WNI Kembali Disandera, Keahlian Jenderal `Makar` Ini Dibutuhkan

Kamis, 12/12/2019 14:55 WIB
Ilustrasi Penyanderaan. (Bidikdata.com)

Ilustrasi Penyanderaan. (Bidikdata.com)

Jakarta, law-justice.co - Kelompok Abu Sayyaf kembali melakukan penyanderaan terhadap tiga orang warga negara Indonesia.

Hal itu diketahui lewat sebuah video di Facebook. Dalam video itu, para nelayan mengirim pesan agar Jokowi membebaskan mereka dengan membayar tebusan.

Tiga WNI itu adalah Maharudin Lunani (48), Muhammad Farhan (27), dan Samiun Maneu (27).

Ketiganya diculik kelompok teroris saat sedang melaut dan memancing udang di Pulau Tambisan, Lahad Datu, Sabah, pada 24 September 2019.

Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pemerintah masih bernegosiasi untuk membebaskan tiga nelayan itu. Mahfud mengatakan, sampai saat ini kelompok Abu Sayyaf masih menutup diri.

Kendati demikian, ia memastikan pemerintah tak akan begitu saja menuruti kelompok Abu Sayyaf yang meminta tebusan sekitar Rp 8,3 miliar.

"Ya kan minta tebusannya Rp 8,3 miliar kan, tapi kalau kita nuruti tebusan terus, masa kalah sama perampok," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (9/12/2019) seperti melansir grid.id.

Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan, meminta pemerintah bersikap tegas menangani penyanderaan tiga warga negara Indonesia (WNI) oleh kelompok teroris Abu Sayyaf di selatan Filipina.

Kelompok teroris Abu Sayyaf diketahui meminta tebusan sekitar Rp 8,3 miliar kepada pemerintah Indonesia.

"Jangan ada kompromi dong sama hijacker (pembajak)," kata Syarief di DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Sebab, Syarief menilai kejadian serupa sering dialami Indonesia. Oleh karena itu, dia mengatakan pemerintah semestinya mulai evaluasi diri.

"Kok kayanya berulang-ulang saja tuh. Kalau berulang-ulang ya harus dievaluasi, kenapa kok bisa berulang, iya kan," ujarnya.

Dia menduga ada celah-celah yang belum terpantau pemerintah sehingga peristiwa penyanderaan terhadap WNI dapat terjadi.

Syarief sekali lagi menekankan agar pemerintah tidak begitu saja menuruti kelompok Abu Sayyaf untuk melepaskan ketiga sandera WNI tersebut.

"Mungkin di mana celah yang kurang termonitor. Dan mungkin betuk kerja samanya juga yang harus juga dievaluasi. Jangan kompromi lah," kata Syarief.

Politikus Partai Gerindra yang juga anggota DPR RI Fadli Zon angkat bicara soal disanderanya nelayan asal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf.

Fadli mengatakan, mestinya pemerintah melakukan cara-cara pencegahan seperti berdiskusi dengan otoritas setempat yang bisa berkomunikasi dengan kelompok Abu Sayyaf.

"Jadi harusnya ini tidak boleh lagi terjadi, karena akhirnya ya seperti kita ini masuk ke lubang yang sama. Apalagi kelompok ini kan orientasinya untuk mendapatkan uang," ujar Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (3/12/2019).

Menurut Fadli, negosiator yang bisa berkomunikasi dengan kelompok Abu Sayyaf adalah Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen.

Ia mengatakan, Kivlan Zen pernah bertugas di Filipina dan berpengalaman berkomunikasi dengan kelompok tersebut.

"Pak Kivla Zen itu berhasil ikut membebaskan dalam beberapa penculikan oleh Abu Sayyaf karena pak Kivlan Zen pernah bertugas di sana sebagai observer dalam perdamaian antara pihak MNLF dengan Unforces of the Philippines," ucap dia.

Pada pertengahan tahun 2016, Kivlan Zen yang saat ini menghadapi kasus makar memang telah menuai prestasi terkait pembebasan sandera Abu Sayyaf asal Indonesia.

Sekitar sepuluh warga negara Indonesia dari 14 orang yang disandera oleh kelompok separatis Filipina atau yang dikenal dengan Abu Sayyaf akhirnya dibebaskan.

Kesepuluh WNI itu adalah awak kapal tugboat Brahma 12 dan kapal tongkang Anand yang sebelumnya bermuatan batu bara.

Mayor Jenderal Purnawiraan Kivlan Zein, negosiator yang ikut dalam upaya pembebasan sandera, menuturkan, negosiasi pembebasan sandera menjadi mulus lantaran melibatkan Gubernur Zulu Abdsakur Toto Tan II. Toto ini keponakan pemimpin Moro National Liberation Front (MNLF), Nur Misuari.

Mengapa menyeret nama Nur Misuari, karena sang penculik, Al Habsyi Misa, adalah mantan supir dan pengawal saat Nur Misuari menjadi Gubernur Otonomi Muslim di Mindanao atau ARMM pada 1996-2001.

"Saya sebagai wakil perusahaan meminta bantuannya membujuk sang penculik, dan berhasil membujuknya," kata Kivlan yang saat dihubungi masih di Filipina, Minggu, 1 Mei 2016.

Menurut Kivlan, kelompok Abu Sayyaf merupakan sempalan dari kelompok MNLF yang memilih berdamai dengan pemerintah Filipina.

"Jadi ini murni negosiasi yang melibatkan perwakilan dari kedua negara, dan satu tokoh yang cukup disegani oleh kelompok Abu Sayyaf," ucap Kivlan Zein.

Para sandera itu sudah diserahterimakan di sebuah pantai di selatan Mindanao. Serah terima dilakukan pada pukul 12.00 waktu setempat.

Kivlan sendiri mengaku sebagai pihak yang mewakili perusahaan PT Patria Maritime Lines, dan turun untuk bernegosiasi sejak 27 Maret 2016.

Kivlan mengaku terlibat karena pernah bertugas sebagai pasukan perdamaian Filipina Selatan pada 1995-1996. Saat tugas itu Kivlan mengenal Nur Misuari dengan sangat baik.

Keakraban itulah yang kemudian digunakan Kivlan melobi kelompok Abu Sayyaf agar membebaskan WNI yang disandera.

Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah Nur Misuari segera menghubungi Toto agar bernegosiasi dengan kelompok militan Abu Sayyaf.

Negosiasi pertama dilakukan pada akhir Maret tak lama setelah sepuluh sandera itu disekap.

Negosiasi itu juga melibatkan petinggi Patria Maritime dan intelijen Filipina. "Kemudian direspons badan intelijen strategis TNI dan terjadi komunikasi," kata Kivlan.

Seringnya negosiasi yang dibantu pemerintah Filipina, bekas militan MNLF dan beberapa organisasi lainnya, akhirnya pada 1 Mei, 10 sandera itu dibebaskan.

"Sekarang kami mencoba negosiasi membebaskan empat sandera yang masih ditahan," kata Kivlan. Empat sandera yang masih ditahan itu awak kapal lain.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar