Mariana Amiruddin:

Pramugari: Dari Superhero Menjadi Obyek Seksual

Jum'at, 13/12/2019 12:46 WIB
Ilustrasi (Beritagar)

Ilustrasi (Beritagar)

[INTRO]
Seorang murid sekolah dasar perempuan ditanya oleh gurunya, cita-citamu mau jadi apa? Dengan mata berbinar sang murid berteriak lantang, “Mau jadi Pramugarii!” Kenapa mau jadi pramugari? Tanya gurunya lagi. Matanya yang jenaka dan cerdas menjawab tegas, “Jadi pramugari bisa terbang kemana-mana, bisa ke tempat-tempat yang aku sukai.”
 
Demikian imajinasi tidak sedikit anak-anak perempuan Indonesia. Imajinasi yang membayangkan ketika mereka dewasa nanti akan menghirup kehidupan yang luas terbentang. Cita-cita ini bahkan diidamkan oleh anak-anak perempuan dan gadis-gadis di desa-desa yang bercita-cita ingin menjadi seorang pramugari. Pramugari adalah representasi tentang perubahan nasib bagi mereka sebagai perempuan, untuk berprestasi dan menaikkan martabat mereka baik untuk diri mereka sendiri, secara ekonomi maupun sosial.
 
Anak-anak dan gadis-gadis itu benar. Profesi pramugari bukan sembarangan. Karena itulah membanggakan. Mereka dipilih melalui seleksi dan berbagai tes yang ketat, bukan semata-mata soal kecantikan, kerampingan dan tinggi badan. Melainkan juga kecerdasan, ketangkasan, kemampuan mengevakuasi penumpang, baik yang sakit, maupun melahirkan.
 
Pramugari adalah profesi kepahlawanan (superhero). Kadang harus berlatih sebagaimana Tim SAR (search and rescue); tahan di ketinggian dan tekanan udara, bisa berenang di laut, berbahasa asing, disiplin yang tinggi, menjalankan aturan ketat. Profesi pramugari bukan semata-mata mengambilkan minuman dan makanan, menaruh koper berat di bagasi yang tinggi di atas kepala, memeragakan petunjuk keselamatan, bersikap ramah pada penumpang.
 
Profesi pramugari memerlukan kemampuan yang extra-ordinary, bukan hanya melatih dandan atau menyanggul rambut, berdiri dan berjalan tegak. Mereka juga dilatih keras untuk berhadapan dengan alam: bumi, udara dan air. Pramugari juga perlu menjadi pemimpin dan siap ditempa secara fisik, untuk tetap tenang dan prima saat memimpin evakuasi dalam kondisi darurat, memahami peralatan pesawat untuk keselamatan diri maupun penumpang seperti membuka pintu darurat, keluar dari pesawat dalam kondisi yang kacau, lalu membantu penumpang menyelamatkan diri.
 
Tidak hanya itu, pramugari dilatih untuk melakukan evakuasi di air, mengembangkan pelampung dan perahu karet dalam waktu yang singkat untuk keselamatan di air. Pramugari juga harus siap menjadi seorang dokter yang terlatih: harus bisa menyelamatkan orang lain yang memerlukan vaksin tertentu, termasuk bayi. Masih ada lagi! Mereka dilatih membela diri seperti pelatihan tentara untuk mengatasi teroris di pesawat.
 
Beberapa maskapai luar negeri melatih pramugari mereka seni bela diri yaitu Kung Fu, untuk menghadapi terjadinya kekerasan fisik di dalam pesawat. Pramugari juga profesi yang perlu mempraktikkan sikap tegas –bukan hanya ramah-- demi keselamatan penumpang.
 
Sebagai contoh, saya kutip dari Liputan6  tentang kegiatan latihan pramugari di hutan kawasan Gunung Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, tempat pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat biasa berlatih. “Di hutan tersebut, sekitar 42 orang yang terdiri dari pramugari dan co-pilot digembleng para anggota TNI dari Kostrad selama sepekan.
 
Mereka harus menyeberangi sungai memakai jembatan tali, melewati jaring rintangan, mendaki gunung dengan berlari, bahkan disuruh menggigit ular hidup serta meminum darahnya. Setelah mati, ular-ular itu lantas dipanggang dan disantap bersama. Semua kegiatan ini dilakukan agar semua peserta mampu bertahan hidup bila suatu waktu pesawat jatuh ke hutan.”
 
Dari superhero menjadi obyek seksual
Tapi tahukah bahwa profesi itu kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan anak-anak perempuan kita? Profesi yang diperlakukan tidak manusiawi: tidak sedikit yang diperlakukan sebagai obyek seksual, yang rentan mengalami kekerasan seksual dari atasan mereka. Inilah yang berulangkali disebut sebagai kerentanan perempuan yang mengalami subordinasi dibawah hirarki “relasi kuasa” di tempat kerja.
 
Budaya pelecehan seksual dihidupkan sejak lama dari budaya patriarki, yaitu budaya yang melanggengkan hegemoni laki-laki dalam masyarakat, yaitu memosisikan laki-laki sebagai manusia yang superior sementara perempuan inferior. Hegemoni laki-laki dilegitimasi oleh nilai-nilai sosial, hukum negara, dan terinternalisasi secara turun-temurun, dalam profesi-profesi yang menempatkan peran gender perempuan.
 
Dalam konteks seksual, perempuan adalah obyek, sementara laki-laki adalah subyek. Obyektifikasi ini merentankan perempuan mengalami kekerasan karena diperlakukan sebagai materi yang pasif dan menunggu perintah. Perempuan dalam situasi masyarakat seperti ini mengalami subordinasi. Akibatnya menghambat mereka untuk memiliki ruang yang memadai untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang mereka miliki, bahkan rawan mengalami kekerasan, termasuk pramugari.
 
Pramugari yang seharusnya memiliki profesi pelayanan dan penyelamat penumpang diilusikan menjadi obyek seksual yang suatu waktu mengorbankan dan menghilangkan harga diri serta martabat mereka. Mereka diperangkap dan tanpa kuasa untuk melawan karena aturan yang diskriminatif dan manipulatif, meletakkan pramugari-pramugari secara seksual untuk kepentingan para atasan mereka sendiri. Para perempuan tangkas dan cerdas ini semata-mata dilihat dari kecantikan dan kemolekan tubuh (inilah yang disebut obyek seksual).
 
Fakta-fakta diskriminasi dan kekerasan seksual yang ditutup-tutupi sudah menjadi rahasia umum dimanapun perempuan berada, terutama dalam profesi yang diilusikan sebagai obyek seksual: biasanya pramugari, pramusaji, perawat, sales girl, dan sekretaris. Banyak perempuan tak menyangka bahwa profesi yang seharusnya mengangkat harga diri mereka tersebut disulap menjadi penghancuran martabat mereka secara seksual. Ketika mereka menyadarinya, mereka sudah tidak mampu melapor, apalagi melawan.
 
Melawan sama dengan kehilangan pekerjaan, kehilangan masa depan, mengalami intimidasi, teror dan ancaman, serta paksaan. Yang semua itu terjadi secara diam-diam. Tidak mampu melawan karena tidak memiliki kuasa. Tidak ada yang menjamin keamanan mereka. Bilapun mereka pada akhirnya berani untuk melawan, alih-alih membuat dirinya lebih baik, ketika terungkap di publik, tidak jarang berbalik berhamburan penghakiman terhadap mereka sebagai perempuan simpanan, dan pelacur.
Sungguh menyakitkan.
 
Diskriminasi dan Pelecehan Seksual terhadap Pramugari adalah Pelanggaran HAM. Deklarasi Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 menyatakan, "Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan" dan "Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin (baca: gender), bahasa, agama, politik, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lainnya".
 
Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 pada Pasal 3: “Setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan dan jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi.”
 
Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, pada kenyataannya perempuan tidak menikmati kebebasan dasar sepenuhnya yang setara dengan laki-laki. Profesi pramugari memiliki risiko pelecehan seksual dibandingkan dengan pramugara ataupun pilot. Dalam konteks profesi ini, perempuan memerlukan upaya berkali lipat untuk memenuhi hak-haknya, berusaha keras membela dirinya.
 
Oleh karena itu Hak Asasi Manusia tidak mungkin netral gender (meniadakan persoalan perempuan). Hak Asasi Perempuan ditetapkan dalam Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB. Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi tersebut ke dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
 
Selain itu, Hak Asasi Perempuan telah tertuang dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia dalam pasal 45 – 51 dan pasal 71, bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan menegakkan Hak Asasi Perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
 
Contoh di dalam Pasal 45 Undang-Undang ini menyebutkan dengan tegas bahwa “Hak perempuan dalam UU ini adalah Hak Asasi Manusia. Tuntutan Hak Asasi Perempuan bukanlah permintaan keadilan yang eksklusif melainkan menjadi salah satu bagian dari kelangsungan hidup seluruh manusia".
 
Deklarasi Juli 1975 telah disepakati melalui Konferensi Dunia Tahun Perempuan Internasional (World Conference of The International Women’s Year), Majelis Umum dalam resolusi 3010 tanggal 18 Desember 1972 menetapkan tahun 1975 sebagai tahun perempuan internasional. Tahun tersebut diperuntukkan bagi peningkatan aksi dengan tujuan: (1) meningkatkan kesetaraan antara perempuan dengan laki- laki, (2) menjamin pengintegrasian secara menyeluruh kaum perempuan dalam upaya-upaya pembangunan (gender mainstreaming) (3) meningkatkan kontribusi kaum perempuan pada penguatan perdamaian dunia. Bahkan Konferensi HAM di Wina (1993) mendeklarasikan secara tegas bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia (Women`s Right is Human Rights).
 
Dalam persoalan profesi pramugari ini, banyak orang tidak menyadari atau mungkin pada akhirnya menyadari, bahwa perempuan belum hidup dalam lingkungan yang terhormat dan merdeka, belum aman dari kekerasan. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam tiga tahun (2016-2018), setiap harinya ada delapan perempuan mengalami perkosaan. Mungkin mereka, atau bahkan kita adalah salah satunya.
 
Selamatkan perempuan, selamatkan pramugari dari pelecehan seksual!
 
Puri Halim, 12-12-2019
 
Mariana Amiruddin: lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia, pernah bekerja sebagai direktur dan pemimpin redaksi Jurnal Perempuan; sekarang bertugas sebagai komisioner di Komnas Perempuan.

 

 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar