dipercaya untuk menangani proyek Pasar Senen (Dieleman, 2011).

Namun setahun kemudian, perusahaan milik pemerintah ini terpaksa bertransformasi menjadi perusahaan swasta. Pasalnya, pada 1962 muncul regulasi yang melarang keterlibatan pemerintah di sektor-sektor privat. Oleh sebab itu korporasi ini melakukan pengaturan ulang pembagian keuntungan dan menjadikan Gubernur DKI Jakarta sebagai presiden komisaris Jaya Grup. 

Meskipun begitu, hubungan perusahaan ini dengan para kepala daerah ibukota, terutama Ali Sadikin tetap terjalin dengan rapat. Perusahaan ini dipercaya untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintahan. Salah satu yang paling monumental adalah pembangunan tempat wisata moderen di Jakarta, Taman Impian Jaya Ancol.

Topi menjadi ciri khas penampilan Ciputra di usia senja (UC)

Proses pengerjaan proyek ini terbilang sulit karen sampai 1967, Ancol dikenal sebagai kawasan rawa dan enggan dikunjungi oleh para wisatawan. Namun Ciputra berhasil meyakinkan Bang Ali untuk mengubah Ancol menjadi kawasan perkontaan dan destinasi wisata. Sang gubernur pun sangat setuju dan berkata,” Buatlah Ancol menjadi Disneyland di Indonesia” (Ciputra, 2012).

Ciputra lalu mengajukan tawaran kerjasama kepada Disney America. Ia juga mengunjungi tempat wisata itu untuk melakukan eksplorasi.  Namun perusahaan asal Negeri Paman Sam itu menolaknya. Meskipun demikian,  ia tak putus asa dan tetap yakin Ancol bisa menjelma menjadi  sebuah tempat wisata moderen yang dikunjungi banyak orang.

Keyakinan itu berbuah manis. Proyek ini berhasil mewujud melalui pembukaan pantai Ancol dengan fasilitas pertama,  yaitu bioskop Bina Ria Ancol. Setelah itu, sepanjang 1970-an muncul berbagai fasilitas lain, seperti lapangan golf, kolam renang, akuarium raksasa, hingga penginapan mewah (Putri Duyung Cottage dan Hotel Horison). Pada pertengahan 1980-an berhasil dirampungkan taman hiburan tematik, Dunia Fantasi yang tetap bertahan hingga sekarang (Merrillees, 2015).

Keberhasilan Ciputra dan PT Pembangunan Jaya dalam proyek Taman Hiburan Jaya Ancol membuat predikat Jakarta sebagai kota pantai kembali mencuat. Bersama pembangunan Pasar Senen, kedua proyek ini menjadi simbol modernitas Jakarta pada masa itu. Kesuksesan ini juga membuktikan kemampuan Ciputra dan kapabilitas Jaya Grup sebagai perusahaan pengembang terkemuka di Indonesia (Dieleman, 2011).

Tidak bisa dipungkiri, kedekatan Ciputra dengan para penjabat pemerintah  membuat PT Pembangunan Jaya banyak mendapatkan proyek pemerintah. Gubernur Ali Sadikin, misalnya, secara terang-terangan menyetujui visi pembangunan yang ditawarkan oleh Ciputra. Selain itu, kedekatan relasi dengan para birokrat kerap membuat perusahaan ini dapat membeli lahan dengan harga yang murah untuk mengerjakan proyek-proyek yang menguntungkan pemerintah dan perusahaan pengembang.

Proyek Kota-kota Satelit

Dengan mengandeng para pemodal swasta, pada 1970-an, Ciputra mengajukan pembangunan kota satelit di sekitar Jakarta. Proyek-proyek ini mencakup pengembangan kawasan Pondok Indah, Bintaro Jaya, dan Bumi Serpong Damai. Untuk mengerjakan proyek itu, ia membuat sejumlah perusahaan patungan. Sampai saat ini setidaknya terdapat lima perusahaan patungan yang digagas oleh Ciputra.

Selain Jaya Grup yang menggarap Bintaro Jaya, ia mendirikan PT Metropolitan Development pada 1970 bersama, Ismail Sofyan dan Budi Brasali yang fokus pada pembangunan hotel, seperti Hotel Horison di kawasan Ancol. Ciputra juga terlibat dalam  pembentukan Grup Pondok Indah (PT Metropolitan Kencana)  yang merupakan perusahaan patungan  dengan pengusaha  Sudwikatmono dan Sudono Salim ( Liem Sioe Liong). Korporasi ini kemudian mengerjakan proyek perumahan elit Pondok Indah dan Pantai Indah Kapuk.

Grup usaha lain yang digagas Ciputra adalah PT Bumi Serpong Damai (BSD). Didirikan pada 1980-an, perusahaan ini merupakan konsorsium 10 pengusaha besar, seperti Sudono Salim, Eka Tjipta Widjaya, Sudwikatmono, Ciputra, dan Grup Jaya. Korporasi ini mengerjakan proyek kota mandiri selas 6.000 hektar. Tak hanya kawasan permukiman, perusahaan ini juga mengerjakan sarana pendukung lainnya, seperti jalan tol BSD Pondok Indah dan  lapangan Damai Indah Golf.

Di luar itu, Ciputra juga membentuk sebuah perusahaan keluarga Grup Ciputra pada 1981. Perusahaan ini dibentuk setelah keempat anaknya telah merampungkan studi di luar negeri. Perusahaan pertama yang dibentuk adalah PT Citra Habitat yang kemudian diubah namanya menjadi Ciputa Development (CD). 

Sejak mengerjakan CitraLand di Surabaya pada 1993 seluas 1.000 Ha, kelompok usaha ini mengerjakan  sejumlah proyek-proyek lain. Mulai dari perumahan Citra (455 Ha), CitraRaya Kota Nuansa Seni di Tangerang (1.000 Ha), dan Citra Indah Jonggol (1.000 Ha). Di luar itu, terdapat pula proyek hotel dan pusat perbelanjaan, seperti Hotel dan Mal Ciputra, serta Super Blok di Kuningan (14,5 hektar).

Agresivitas pembangunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang digagas oleh Ciputra bukan tanpa kritik. Salah satu proyek kontroversial yang dikerjakannya adalah Pantai Indah Kapuk.  Alasannya proyek  yang mulai dikerjakan pad 1989 ini  di atas lahan seluas 1160 hektar ini memiliki potensi merusak lingkungan.

Proyek ini sendiri telah mendapatkan izin dari Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap dan  Gubernur Wiyogo Atmodarminto  Meskipun telah mendapat izin dari pemerintah, menurut sejumlah  lembaga swadaya masyarakat, proyek ini mengakibatkan  banjir di daerah Penjaringan dan melanggar peruntukan kawasan yang berstatus zina hijau menurut RTRW 1985-2005. Untuk memuluskan proyek ini pada 1995 fungsi wilayah itu kemudian diubah menjadi  kawasan permukiman (Dieleman, 2011).

Untuk mengerjakan proyek ini, Ciputra mendapat sokongan dari Grup Salim yang memiliki kedekatan dengan Presiden Soeharto. Meskipun terdapat berbagai protes dari sejumlah akitivis lingkungan dan menjadi isu kontroversial, Ciputra berhasil memastikan proyek ini tetap berjalan. Apalagi, ia mendapat persetujuan dari orang nomor satu di Indonesi kala itu yang menerbitkan  sebuah keputusan presiden yang diterbitkan pada 1995.

Terlepas dari kontroversi itu, harus diakui melalui perusahaan-perusahaan yang digagas Ciputra berhasil menuai kesuksesan melalui proyek-proyek yang dikerjakannya.  Sampai saat ini, setidaknya terdapat 11 yang dirampungkan dan tersebar di Jabodetabek, Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, hingga Hanoi, Vietnam seluas 20 ribu hektar.

Pararel dengan kesuksesan itu, perusahaan-perusahaan yang dibangun oleh Ciputra juga meraup keuntungan yang  sangat besar. Salah satu yang paling fenomenal adalah Grup Ciputra.   Pada  akhir 1996, tercatat total aktiva perusahaan ini mencapai Rp 2,85 triliun dengan laba mencapai Rp 131,44 milyar. Bahkan nilai salah satu anak usaha Grup Ciputra melonjak dari 50 juta Dollar AS ketika pertama kali melantai di bursa dan naik lima kali lipat menjadi 250 juta Dollar AS menjelang krisis finansial di Asia.

Mencoba Bangkit Setelah Krisis Melanda

Kejayaan perusahaan-perusahaan yang didirikan Ciputra, termasuk Ciputra Grup  tak berdaya menghadapi krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara di Asia. Meskipun krisis ini telah diperkirakan sejak 1997, namun ia masih optimis kekuatan finansial yang dimilikinya kuat untuk menghadapi terpaan badai resesi.

“Kami mengerjakan banyak proyek. Bahkan, sebagian perusahaan punya utang dolar dalam jumlah besar kepada bank asing. Tapi kami tak khawatir karena proyek-proyek kami disambut hangat masyarakat...Tidak mungkin kami tidak bisa membayar utang, kata Ciputra optimis seperti temuat dalam buku The Passion of My Life (Endah, 2018).

Salah satu penyebab Grup Ciputra ambruk adalah lilitan hutang yang besar. Ketika itu sebagian besar piutang dalam mata uang Dollar. Jumlah kewajiban yang harus dibayar meningkat berkali-kali lipat akibat nilai Rupiah yang terus melemah. Selain itu, penjualan yang turun drastis dan sejumlah proyek yang terbengkalai membuat banyak pelanggan yang marah dan para rekanan bisnis yang meminta pembayaran untuk mereka segera dicairkan (Dieleman, 2012).

Dengan situasi semacam ini, Grup Ciputra berupaya untuk bangkit dari keterpurukan.  Perusahaan ini melakukan negosiasi piutang ke sejumlah pihak. Seiring dengan kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah, Ciputra merambah wilayah-wilayah baru yang belum digarap, seperti Medan. Selain itu, ia juga melebarkan sayapnya ke berbagai negara. Mulai dari Vietnam, Kamboja, hingga Tiongkok (Dieleman, 2009).

Strategi yang dilancarkan oleh Ciputra terbukti manjur, meskipun membutuhkan waktu tujuh tahun untuk bangkit kembali. Jika margin laba yang diraih dalam 15 tahun terakhir mencapai 52 persen sebelum terjadinya krisis pada 1997-1998, maka pada 2007 margin laba ini kian mengecil hingga mencapai 44 persen. Hal ini memperlihatkan Grup Jaya menjadi perusahaan yang semakin sehat dari waktu ke waktu.

Salah satu rahasia sukses untuk bertahan dan bangkit dari krisis adalah kekuatan keluarga dalam struktur perusahaan Grup Jaya. Sejak awal didirikan Ciputra memang telah melibatkan anak-anak dan menantunya di dalam korporasi. Saat ini, sebagian besar posisi penting di perusahaan telah diisi oleh generasi ketiga yang tidak lain adalah cucu dan cicit Ciputra.

Ciputra saat berulang tahun ke-87 (Dokumentasi Keluarga)

Saat ini sang istri bersama keempat anak dan menantunya masih duduk dalam posisi penting di berbagai perusahaan yang bernaung di bawah grup Jaya. Selain itu, terdapat pula empat belas cucu, dan tujuh cicit yang merepresentasikan generasi ketiga dan keempat dalam korporasi keluarga itu. Meskipun masih muda sebagian besar dari mereka adalah lulusan universitas ternama di luar negeri dan telah menimbah ilmu di sejumlah perusahaan ternama. 

Dari empat belas cucu Ciputra, setidaknya terdapat dua nama yang mulai dikenal publik. Mereka adalah Nararya Ciputra Sastrawinata dan Cipta Ciputra Harun. Nama yang disebut pertama merupakan lulusan United World College of South East Asia (UWCSEA), Singapura pada 2004 dan Imperial College London di Inggris pada 2008. Ia bergabung dengan bisnis keluarga sejak 2009 dan langsung terlibat dalam proyek Citra Raya Tangerang.

Naraya juga ditugaskan untuk menangani proyek Grand Shenyang International City di Tiongkok selama 4,5 tahun dan terlibat negosiasi dengan pemerintah setempat. Selanjutnya, ia dipercaya  menjadi Manager Pengembangan Bisnis di CitraGarden City  Jakarta (2013-2014) dan setahun kemudian bergabung ke PT Ciputra Residence sebagai Manajer Umum Pengembangan Perusahaan dan kemudian dipromosikan menjadi direktur.

Seperti sang kakek, Naraya juga ternyata gemar mendirikan perusahaan lain di luar bisnis keluarga yang digelutinya. Salah satunya adalah Indogen Capital. Korporasi ini didirikannya bersama sejumlah rekan-rekannya, termasuk Leontinus Alpha Edison yang merupakan salah satu pendiri Tokopedia bersama William Tanuwijaya.  Saat ini Indogen Capital telah memiliki banyak rekanan, seperti Trevelio, Fastwork, Lunadorii, GoWork, FundPark, dan Venteny.

“Tantangan generasi ketiga saat ini memang mesti meet up the expectation dan make sure belajar mengikuti yang dimaui pasar kompetitor banyak dari asing. Rajin belajar aja. Selain tentunya flexible dan willing to change,” kata pria kelahiran 1986 itu kepada Bisnis.

Ciputra telah berpulang  pada 27 November 2019 pada usia 88 tahun di Singapura. Namun sentuhannya tak akan pudar dan masih tetap dirasakan melalui sejumlah perusahaan yang didirikan bersama rekan-rekan bisnis dan keluarganya.  Sudah saatnya Pak Ci beristirahat dan mengalihkan tongkat estafet ke generasi selanjutnya.

 

(Teguh Vicky Andrew\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar