Sumanto Al Qurtuby:

Bedanya Bahasa Al-Quran dan Bahasa Arab

Minggu, 22/12/2019 00:01 WIB
Ilustrasi (iStock)

Ilustrasi (iStock)

[INTRO]

Sebagian besar umat Islam di Indonesia tidak membedakan atau tidak bisa membedakan antara "bahasa Al-Qur`an" dan "bahasa Arab." Bagi mereka, karena Al-Qur`an yang mereka sucikan menggunakan aksara dan bahasa Arab, maka aksara dan bahasa Arab menempati posisi spesial, dan bahkan ikut-ikutan disucikan.

Itulah sebabnya kenapa (sebagian) mereka sering (atau selalu) emosi kalau melihat huruf Arab di tempat-tempat yang dianggap tak pantas untuk menulis dengan aksara Arab: toilet, bokong, kutang, cawet, dsb. Atau, mereka begitu terkesima, terpesona dan mengamini kalau ada orang yang ngomong atau bahkan ngomel dengan bahasa Arab lantaran dianggap sedang berdoa atau mengaji Al-Qur`an.

Bagaimana dengan masyarakat Arab? Masyarakat Arab, yang Muslim khususnya, mayoritas tentu saja bisa membedakan mana bahasa Al-Qur`an dan mana bahasa Arab non-Al-Qur`an. Bahasa dan aksara Al-Qur`an memang Arab tetapi tidak semua aksara atau bahasa Arab adalah Al-Qur`an. Ayat-ayat Al-Qur`an tentu saja tidak boleh ditulis di sembarang tempat. Tetapi bahasa Arab boleh (misalnya untuk tato di badan, perintah menjaga kebersihan di toilet, tulisan di daleman, dsb).

Apa perbedaan antara bahasa atau aksara yang dipakai dalam Al-Qur`an dengan bahasa Arab secara umum. Perbedaannya adalah Al-Qur`an menggunakan bahasa Arab klasik (dikenal dengan sebutan "fusha" yang artinya "murni" atau "asli", atau kadang disebut lengkap: "al-lughat al-arabiyyah al-fusha al-turatsiyah" yang umum dipakai di kalangan masyarakat Arab di Jazirah Arabia dan sekitarnya kira-kira pada abad 7-9 M. Menurut para pakar bahasa, bahasa Arab klasik ini dipengaruhi oleh sejumlah bahasa yang lebih tua: Ibrani, Aram, Ugari, Phoeni, dlsb.

Bahasa Arab klasik sebagian masih eksis hingga kini, sebagian lagi punah, sebagian mengalami kehilangan atau pergeseran makna, sebagian tidak dipakai dalam keseharian dan hanya ada di tulisan atau dalam konteks atau situasi tertentu (misalnya ritual keagamaan).

Bahasa Arab yang dipakai oleh masyarakat Arab kontemporer beraneka ragam. Ada bahasa Arab standar modern yang digunakan di dunia akademik, media, forum formal, dlsb. Ada bahasa Arab kolokial atau bahasa Arab pasaran (amiyyah) yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Ada pula bahasa Arab slank.

Bahasa Arab kontemporer dipengaruhi oleh beragam bahasa, khususnya Inggris, akibat serbuan westernisasi, internetisasi, dan globalisasi yang semakin mengglobal. Pula, lantaran tidak menemukan padanannya dalam bahasa Arab lokal, akhirnya banyak bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, yang "diarabkan" atau mengalami proses Arabisasi. Misalnya kata "professor" menjadi "burufisur"; doctor menjadi "duktur"; "democracy" jadi "dimuqaratiyah"; "anthropology" jadi "anturufulujiyah"; computer jadi "kumbiyutur"; robot jadi "rubut", jengkol jadi "jungqul", dsb).

Karena masyarakat Arab sangat plural dan kompleks, maka dialek bahasa Arab pun ikut-ikutan kompleks, tergantung daerah. Masing-masing daerah memiliki karakter dan dialek sendiri-sendiri. Misalnya, bahasa Arab yang digunakan oleh masyarakat Arab Mesir dan Afrika Utara berbeda dengan Arab Teluk, Syam (Yordania, Palestina, Suriah, dlsb), Irak, dlsb.

Bahkan di Arab Saudi ada suku Arab bernama "Al-Faifa" yang mengembangkan jenis bahasa Arab yang unik, yang saking uniknya masyarakat Saudi sendiri tidak memahaminya. Suku Al-Faifa ini tinggal di dataran pegunungan terisolir di bagian selatan Arab Saudi yang nyaris tak terjamah oleh peradaban, teknologi, dan modernisasi karena berada di daerah yang medannya supersulit.

Lalu, apakah bahasa Arab di Timur Tengah hanya dipraktikkan oleh umat Arab Muslim saja? Tentu saja tidak. Masyarakat Arab Kristen dan agama non-Islam lain juga menggunakan bahasa Arab. Bagi umat Arab Kristen, khotbah dan ritual keagamaan mereka di gereja juga memakai Bahasa Arab, Kitab Injil mereka juga ditulis dengan aksara Arab. Ya iyalah pakai bahasa & aksara Arab. Masak pakai bahasa Manado, ngana kepriben sih cuk?

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

Sumanto Al Qurtuby, Antropolog Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

 

 

 
 

 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar