Catatan Hukum 2019 dari Redaksi Law-Justice.co
Sekaratnya Penegakan dan Keadilan Hukum di Era Presiden Jokowi
Potret Suram Sekaratnya Penegakan Hukum di Indonesia di Era Presiden Jokowi (LensaIndonesia.com)
Jakarta, law-justice.co - Tahun 2019 adalah tahun suram sekaratnya penegakan hukum dan keadilan hukum. Pemerintahan Jokowi –Jusuf Kalla mengakhiri masa jabatannya untuk periode pertama sekaligus awal kepemimpinannya di periode kedua bersama KH. Ma’ruf Amin.
Di tahun 2019 agenda penegakan dan pembenahan hukum berada dalam realita yang jauh dari konsep cita-cita negara hukum. Pelaksanaan pemilihan anggota legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden menjadi momen penting karena sedikit banyak mempengaruhi kinerja Pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Berikut ini adalah catatan penting redaksi Law-Justice.co terkait dengan gambaran hukum dan penegakan hukum yang terjadi selama tahun 2019 atau masa transisi sebelum pemerintah baru yang terbentuk dari hasil pemilu serentak 2019 yang menjalankan tugasnya untuk periode berikutnya :
- Penegakan Hukum Kasus Pelanggaran HAM Jalan Ditempat.
Pada saat kampanye lima tahun yang lalu, Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus kasus pelanggaran HAM. Untuk itu Pemerintahnya telah menetapkan sembilan agenda pokok yang akan dia laksanakan saat terpilih. Beberapa kasus yang akan ia bongkar adalah kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talangsari 1989, Tanjung Priok 1984, hingga Tragedi 65.
Lima tahun sudah berlalu, dan kini Jokowi sudah memimpin lagi untuk periode kedua. Tapi sampai akhir tahun 2019 ini, janjinya dulu itu tidak ada satu pun yang rampung. Jokowi terbukti gagal melaksanakan 6 dari 17 program HAM saat sudah memimpin Indonesia selama lima tahun. Jokowi juga gagal menepati janji menghapus segala bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.
Janji Jokowi juga bukan hanya jalan di tempat, tapi bisa dikatakan mundur. alih-alih menuntaskan kasus HAM, pemerintahan Jokowi malah menambah panjang daftar pelanggaran HAM. Nawacita yang terkait dengan soal penegakan HAM dan hukum tidak dijalankan.Yang ada malah sebaliknya. Kasus pelanggaran HAM tanggal 21-23 Mei, 23-30 Oktober, dan Papua adalah salah satu diantaranya. Sembilan orang tewas saat terjadi kerusuhan di Jakarta, Mei lalu.
Empat orang di antaranya, kata polisi, tewas ditembus peluru tajam. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah LSM mengatakan “ada indikasi pelanggaran HAM” dalam penanganan demonstrasi 21-23 Mei. Demo itu sendiri adalah ekspresi atas ketidakpuasan terhadap hasil Pilpres 2019 yang memenangkan Jokowi. Kasus 23-30 Oktober hampir mirip.
Beberapa pemuda meninggal dunia setelah turut serta dalam aksi demonstrasi menentang berbagai kebijakan yang dianggap tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Bedanya, korban tidak hanya jatuh di Jakarta, tapi juga di kota lain. Dua kasus itu belum terbongkar sampai sekarang. Pelakunya masih gelap. Pun dengan kasus kerusuhan di Papua, yang salah satunya dipicu aksi rasisme warga dan aparat terhadap mahasiswa Papua yang tengah studi di Surabaya, pertengahan Agustus lalu.
Di era pemerintahan Jokowi aparat “makin represif.” Hasil penelitian Indonesian Legal Roundtable (ILR), menyebut indeks hukum dan HAM selama masa pemerintahan Jokowi lebih rendah dibanding masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Indeks hukum dan HAM Indonesia satu tahun sebelum Jokowi menjabat berada di angka 5,4. Tahun 2014, angkanya menurun menjadi 4,15 dan bahkan turun lagi setahun setelahnya, 3,82. Dua tahun berturut-turut memang kembali naik, tapi tetap di bawah era SBY: 4,25 (2016) dan 4,51 (2017).
Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar menegaskan penurunan ini adalah efek dari kebijakan pemerintah. “Aktor penurunan indeks HAM ini bukan masyarakat sipil, seperti konflik horizontal, tetapi oleh pemerintah sendiri. Jadi problem HAM-nya bukan lagi soal konflik horizontal, tetapi konflik vertikal, sebagaimana yang terjadi di Orde Baru,” kata Erwin saat dihubungi pers, Jumat (18/10/2019).
Menurutnya “selain ada gap antara Jokowi dengan yang di bawahnya” seperti Polri dan Kejaksaan, masalah lain adalah “Jokowi sebenarnya juga tak memiliki perhatian.” “Jadi,” katanya, “ketika ada problem di tingkat bawah, ya dia (Jokowi) menganggap itu bukan masalah dia, tapi masalah orang di bawahnya.” Erwin lantas menyimpulkan kalau isu HAM hanya “gimik politik.”
Dalam arti, isu ini hanya dipakai sebagai komoditas untuk menarik perhatian masyarakat alias para pemilih. Isu HAM hanya ditempel agar Jokowi kontras dengan lawan politiknya, Prabowo. Dan itu semakin kentara saat ini, ketika “terjadi kolaborasi antara Prabowo dan Jokowi (dalam konteks koalisi).” “HAM tidak pernah diletakkan sebagai dasar atau standar untuk sebuah kebijakan, tapi di bawah yang lainnya, dibandingkan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan lain-lain,” katanya.
- Pemberantasan Korupsi Makin Suram dan Koruptor Baru Terus Lahir
Sepanjang 2019, KPK telah melakukan sekurang kurangnya 20 operasi tangkap tangan (OTT). Dari jumlah OTT tersebut, didapati sejumlah bukti uang dari Rp 20 juta hingga yang terbesar Rp 8 miliar. Penangkapan melalui OTT ini dihasilkan pada periode akhir kepemimpinan KPK jilid 4 dengan Ketua Agus Rahardjo yang memulai kiprahnya di awal 2016.
Sejumlah kasus cukup mendapat sorotan publik karena di duga melibatkan lingkaran dalam pemegang kekuasaan. Yang paling anyar adalah kasus asuransi jiwasraya yang diduga melibatkan tokoh pejabat penting di Indonesia seperti Eric Thohir, Sri Mulyani dan lain lainnya. Bahkan santer berhembus isu bahwa kasus ini terkait dengan pengumpulan dana untuk pemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada pilpres yang lalu.
Sebagaimana diberitakan, pengelolaan perusahaan pelat merah PT Asuransi Jiwasraya (persero) tidak becus hingga gagal bayar atas klaim 17 ribu nasabahnya.Gagal bayar perusahaan ini berpotensi merugikan keuangan negara Rp 13,7 triliun per Agustus 2019. Nilai kerugian ini masih berpotensi bertambah dengan melibatkan 5,5 juta pemegang polis.
Merujuk pada pernyataan ini kasus gagal bayar perusahaan adalah bentuk pembiaran atau kesadaran yang lambat pemerintah atas manajemen yang buruk pada perusahaan. Dalam hal ini publik layak curiga atas indikasi praktik curang di tubuh Jiwasraya. Sangat mungkin atau patut dicurigai penggerogotan terhadap perusahaan dilakukan oleh aktor-aktor yang berlindung di balik agenda kekuasaan.
Karena itu, kasus ini harus diungkap seterang-terangnya di hadapan publik. KPK harus segera turun tangan untuk mengusut kasus ini. Namun sejauh ini KPK terkesan anteng anteng saja, oleh karena itu public tidak bisa berharap banyak kepada lembaga yang satu ini karena banyak PR lama kasus korupsi yang sudah terbukti terbengkalai karena tidak ditangani sebagaimana mestinya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 18 perkara korupsi kakap yang hingga kini belum dituntaskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada hal penyelesaian kasus korupsi ada batas kadaluwarsanya. Setiap perkara pidana akan dibatasi dengan kedaluwarsa. Kedaluwarsa tindak pidana korupsi mengacu pada Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP: “mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, masa kedaluwarsa adalah delapan belas tahun.Kasus yang semakin mendekati masa kedaluwarsa adalah perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Meski sudah ada satu terdakwa yang menerima vonis, tapi KPK masih perlu menindaklanjuti sejumlah poin dalam putusan hakim. Putusan vonis untuk mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung menyebutkan keterlibatan pihak-pihak lain yang merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Adanya penyebutan nama-nama lain seharusnya menjadi modal KPK untuk menindaklanjuti perkara ini tapi sampai saat ini belum ditindaklanjuti.
Berikut ini daftar 18 kasus korupsi yang belum dituntaskan oleh KPK:
- Suap perusahaan asal Inggris, Innospec ke pejabat Pertamina.
- Bailout Bank Century
- Korupsi Proyek pembangunan Hambalang.
- Korupsi Proyek Wisma Atlet Kementerian Pemuda dan Olahraga di Sumatera Selatan.
- Suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
- Korupsi Proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan.
- Korupsi Hibah Kereta Api dari Jepang di Kementerian Perhubungan.
- Korupsi Proyek Pengadaan Alat Kesehatan di Kementerian Kesehatan.
- Korupsi Pengadaan Simulator SIM di Dirlantas Polri.
- Korupsi Pembangunan proyek PLTU Tarahan pada 2004.
- “Rekening Gendut” oknum Jenderal Polisi.
- Kasus suap Bakamla.
- Suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Suap Rolls Royce PT Garuda Indonesia Airways.
- Korupsi BLBI.
- Korupsi Bank Century.
- Korupsi Pelindo II.
- Korupsi KTP Elektronik.
- Kasus mark up bahan mentah impor BBM
- Biaya cost recovery industri migas
Apa yang bisa dipahami dari data di atas? Keberhasilan KPK? Atau fakta bahwa korupsi masih menggurita? KPK memang berhasil dalam penindakkan. Pada waktu yang sama korupsi makin menggurita. Masih banyak sisa perkara kakap yang belum berhasil diselesaikan oleh KPK. Sementara itu tantangan ke depan untuk pemberantasan korupsi semakin berat karena adanya indikasi melemahnya komitmen untuk memberantas korupsi.
Memang pada periode kedua kepemimpinannya, Joko Widodo telah berjanji akan memprioritaskan penegakan hukum, yang disampaikan saat kampanye pemilihan presiden. Ia berjanji akan melakukanpenegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
Untuk menjawab tantangan kejahatan korupsi, Jokowi menekankan dengan tegas bahwa korupsi (termasuk kolusi, nepotisme, suap-menyuap, pungutan liar, dan pencucian uang) harus diberantas di segala lini. Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan terus diperkuat dan didukung tanpa kompromi. Bahkan Jokowi menekankan perlunya sinergi antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya, kepolisian serta kejaksaan.
Sayangnya, baru saja masyarakat dikejutkan oleh akrobat politik berupa revisi Undang-Undang KPK yang diduga kuat membawa misi pelemahan KPK. Sejak usul revisi itu disampaikan kepada publik, penolakan besar muncul dari masyarakat. Nyatanya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap pada pendiriannya untuk merevisi undang-undang itu. Jadi, masih samakah komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi?
- Penegakan Hukum dijadikan Alat untuk Pembungkaman Lawan lawan Politik
Muncul indikasi bahwa penegakan hukum dijadikan alat untuk membungkam lawan lawan politik yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Hal ini terlihat di antaranya melalui penggunaan pasal makar terhadap anggota atau tokoh masyarakat yang berbeda sikap dengan pemerintah. Mereka yang dianggap tidak sejalan dengan pemikiran pemerintah dianggap sebagai kelompok radikal dan intoleran.
Salah satu contohnya terlihat dalam cara pemerintah menangani radikalisme. hampir semua kebijakan diarahkan pada misi mencegah dan memberantas radikalisme. Baik kebijakan yang menyangkut tatanan masyarakat, hubungan antarindividu, serta hubungan individu dan negara.Sebelas kementerian dan lembaga bahkan telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme di lingkungan aparatur sipil negara (ASN).
Padahal pemerintah saat ini belum memiliki definisi yang konkret ihwal apa itu radikalisme. Selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan memunculkan kecurigaan bahwa SKB itu akan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam ASN yang kritis terhadap pemerintah.
Penggunaan aparat hukum untuk membendung kebebasan berpendapat juga terjadi dalam sejumlah peristiwa di tahun 2019. Pada Maret 2019, dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet ditangkap oleh kepolisian karena menyanyikan lagu yang dianggap menyinggung institusi Tentara Nasional Indonesia dalam orasinya di Aksi Kamisan. Gejala pembungkaman kebebasan berpendapat, kembali terlihat ketika Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (ketika itu) Wiranto membentuk Tim Asistensi Hukum pada Mei 2019.
Tim itu ditugasi meneliti ucapan, tindakan, dan pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang dianggap melanggar hukum.Keberadaan tim itu bukan saja tidak memiliki pertimbangan hukum kuat. Namun, keberadaannya juga menimbulkan ketidakpastian hukum, melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan pers.
Kondisi penegakan hukum era Pemerintahan Jokowi selama tahun 2019 ini membuat prihatin banyak pihak. Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai selama setahun terakhir proses penegakan hukum digunakan sebagai alat kriminalisasi, diskriminasi, melanggar HAM dan merusak demokrasi. Menurutnya, ini dapat dilihat dari maraknya kriminalisasi yang menjerat pihak yang kritis atau tidak sependapat dengan kebijakan atau pandangan pemerintah.
Isnur mencontohkan kasus terbaru, korban meninggal pasca demonstrasi di DPR belum lama ini, Akbar Alamsyah. Sebelum meninggal, Akbar ditemukan 10 hari setelah mengalami koma. Dia sempat mendapat perawatan intensif di RS Pelni, RS Polri, terakhir RSPAD Gatot Subroto. Menurut Isnur, bagian tulang tengkorak Akbar hancur, begitu pula ginjalnya. Ironisnya, kepolisian menetapkan Akbar sebagai tersangka pada 10 Oktober 2019 dan dia dimakamkan 11 Oktober 2019.
Selain itu, ada Dandhy Dwi Laksono, ditetapkan tersangka oleh kepolisian karena kritikannya di media sosial dan Ananda Badudu, dijemput aparat kepolisian karena dianggap menyalurkan dana untuk demonstrasi di DPR. Isnur menilai peristiwa seperti ini terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Tahun 2018, LBH menangani 22 kasus kriminalisasi yang menjerat masyarakat karena mempertahankan ruang hidupnya dan berpandangan kritis.
Hal ini sejalan dengan pendapat Ombudsman, yang menyatakan bahwa persoalan penanganan demonstrasi di DPR itu merupakan masalah kelembagaan, bukan oknum. Berbagai prosedur dan peraturan terkait penanganan demonstrasi tidak pernah dievaluasi bagaimana implementasinya di lapangan.
Sepertinya pada lima tahun kedepan, dunia penegakan hukum masih akan diwarnai oleh penegakan hukum yang dijadikan sebagai alat untuk mengkriminalkan warga, diskriminasi, melanggar HAM, dan merusak demokrasi khususnya yang dilakukan oleh aparat kepolisian negara. Lembaga penegak hukum yang disebut terakhir ini dinilai masyarakat mempunyai kecenderungan untuk bertindak tidak adil dalam menangani kasus kasus tertentu. Ia terlihat sangat galak waktu menangani demonstrasi di Jakarta tapi lemah lunglai ketika ada di Papua .
- Mafia Peradilan Masih Merajalela
Tidak jauh berbeda dengan mafia dalam bidang lainnya, mafia peradilan merupakan kegiatan atau kejahatan terselubung. Penampakannya seperti ada dan tiada, ibarat kentut, Ia bisa dicium namun sulit untuk diraba. Walaupun secara teori dan beberapa kasus dapat diuraikan mafia peradilan sebagai kekuatan terselubung yang dilakukan illegal actor dari aparat penegak hukum secara konspiratif dan sistematis. ”kasih uang, habis perkara!” (KUHP) telah lama menjadi plesetan populer atas kondisi tersebut .
Dalam pola dan aksinya, para mafioso hukum tersebut bergerak pada hampir semua tahapan peradilan mulai dari penyelidikan hingga putusan di pada Mahkamah Agung. Misalnya pada tahap tuntutan dan putusan pidana, tinggi rendahnya bisa dinegosiasikan berdasarkan besaran rente. Proses tersebut mereka lakukan diantaranya dengan menggunakan jaringan birokrasi peradilan atau orang lain sebagai makelar kasus (markus).
Maraknya mafia peradilan saat ini sudah pada titik nadir dan sangat memprihatinkan. Pengadilan yang seharusnya tempat mencari keadilan dari para justiabbelen, dalam realitasnya menjadi tempat transaksi perkara dari para mafioso hukum. Rendahnya kualitas khususnya integritas aparat penegak hukum ini merupakan penyebab utama buruknya penegakan hukum dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Dalam hubungannnya dengan pemberantasan korupsi, keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor merupakan jawaban atau antitesis dari kondisi tersebut di atas. Kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari sebuah ironi yakni aparat penegak hukum (law enforcement agencies) yang seharusnya menegakkan hukum (memberantas korupsi) tetapi terlibat dalam praktek mafia peradilan atau judicial corruption. Padahal idealnya penegakan hukum kasus korupsi harus berbanding lurus dengan peradilan yang bersih, jujur dan akuntabel.
Dalam konteks struktur, lemahnya pengawasan internal dan pola rekruitmen merupakan faktor terpenting terjadinya mafia peradilan atau judicial corruption. Proses rekruitmen yang sarat KKN dan sebatas panggilan pekerjaan membuat aparat tidak berkarakter serta jauh dari kebanggaan officium nobile. Demikian juga halnya dengan tidak berjalannya punishment dan reward bagi mereka yang melanggar kode etik dan code of conduct menjadikan mafia peradilan ibarat lingkaran setan yang tidak pernah terputus dan tak pernah terselesaikan.
Pakar hukum dari Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis pun menilai upaya pemberantasan mafia hukum dan mafia peradilan hingga kini belum dilakukan secara komprehensif.Oleh karena itu Margarito pun mendesak Presiden Jokowi agar lebih serius dalam agenda pemberantasan mafia hukum dan peradilan. “Yang saya tawarkan, dengan segala keterbatasan, ambillah langkah yang dapat memberikan dampak positif agar mafia ini hilang.
Harus ada gebrakan nyata,” katanya. Dia percaya orang-orang di lingakaran Istana pasti mampu merumuskan langkah terbaik untuk secara komprehensif memberantas jaringan mafia hukum dan peradilan. “Pasti mereka mampu memetakan siapa cukong-cukong yang terlibat dalam jaringan mafia hukum dan peradilan tersebut,” tegasnya.
Sementara itu Lalola Easter, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai sampai saat ini penegakan hukum belum menjadi salah satu fokus pemerintahan Jokowi. “Seperti pada institusi KPK, sebetulnya saya melihat tidak ada komitmen yang serius dari Presiden untuk melindungi KPK, terutama dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi,” katanya. Lalola mengakui, di awal pemerintahan, Jokowi-JK terlihat punya inisiatif dalam pemberantasan korupsi. “Tetapi semakin ke sini, semakin sulit terlihat aksi pemberantasan korupsi itu.”“Kita harus akui mafia hukum dan peradilan itu masih ada sampai saat ini, meskipun sudah banyak kasus dan pelakunya ditangkapi,” katanya kepada pers, Kamis (7/2/2019).
Memang harus diakui ikhtiar untuk mereposisi lembaga peradilan agar terbebas dari mafia peradilan tidak cukup dengan menunggu politicall will pemerintah melainkan membutuhkan peran serta masyarakat (publik) terutama dalam bentuk eksternal control. Opini publik perlu diarahakan pada upaya menjadikan mafia peradilan sebagai public enemy dan mendorong terus gerakan anti mafia peradilan sebagai bentuk gerakan sosial.
Apalagi berkaitan dengan pemberantasan korupsi dan access to justice, menjadi penting menjadikan gerakan anti mafia peradilan sebagai perwujudan keadilan sosial (sosial justice). Tidak terekcuali dukungan kepada KPK yang sementara ini berupaya menangkap “tikus” di kandang “buaya”.
- Ancaman Narkoba dan Nasib Generasi Muda
Ada sekitar 15 ribu nyawa melayang karena narkoba. Hitung berapa orang perharinya? Dari hari ke hari, jumlah pengguna narkoba terus bertambah.Perang terhadap narkoba berulang kali ditegaskan oleh Presiden Jokowi. Mantan Gubernur Jakarta tersebut bahkan bersikukuh guna menerapkan hukuman mati bagi para bandar narkoba. Walau untuk itu, Jokowi menghadapi berbagai protes dari beberapa kepala negara dunia. Juga dari para aktivis HAM baik dari dalam maupun luar negeri.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso nampak sangat getol memberantas peredaran narkoba. Dibawah komando Budi Waseso, BNN terlihat ganas. Namun Budi Waseso kemudian diganti oleh IRJEN Heru Winarko.Entah ada hubungannya atau tidak, sejak pergantian kepemimpinan BNN itu sepertinya narkoba semakin marak beredar ditahun 2019.
Hal ini diakui sendiri oleh Kepala BNN yang baru Komjen Pol Heru Winarko. Beliau menyebutkan, ada peningkatan peredaran narkoba selama tahun 2019 dari tahun sebelumnya sebesar 0,03 persen. Pengguna paling banyak berusia 15 hingga 65 tahun dan menembus angka tiga juta orang. "Jadi narkoba ini bukan hanya di Indonesia ya, di seluruh dunia hampir sama. Tapi di Indonesia kita meningkat 0,03 persen. Lebih kurang jumlahnya 3.600.000 yang menggunakan (narkoba) di Indonesia ini," kata Heru di Kantor Kemenko Polhukam, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2019).
Upaya untuk memerangi narkotika sudah dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui penegakan hukum. Namun upaya ini belum optimal dijalankan karena ditemukan beberapa kendala dilapangan salah satunya kendala yuridis yaitu belum direvisinya Undang Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Revisi tersebut diperlukan karena payung hukum yang berlaku saat ini belum mampu menekan peredaran barang “haram” tersebut. Salah satu poin yang perlu direvisi yakni Pasal 112 UU Narkotika.
Pemerintah dan DPR perlu menjelaskan lebih rinci dalam pasal tersebut. Sebab, pasal tersebut tidak membedakan antara penyalah guna dengan pengedar atau bandar narkotika.Faktanya, penegak hukum seringkali menggunakan pasal tersebut untuk menjerat penyalah guna narkotika. Padahal, seharusnya pasal tersebut hanya berlaku bagi pengedar atau bandar narkotika.
Sebab, Pasal 112 UU Narkotika memuat frasa “memiliki, menyimpan, menguasai” narkotika. Karenanya, penyalah guna narkotika lebih tepat dijerat dengan Pasal 127 UU Narkotika. “Keberadaan unsur ‘memiliki, menyimpan, menguasai’ penyalah guna akan mudah dijerat pidana penjara. Sebab, secara otomatis penyalah guna pasti memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika. Meski unsur delik itu tidak memuat unsur mens area yaitu tujuan atau maksud jahat dari kepemilikan narkotika tersebut.
Selengkapnya, Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.
Sedangkan, Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang penyalah guna narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Kemudian, pengguna narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Terakhir, pengguna narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun.
Kemudian, Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan jika penyalah guna narkoba terbukti hanya menjadi korban, maka individu terkait wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sesuai isi dari undang-undang. Bila membandingkan pasal-pasal tersebut, seharusnya terdapat perlakuan berbeda antara pengedar dan penyalah guna narkotika. Sayangnya, penegak hukum lebih banyak menjerat Pasal 112 terhadap penyalah guna karena lebih mudah pembuktiannya.
Kondisi tersebut berakibat penyalah guna narkotika tidak memiliki kesempatan memulihkan ketergantungannya. Dengan tidak pulihnya ketergantungan tersebut, berpotensi penyalah guna menggunakan/memakai narkotika kembali di dalam penjara. Akibatnya, praktik jual beli narkotika semakin subur, bahkan di dalam penjara sekalipun.Mereka (penyalahguna) jadi naik kelas menjadi pengedar. Masyarakat juga sudah tahu bahwa ada peredaran narkotik di dalam penjara. Ini terjadi karena penanganannya yang keliru.
Selain itu, UU Narkotika lebih mengedepankan penjatuhan sanksi pidana penjara yang menimbulkan permasalahan lain yaitu daya tampung penjara yang saat ini sudah melebihi kapasitas (over kapasitas). Penjara yang penuh menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan bagi warga binaan dan petugas penjara. Selain itu, sesaknya penjara juga berpotensi tingginya konflik di dalam penjara.
Kiranya kepada penegak hukum harus lebih mengedepankan proses rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika dibanding penjatuhan sanksi pidana. Seperti halnya yang terjadi di negara lain yang lebih mengedepankan proses rehabilitasi justru mampu menekan peredaran narkotika.Rehabilitasi itu bukan pengurangan hukuman, justru itu perlakuan yang lebih tepat. Negara lain seperti Portugal yang lebih mengedepankan rehabilitasi berhasil menekan peredaran narkotika di negaranya.Dengan demikian pemerintah dan DPR perlu memberi penegasan dalam membedakan antara pengedar atau bandar dengan penyalah gunaan narkoba.
- Maraknya Berbagai Bentuk Penyelundupan
Sepanjang 2019, kasus penyelundupan mobil dan motor mewah di Indonesia mengalami lonjakan.Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jumlah kasus penyelundupan mobil selama tahun 2019 mengalami kenaikan tajam.Hingga Desember 2019, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menangani 57 kasus penyelundupan 84 unit mobil mewah beragam merek.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 2018 saat Ditjen Bea dan Cukai membongkar lima kasus penyelundupan tujuh buah mobil."Total kerugian dari penyelundupan mobil mewah ini sebesar Rp315,9 miliar," katanya saat ditemui di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada Selasa (17/12/2019). Selain mobil dan motor, kasus penyelundupan satwa juga terjadi sepanjang 2019. Sejumlah kasus penyelundupan marak ditemukan. Satwa yang diselundupkan oleh okum tak bertanggung jawab tersebut beragam jenisnya mulai dari orang ngutan Kalimantan, komodo, ayam aduan, burung langka serta satwa langka lainnya.
Selain itu komoditas lain yang mendapatkan perhatian karena penyelundupan adalah penyelundupan benih lobser (BL) dari Indonesia ke luar negeri khususnya Vietnam.Tidak dipungkiri, karena Vietnam dikenal sebagai negara produsen penghasil lobsterPemerintah pun berusaha untuk menghentikan penyelundupan BL demi meningkatkan produksi lobster nasional. Dari awal 2019 sampai 12 Juli 2019, tercatat ada 39 kasus penyelundupan berhasil digagalkan, yang terdiri dari 3.163.994 ekor BL senilai Rp474,599 miliar.
Diantara kasus penyelundupan yang paling menghebohkan selama tahun 2019 adalah penyeludupan Harley dan sepeda Brompton melalui pesawat Garuda Indonesia. Menteri BUMN Erick Thohir akhirnya memecat Dirut Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara. Indonesia Police Watch (IPW) meminta polisi tidak tinggal diam dan mengusut tuntas kasus ini karena merugikan negara."Dirut PT Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra (Ari Askhara) tak cukup hanya dipecat dari jabatannya.
Secara keseluruhan penegakan hukum penyeludupan barang dan manusia dinilai masih lemah sehingga kejahatan ini belum bisa di tuntaskan. Bisa jadi karena lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan kejahatan penyeludupan terus berlangsung. Bahkan aksi penyeleundupan ini disinyalir menjadi sumber pendapatan illegal bagi oknum aparat penegak hukum yang selama ini merasa di untungkan dengan maraknya penyelundupan.
7. Demi UU Sapu Jagat "Omnibus Law" Semua Diterabas
Sikap pemerintah Jokowi yang mengusung Omnibus Law demi lancarnya arus investasi asing harus diwaspadai. Ada 82 UU yang dihapus begitu saja demi omnibus law. RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Presiden meminta kepada Ketua DPR Puan Maharani agar pembahasan omnibus law selesai dalam waktu tiga bulan.
Padahal untuk membuat sebuah UU ada aturan main dan kajian ilmiah serta naskah akademis yang perlu waktu bertahun-tahun melakukan kajiannya. Ini hanya dalam waktu tiga bulan semuanya harus sudah beres. Luar biasa gaya salesman Jokowi menjual negara demi masuknya target investasi asing. Hukum dan aturan main dibuat semudah mungkin tanpa ada kontrol yang jelas dan terukur.
Menyikapi buruknya kinerja pemerintah Jokowi dalam esensi penegakan hukum, redaksi law-justice.co memberi resultante sebagai berikut;
1. Menolak keras sikap elit membangun kekuasaan gaya mafia yang sangat oligarkis dan menyuburkan bibit dinasti politik. Sikap ini selain tidak sesuai dengan semangat reformasi, juga bertentangan dengan prinsip demokrasi yang memberikan ruang luas bagi seluruh rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik.
2. Meminta kepada DPR periode 2019–2024 bersama pemerintah untuk komit melakukan pembangunan hukum dengan desain yang berorientasi bagi terwujudnya masyarakat yang berdaulat, adil, dan makmur. Penyusunan Prolegnas 2020-2024 harus dijadikan sebagai momentum untuk membuktikan bahwa pembangunan hukum ke depan memiliki desain yang matang, bukan sekedar karena kebutuhan pragmatisme sesaat sekelompok elit.3. Meminta kepada pemerintah dan DPR untuk serius menjalankan agenda pemberantasan korupsi yang sudah semakin akut serta menolak segala bentuk pelemahan dan intervensi terhadap independensi KPK, termasuk memaksakan kedudukan KPK berada dibawah komando Presiden.4. Mendesak kehadiran negara dalam penanganan konflik agraria dan perburuhan dengan tetap mengedepankan hak dan kepentingan masyarakat banyak.5. Menolak rencana sebagian elit untuk melakukan amandemen UUD RI Tahun 1945 yang berorientasi pendek dan pragmatis serta bagi-bagi kekuasaan.
6. Untuk pelanggaran HAM, alih-alih terjadi penuntasan pengungkapan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, tahun 2019 justru menambah sejarah kelam pelanggaran HAM. Beberapa contoh pelanggaran HAM seperti kekerasan aparat dalam penanganan aksi demontrasi, penguasaan lahan karena alasan pembangunan, tindakan rasisme sekelompok masyarakat, pelarangan ibadah oleh sekelompok orang, hingga pelarangan ceramah dan diskusi. Mendesak pemerintah untuk secara serius menyelesaikan pelanggaran HAM baik di masa lalu maupun yang baru terjadi tanpa syarat dalam perspektif korban.
7. Disisi lain kasus window dressing di asuransi Bumiputera dan Jiwasraya yang sudah lama ada, malah rejim Jokowi menyalahkan pemerintahan sebelumnya. Rejim hukum Jokowi harus bertanggungjawab menyelesaikannya. Begitu juga kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, tidak cukup hanya menangkap aktor lapangannya tapi juga aktor intelektual dan dalang sebenarnya. Kalau semua kasus besar ini hanya jadi lakon drama basi penegakan hukum, maka jangan salahkan rakyat jika terjadi krisis kepercayaan dan aksi main hakim sendiri dari rakyat yang tertindas.
Komentar