Jaringan Mafia Nikel, Nama Menteri Perdagangan Agus Ikut Terseret (Tulisan-2)

Modus Bancakan Menjarah Aset Antam

Jum'at, 13/12/2019 19:36 WIB
Gedung PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Foto:paper-peace.blogspot.com)

Gedung PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Foto:paper-peace.blogspot.com)

Jakarta, law-justice.co - Dugaan korupsi kerjasama antara PT Aneka Tambang (Persero) Tbk dengan PT Yudistira Bumi Bhakti dengan nilai kerugian sekitar Rp 3 triliun melibatkan jaringan kuat pemain tambang. Tak hanya itu, korupsi berjamaah itu secara sistematis diatur melalui mekanisme kerjasama penunjukan langsung.

Praktek korupsi di Antam menggunakan modus penggelembungan harga (mark up) dan proses lelang yang tidak sesuai kaidah pelaksanaan pengadaan barang/jasa instansi pemerintah. 

Kasus ini bermula dari kerjasama PT Antam dengan PT Yudistira Bumi Bhakti pada tahun 2001 di daerah Tanjung Buli, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.  Saat itu, PT. Yudistira Bumi Bhakti mendapat kontrak dari Antam untuk melakukan penambangan nikel selama 3,5 tahun senilai US$ 20 juta atau setara dengan Rp 280 miliar dengan kurs nilai tukar saat ini.

Dari dokumen yang didapat Law-Justice, kontrak itu berakhir pada pertengahan 2004, Antam kembali menunjuk PT Yudistira Bumi Bhakti untuk proyek yang sama selama tiga tahun senilai US$ 30 juta. Penunjukan langsung Antam kepada Yudistira Bumi Bhakti kembali dilakukan selama tiga tahun berikutnya dengan nilai kontrak US$ 85 juta selama dua tahun.

Kontrak kerja baru kembali diberikan kepada Yudistira Bumi Bhakti pada pertengahan 2010 dan terus diperpanjang hingga 2014 dengan nilai keseluruhan US$ 231,2 juta atau sekitar Rp 3 triliun.

Anehnya, semua kontrak kerjasama dari mulai Kontrak I hingga Kontrak III yang berakhir 13 Februari 2014, terjadi beberapa amandemen kontrak. Amandemen itu isinya perpanjangan kontrak yang memberikan keuntungan tidak wajar kepada PT Yudistira Bumi Bhakti.

Selain itu, tidak adanya dokumen Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang diterbitkan oleh PT Antam kepada PT Yudistira Bumi Bhakti diduga melanggar aturan Pasal 7 ayat 3 huruf (d) Keppres No.18 Tahun 2000 soal kewajiban panitia lelang atau pemberi kerja dalam hal ini PT Antam (Perseo) Tbk.

Skema kasus kerjasama PT Antam (Persero) Tbk dengan PT Yudistira Bumi Bhakti yang diduga merugikan negara Rp 3 triliun (Foto:Repro Dokumen/Law Justice)

Dalam dokumen itu sendiri menyebutkan, ada tiga direktur utama Antam yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi ini. Yaitu D.Aditya Sumanegara dan Alwinsyah Lubis. Ada pun pihak dari PT Yudistira Bumi Bhakti, tersebut nama Juandy Tanumihardja yang menjabat sebagai Direktur utama, Miming Leonardo sebagai Komisaris PT Yudistira Bumi Bhakti, Rafli Ananta Murad Koordinator PT YBB dan Yulius Isyudianto sebagai bekas pemilik PT Yudistira Bumi Bhakti. Ada juga nama Agus Suparmanto, pengendali dan pemilik PT Yudistira Bumi Bhakti yang sekarang ini menjabat sebagai Menteri Perdagangan di kabinet Presiden Joko Widodo.

Nama-nama tersebut sudah diperiksa sebagai saksi di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus. Namun dari nama di atas, hanya Agus Suparmanto yang tidak datang memenuhi panggilan Bareskrim Mabes Polri.

Ada Kekuasaan Dibalik PT Yudistira Bumi Bhakti

Persengkongkolan kerjasama itu dimulai dari penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara Direktur Utama PT Yudistira Bumi Bhakti, Yulius Isyudianto dengan Agus Suparmanto, pada Januari 2000. Keduanya sepakat, Julius Isyudianto sebagai pemilik PT. Yudhistira Bumi Bhakti (PT YBB) wajib mendapatkan tender proyek di PT Antam, sedangkan Agus Suparmanto menanggung seluruh biaya dari mulai proses memenangkan tender, biaya investasi, operasi hingga produksi.

Tidak itu saja, Yulius Isyudianto pun dijerat dengan perjanjian untuk menyerahkan kepengurusan PT. Yudhistira Bumi Bhakti (PT YBB) kepada Agus Suparmanto. Perjanjian ini berjalan mulus dengan iming-iming Yulius Isyudianto berhak memperoleh 30 persen dari keuntungan yang diperoleh PT YBB. Pasca perjanjian pelepasan perusahaan, Agus Suparmanto menerima hak pengelolaan PT YBB pada 2 Mei 2000.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Agus Suparmanto langsung menunjuk Juandy Tanumiharja sebagai Dirut PT YBB sekaligus pemegang saham 50 persen. Agus juga melibatkan nama Miming Leonardo sebagai komisaris yang menguasai saham sebesar 50 persen.

Kasak kusuk pun dimulai, tepat Jumat, 5 Mei 2000, PT YBB mengikuti tender proyek yang diadakan oleh PT Antam untuk pekerjaan Jasa Penambangan dan Pengangkutan/Pemuatan Bijih Nikel ke Kapal Ekspor. Setelah proses tender, persisnya 6 September 2000, PT YBB dinyatakan sebagai pemenang tender proyek di PT Antam. Selanjutnya, PT YBB berhasil mendapatkan kontrak kerja yang sama hingga tahun 2014. Proses ini diduga melalui proses penunjukan langsung.

Perusahaan PT Yudistira Bumi Bhakti awalnya dipimpin oleh Julius Isyudianto sebagai Direktur Utama. Nama Julius Isyudianto ini dikenal sudah malang melintang di perusahaan tambang, gas dan energi. Diduga perusahaan ini hanya menjadi perusahaan bancakan untuk mengeruk keuangan PT Antam.

Banyak laporan menyebutkan, pengelola dan pemegang saham PT Yudhistira terkait dengan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Julius Isyudianto, Direktur Utama PT Yudhistira, juga menjabat sebagai Direktur PT Yudhistira Hana Perkasa. Di perusahaan terakhir, nama politikus Partai Banteng, Pramono Anung, sempat menjadi komisaris pada 1996–1999.

Ilustrasi penghitungan kerugian negara dari kerjasama PT Aneka Tambang Tbk dengan PT Yudistira Bumi Bhakti (Foto:repro/law justice)

Mengutip Sindo Weekly Magazine, Yulius juga tercatat sebagai Wakil Presiden PT Syabas Energy. Dalam situs perusahaan itu, nama politikus PDI-P, Syarif Bastaman, tercantum sebagai presidennya. Lalu, mengutip katadata.co.id, Yulius pernah menjabat sebagai Direktur PT Alam Karya Unggul, sebuah perusahaan kemasan plastik. perusahaan ini menjadi bagian dari Grup Argo Manunggal sejak 2011. Menurut situs tersebut, banyak eksekutif PT Cakra Pratama Energi yang juga menjadi eksekutif di anak perusahaan Argo Manunggal. Agro adalah kelompok bisnis milik taipan The Ning King, orang terkaya ke-46 di Indonesia.

Penelusuran Law Justice, Julius pernah melakukan gugatan hukum kepada PT Mandira Hana Persada terkait jual beli saham perusahaan itu dengan nilai Rp 9 miliar pada tahun 2012. Dalam gugatan itu, Julius menggugat juga Syarif Bastaman sebagai komisaris utama yang juga tokoh partai berlambang banteng.

Nama Julius Isyudianto juga masuk dalam persoalan blok Mahakam. Melalui perusahaan PT Yudistira Bumi Energi (YBM), siap menggelontorakan anggaran hingga 600 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar 6 triliun rupiah untuk membeli saham dari Total E&P Indonesie. Jurus skema keuangan yang diusungnya adalah pinjam dari lembaga keuangan Morgan Stanley.

PT YBE yang dikendalikan oleh Yulius Isyudianto sudah lobi-lobi ke Morgan Stanley. Yulius yang tercatat juga sebagai komisaris PT Ramadina Mitra Buana, perusahaan pertambangan Migas juga, langsung dipercaya oleh Pemprov Kaltim untuk menangani Blok Mahakam.

Pantas saja, jika banyak pihak yang tutup mulut soal kasus ini. Salah satu pengusaha tambang nikel yang ditemui jurnalis Law Justice pun mengakui hal yang sama. Adanya "orang kuat" dibalik PT Yudistira Bumi Bhakti. Makanya tak heran, jika perusahaan itu mendapatkan kontrak kerja selama belasan tahun dari PT Aneka Tambang.

Kata dia, PT YBB diyakini sudah bubar setelah banyak mengeruk uang dari PT Antam. Dia juga menjelaskan siapa-siapa saja orang yang berada di belakang PT YBB. Menurutnya, dibalik perusahaan ini terdapat banyak orang yang berpengaruh.
“Janganlah, cukup tidak usah cari-cari orangnya. Kecuali kalau kamu dikasih mobil. Tetapi menurut saya, jangan,” kata dia saking takutnya dengan pihak-pihak yang berada di belakang PT YBB ini.

Menurut dia PT YBB memang sudah menjadi rekan Antam sejak lama, dan sudah mendapatkan keuntungan yang banyak. Apalagi kata dia orang dibelakangnya memiliki pengaruh kuat dan berkuasa.

Namun, menurutnya, uang yang didapat PT YBB juga tidak semuanya mengalir ke kantong sendiri. Karena untuk memuluskan kontrak dengan Antam dukungan Senayan sangat diperlukan, "uangnya banyak yang lari ke Senayan itu. Oh, senayan itu orangnya ngeri-ngeri”. katanya.

 Gerakan Tutup Mulut

Anehnya, beberapa tahun berselang, kasus ini tidak kunjung tuntas. Berharap ada P21 Bahkan terkesan mengendap di Bareskrim Polri. AKBP Roma Hutajulu yang waktu itu menjabat sebagai Kasubdit III Tindak Pidana Pencucian Uangan (TPPU) yang ikut menyidik kasus ini mengaku tidak mengetahui kelanjutan kasus ini. Dikonfirmasi jurnalis Law Justice, Bona Siahaan, Roma meminta untuk menanyakan langsung ke Bareskrim Polri.

"Saya sudah tidak menjabat Kasubdit, saya sedang pendidikan di Bandung, saya hanya 6 bulan menjabat sebagai Kasubdit III TPPU. Sudah 3 tahun lalu saya dimutasi. Mohon tanyakan ke Bareskrim Polri" katanya saat dikonfirmasi.

Dalam surat pemanggilan saksi tertanggal 5 Desember 2016, tercatat nama Rafli Ananta Murad yang dipanggil untuk memberikan keterangan dan klarifikasi terkait persoalan kasus ini. Surat yang ditandatangani langsung oleh AKBP Roma Hutajulu itu berdasarkan pada surat pelaporan dengan nomor LI/127/X/2016/Dit Tipideksus dengan tanggal pelaporan 26 Oktober 2016.

Sementara itu, manajemen PT Aneka Tambang (Persero) Tbk memilih bungkam terkait masalah ini. Law-Justice beberapa kali mendatangi kantor PT Antam untuk melakukan konfirmasi persoalan ini. Namun hingga berita ini diturunkan tidak ada jawaban resmi.

Sedangkan, nama-nama yang diduga terlibat seperti bekas Direktur Utama PT Antam D.Aditya Sumanegara dan Alwinsyah Lubis belum berhasil dihubungi.

Ada pun pihak dari nama Juandy Tanumihardja yang menjabat sebagai Direktur utama, Miming Leonardo sebagai Komisaris PT Yudistira Bumi Bhakti, Rafli Ananta Murad Koordinator PT YBB dan Yulius Isyudianto sebagai bekas pemilik PT Yudistira Bumi Bhakti tidak berhasil dihubungi.


Siapa Agus Suparmanto?

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Agus Suparmanto terpilih menjadi Menteri Perdagangan dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Agus resmi ditunjuk Jokowi sebagai Menteri Perdagangan menggantikan politisi Nasdem Enggartiasto Lukita. Sebagai pengusaha nama Agus hanya terekam sebagai Direktur Utama PT Galangan Manggar Biliton (GMB). Adapun perusahaan tersebut merupakan penggarap proyek pembangunan dok kapal di Pelabuhan Sungai Manggar, Kabupaten Belitung Timur. Dalam proyek ini, GMB menggandeng anak usaha PT Timah Tbk.

Dalam dokumen yang terima Law Justice, peran Agus Suparmanto adalah pengendali perusahaan PT Yudistira Bumi Bhakti menggelontorkan uang sekitar 6 juta dollar Amerika Serikat untuk pendanaan proyek kerjasama PT YBB dengan PT Aneka Tambang untuk kontrak tambang nikel dan pengangkutan hasil tambang nikel milik PT Antam di Tanjung Buli, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara.

Berdasarkan penghitungan, modal yang disetor oleh Agus Suparmanto kepada PT Yudistira Bumi Bhakti sudah balik modal pada tahun 2007. Namun, sedari 2007-2014, Agus diduga menangguk untung dari proyek kerjasama tersebut.


Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang diduga terlibat dalam penggelembungan harga proyek kerjasama dengan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Foto: Raka Denny/ Jawa Pos)

Penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara Direktur Utama PT YBB, Julius Isyudianto dengan Agus Suparmanto terjadi pada Januari 2000. Keduanya sepakat, Yulius Isyudianto sebagai pemilik PT. Yudhistira Bumi Bhakti (PT YBB) wajib mendapatkan tender proyek di PT Antam, sedangkan Agus Suparmanto menanggung seluruh biaya dari mulai proses memenangkan tender, biaya investasi, operasi hingga produksi.

Tidak itu saja, Yulius Isyudianto pun melakukan perjanjian untuk menyerahkan kepengurusan PT. Yudhistira Bumi Bhakti (PT YBB) kepada Agus Suparmanto. Perjanjian ini berjalan mulus dengan iming-iming Yulius Isyudianto berhak memperoleh 30 persen dari keuntungan yang diperoleh PT YBB. Pasca perjanjian pelepasan perusahaan, Agus Suparmanto menerima hak pengelolaan PT YBB pada 2 Mei 2000. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Agus Suparmanto langsung menunjuk Juandy Tanumiharja sebagai Dirut PT YBB sekaligus pemegang saham 50 persen. Agus juga melibatkan nama Miming Leonardo sebagai komisaris yang menguasai saham sebesar 50 persen.

Agus Suparmanto tidak banyak dikenal di kalangan pengusaha pertambangan. Dia hanya dikenal sebagai Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar (PB) Ikatan anggar seluruh Indonesia (IKASI) masa jabatan 2018-2022. Setali tiga uang, di partai politiknya PKB, nama Agus Suparmanto pun baru mencuat ketika dipanggil ke Istana Kepresidenan ketika diminta menjadi pembantu presiden. Tokoh senior partai PKB yang identitasnya minta dirahasiakan mengaku tidak mengenal Agus Suparmanto.

Bahkan ketika Law Justice berusaha menghubunginya tidak ada jawaban dari Agus Suparmanto. Law Justice juga sudah berusaha meminta konfirmasi dengan mendatangi kantornya namun hingga kini tidak ada jawaban.

Desakan Lanjutkan Kasus

Kasus dugaan korupsi kerjasama PT Antam dengan PT Yudistira Bumi Bhakti tidak sekedar penggelembungan harga. Namun ada kesengajaan untuk meloloskan PT Yudistira Bumi Bhakti sebagai rekanan dari tahun 2000 hingga 2014 tanpa melalui proses lelang yang sesuai aturan.

Pengamat hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara Ahmad Redi mendesak penegakan hukum dari dugaan kerjasama PT Yudistira Bumi Bhakti dengan PT Aneka Tambang. Kata dia, ada dugaan persengkokolan dalam kerjasama tersebut.

"Ya, saya kira, kalau memang seperti itu, itu merupakan bagian dari persekongkolan dalam pengadaan barang dan jasa, dan seeprti itu dilarang. Artinya pemenang itu nggak boleh ditentukan di belakang proses, harus mengikuti proses. Perkara kemudian itu ada afiliasi atau tidak ada afiliasi, itu kan perkara lain. Di Peratruan Presiden mengenai barang dan jasa kan jelas, hanya perusahaan yang memnuhi prosedur saja. Kalau kemudian sudah ditentukan pemenangnya, sudah ada kesepakatan, ada persekongkokolan untuk menentukan siapa pemenang, itu bagian dari alasan bahwa tender itu bermasalah. Itu bisa dibatalkan di pengadilan, karena persekongkolan," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Irres) Marwan Batubara, proses penunjukkan langsung PT YBB oleh PT Aneka Tambang sebuah pelanggaran hukum. Kata dia, perlu audit menyeluruh dari Badan Pemeriksa Keuangan terkait kasus ini.
" Ya artinya kalau memang prosesnya secara hukum itu ada yang dilanggar, ya kita sarankan ada auditlah dari Badan pemeriksa keuangan (BPK). Cuma memang siapa yang dirugikan atau bagaimana itu terjadi, mungkin audit itu sendiri harus diminta oleh DPR kepada BPK, supaya jelas,"ujarnya.

"Sudah ada indikasi pelanggaran hukumnya. Dari proses itu saja, sudah terlihat potensi pelanggaran hukumnya, apalagi nanti kalau ditelusuri, kalau tanpa tender itu kan bisa saja harga itu jadi tidak wajar. Kalau seperti itu, artinya juga disamping ada pelanggaran hukum ada juga potensi kerugian negara," tambah Marwan kepada jurnalis Law-Justice, Januardi Husin.

                     

Ilustrasi hasil perhitungan untung dari kerjasama PT Yudistira Bumi Bhakti dengan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk di Halmahera (Repro/LawJustice)

 Dia juga menyoroti peran Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang memiliki peran penting dalam menggerakan PT Yudistira Bumi Bhakti untuk mengeruk keuangan PT Antam dengan modus kerjasama pengangkutan nikel ke kapal.

"Apalagi sekarang dia jadi Menteri perdagangan, berarti ini ada masalah. Ini ada masalah dari sisi kelayakan, dia artinya secara governance, dia tidak qualified, sehingga kalau mau mempermasalahkan, DPR sebenarnya bisa saja mempermasalahkannya, bahkan harus mempermasalahkannya" ungkap Marwan.

Marwan juga mendesak BUMN PT Aneka Tambang melakukan gugatan hukum terkait persoalan ini kepada pihak-pihak yang dianggap merugikan kerugian negara.
"Saya mengusulkan Antam juga harus menggugat ini kalau dia dipaksa untuk menerima permintaan Agus dan Julius ini untuk menyerahkan pekerjaan itu kepada mereka. Karena kalau tidak melalui tender, itu potensi harga yang lebih mahal dari harga pasar itu pasti terjadi. Nggak mungkin ada penunjukkan langsung, tanpa proses tender itu harganya lebih murah, nggak ada ceritanya, pasti lebih mahal," desaknya.

Sementara itu, peneliti ICW Egi Primayogha mendesak agar kasus ini dilanjutkan, apalagi ada dugaan kerugian negara.
"Harusnya kalau memang sudah ada dugaan kerugian negara yang besar. Apalagi sudah terang benderang siapa saja dugaan pelakunya, aparat penegak hukum mempercepat proses tersebut. Jangan ditunda-tunda terus," katanya kepada Law Justice.

Sedangkan Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Melky Nahar mensinyalir, praktek mark up atau penggelembungan harga kerjasama PT Aneka Tambang dengan PT Yudistira Bumi Bhakti sudah sering dilakukan. Tidak hanya sekali, namun beberapa kali kerjasama selalu terjadi praktek mark up. Kata dia, modus itu sering digunakan oknum atau kelompok di dalam PT Aneka Tambang untuk mendapatkan keuntungan dari proyek kerjasama bidang tambang yang sedang berjalan.

"Memang rata-rata celahnya selama ini yang kemudian mereka bisa mendapatkan duit itu dengan mark-up nilai proyek. Atau, hasil produksi yang diekspor itu nilai laporannya itu tidak sesuai dengan jumlah ekspor mereka ke negara-negara tujuan. Berbedalah laporan yang mereka berikan kepada negara. Di situ salah satu mainan oknum-oknum yang hendak mendapatkan keuntungan dari industri ekstraksi," ungkapnya.

Kata dia, proyek kerjasama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk dengan PT Yudistira Bumi Bhakti dalam bidang pengangkutan hasil tambang nikel di Tanjung Buli, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara tidak terpantau. Kata dia, nikel masuk dalam komoditas besar dan menggiurkan sehingga sering ditutupi untuk mengelabui pemerintah.

"Apalagi nikel inikan komoditas yang besar. Nah, saya kira selama ini pemerintah tidak secara serius mengawasi dari hulu sampai hilir terkait dengan industri ekstraktif ini. Yang mayoritasnya ada di wilayah Sulawesi dan Maluku,"ujarnya.

 

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Nicolaus Tolen, Bona Siahaan, Teguh Vicky Andrew

(Tim Liputan Investigasi/Yudi Rachman)

 

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar