Ini Deretan Asuransi Jiwa yang Gagal Bayar selain Jiwasraya

Jum'at, 20/12/2019 10:24 WIB
Jiwasraya (Gesuri)

Jiwasraya (Gesuri)

Jakarta, law-justice.co - Jagat perasuransian baru-baru ini terguncang akibat kasus gagal bayar klaim dana nasabah pada Asuransi Jiwasraya. Hal ini mencoreng nama baik dunia perasuransian dalam negeri sekaligus nama Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kesalahan dalam mengelola investasi membuat RBC (Risk Base Capital) Jiwasraya minus 800%, di bawah ketentuan minimum OJK sebesar 120%.

RBC merupakan rasio solvabilitas yang menunjukkan kesehatan keuangan perusahaan asuransi. Jika RBC kian besar, semakin sehat pula kondisi finansialnya.

Dalam Dokumen Penyelamatan Jiwasraya yang diperoleh CNBC Indonesia, untuk meningkatkan nilai RBC sampai 120%, maka jumlah dana yang dibutuhkan Jiwasraya sebesar Rp 32,89 triliun.

Jumlah tersebut terdiri dari kebutuhan pemenuhan RBC sebesar Rp 2,89 triliun dan adanya total ekuitas setelah terjadi impairment asset yakni sebesar Rp 30,13 triliun. Impairment asset adalah penurunan nilai aset karena nilai tercatat aset (carrying amount) melebihi nilai yang akan dipulihkan.

Hingga September 2019 total ekuitas negatif Jiwasraya sebesar Rp 23,92 triliun, sementara kewajiban mencapai Rp 49,60 triliun.

Melansir CNBCIndonesia.com, ternyata bukan hanya Jiwasraya yang mengalami gagal bayar klaim nasabah, ada tiga asuransi lainnya yang pernah mengalami hal tersebut, beberapa di antaranya:

1. Asuransi Jiwa Bakrie Life
Kasus gagal bayar perusahaan asuransi milik Grup Bakrie tersebut terjadi pada produk Diamond Investa yang berjenis unit link (asuransi dan investasi). Produk tersebut mengalami gagal bayar pada 2008 karena perusahaan terlalu agresif berinvestasi di pasar saham, pada masa itu saham-saham berguguran karena krisis global yang dipicu kasus subprime mortgage di Amerika Serikat (AS).

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), yang kini telah berubah nama menjadi OJK, menyatakan gagal bayar Diamond Investa mencapai Rp 500 miliar. Untuk menyelesaikan masalah ini dicapai kesepakatan Bakrie Life akan mencicil kewajiban.

Namun pencicilan yang dilakukan Bakrie Life bermasalah. Tidak semua pemegang polis dananya dikembalikan hingga akhirnya pada 2016, OJK mencabut izin operasional Bakrie Life.

Pada bulan September lalu Kuasa Hukum para Nasabah Korban Bakrie Life, Jimmy Theja SH, MBA menyampaikan permohonan langsung kepada Kapolri dan Kabareskrim agar memberikan atensi khusus terhadap nasib para pemegang polis Bakrie Life.

"Kami sudah ditelantarkan selama 11 tahun dengan dampak sangat massive di mana korban Bakrie Life yang tersebar hampir di seluruh Indonesia ada yang depresi, stroke, meninggal, gagal studi, cerai," terang Jimmy dalam pesan WhatsAppnya kepada CNBC Indonesia, Senin (9/9/2019).

2. Asuransi Bumi Asih Jaya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha di Bidang Asuransi atas PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (BAJ) pada 18 Oktober 2013 tidak mampu lagi untuk memenuhi ketentuan terkait dengan kesehatan keuangan (Risk Based Capital) dan rasio perimbangan investasi terhadap cadangan teknis dan utang klaim.

Dalam perjalannya setelah dicabut, Bumi Asih Jaya belum dapat melaksanakan kewajibannya kepada sehingga OJK mengajukan gugatan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

3. Asuransi Jiwa Bumiputera 1912
Permasalahan pada Bumiputera lebih terfokus kepada miss management atau kesalahan mengelola perusahaan. Pada Januari 2018 perusahaan mengaku mengalami keterlambatan pembayaran klaim dalam 1 - 2 bulan karena minimnya premi yang dihasilkan perusahaan.

Pada akhir tahun 2018, perusahaan mengalami permasalahan solvabilitas sebesar Rp20,72 triliun, dimana aset yang tercatat hanya sebesar Rp 10,279 triliun tetapi liabilitas perusahaan mencapai Rp31,008 triliun.

Hingga semester pertama 2019, rasio RBC Bumiputera minus 628,4%, sedangkan rasio kecukupan investasinya hanya sebesar 22,4%, dan rasio likuiditas 52,4%.

Kondisi Industri Asuransi di Indonesia tak ayal mengundang perhatian Bank Dunia (World Bank). Berdasarkan laporan Bank Dunia September 2019 yang berjudul "Global Economic Risks and Implications for Indonesia", sistem keuangan Indonesia dinilai tahan guncangan tetapi tetap memerlukan kebijakan secara khusus.

"Sistem Keuangan Indonesia memang cukup tahan terhadap gejolak. Namun ada dua area yang harus membutuhkan kebijakan khusus," tulis Bank Dunia.

Poin pertama adalah konglomerasi keuangan. Bank dunia mengungkapkan konglomerasi ini menguasai 88% aset perbankan. Bank Dunia menyarankan OJK agar membentuk divisi baru yang mengawasi konglomerasi keuangan. Bank Dunia juga meminta untuk melakukan harmonisasi aturan, pengawasan risiko dan rating.

Selain itu, poin kedua, Bank Dunia menyoroti dua masalah kewajiban Asuransi Bumiputera dan Jiwasraya.

"Dua perusahaan (Bumiputera dan Jiwasraya) belum dapat memenuhi kewajibannya. Perusahaan mungkin tidak likuid dan membutuhkan perhatian segera," tegas Bank Dunia.

Bank Dunia meminta langkah khusus. Misalnya, penilaian secara luas dan terperinci atas kesenjangan aktuaria. Setelah itu segera dilakukan pemulihan dan penyelesaian.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar