Irham Vickry, DU 68 Musik:

Alm Munir, Joko Anwar Sampai Pengidap Skizofrenia Suka ke Sini

Minggu, 08/12/2019 19:39 WIB
Irham Vickry, Pemilik DU 68 Musik (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

Irham Vickry, Pemilik DU 68 Musik (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

law-justice.co - Pecinta musik kelas berat,  kolektor atau yang sekedar ingin bernostalgia dijamin betah berlama-lama di tempat ini. Sebuah kios sederhana berukuran sekitar lima kali tujuh meter di Jalan Dipati Ukur, Bandung, sesak dipenuhi kaset, laser disc, compact disc dan piringan hitam (vinyl). Hampir semuanya barang bekas alias second. Pemiliknya, Irham Vickry telah 20 tahun jatuh bangun meniti bisnis sekaligus hobinya itu.

Kegandrungan mendengarkan berbagai jenis aliran musik mendorongnya untuk mengumpulkan kaset-kaset bekas. Ia pun mencoba peruntungan memperjualbelikan barang-barang semacam ini. Bermula dari lapak kaki lima, Irham Vickry mantap meniti hidupnya di ranah ini dengan membuka toko kaset DU 68 Musik. Vickry percaya, bisnis yang dirintisnya itu bukan sekadar mencari untung, tetapi juga membahagiakan banyak orang.

Persentuhannya dengan kota Bandung merupakan sebuah kebetulan belaka. Kala itu, pada akhir 1980-an, Vickry telah berstatus mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Syah Kuala. Di sana ia banyak bergaul dengan mahasiswa rantau, termasuk yang berasal dari Bandung. Terpesona dengan kisah kehidupan di Kota Kembang, ia pun mendaftarkan diri ke Universitas Padjajaran. Setelah diterima di Jurusan Sastra Rusia, ia lalu cuti kuliah di Aceh dan berangkat ke Bandung.

Pilihan itu terbukti tepat. Selain jenuh dicekoki pelajaran hitung-hitungan sejak SMA, pergaulan mahasiswa di Bandung sangat egaliter, berbeda betul dengan di Banda Aceh yang menurutnya sangat elitis. Vickry kian kerasaan karena seperti dirinya, banyak temannya yang juga menggandrungi musik dan mengoleksi kaset. Itulah sebabnya, saban pulang kuliah, ia dan kawan-kawannya pun kerap berhimpun di Cihapit yang dikenal sebagai sentra kaset bekas ternama di Bandung.

Jatuh Cinta Pada Kaset

Kegemaran mengumpulkan kaset telah dimulai sejak di masih bermukim di tanah kelahirannya, Bireun. Ketika itu, Vickry tinggal di rumah toko (Ruko) yang menjadi tempat orang tuanya berbisnis emas. Ketika para pekerja harus lembur untuk menyelesaikan pesanan kalung atau gelang, mereka kerap memutar orkes Melayu, India, hingga gambus. Tertarik, Vickry kerap bercengkerama dengan para pekerja untuk sekadar mendengarkan musik. Pada, saat itulah kegandrungannya mendengarkan kaset muncul.

Sejak kelas 6 SD, ia mulai mengoleksi kaset. Referensinya berasal dari keluarga dekat, terutama pamannya.  Sekitar 1983-1984, Vickry mulai memberanikan diri membeli kaset penyanyi, grup mau pun lagu favoritnya.   Sejak 1970-an, kaset memang telah ke berbagai kota di Indonesia. Hal itu berlaku pula di kota kecamatan Bireun. Di sana bermunculan berbagai toko kaset dan tempat-tempat semacam inilah yang kerap didatanginya.

Namun koleksi kasetnya seolah tak ada apa-apanya ketika ia diajak kawan-kawannya ke Pasar Cihapit.  Seperti surga, di sana Vickry menemukan banyak kaset lama yang pernah dicarinya di Bireun namun tak ditemukannya, karena tak ada lagi di pasaran. Pada 1987, memang terjadi penarikan besar-besaran kaset pra-lisensi dan digantikan rekaman-rekaman sejenis yang berlisensi. Walhasil, harganya pun meningkat berkali-kali lipat.

Deretan kaset di DU 68 Musik (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

Terpesona dengan koleksi kaset di Pasar Cihapit, Vickry pun gelap mata. Hampir saban hari, ia bertandang ke sana untuk membeli berbagai kaset bekas dari beragam aliran. Ia lupa, sebagai mahasiswa rantau, kehidupannya bergantung pada kiriman uang dari orang tuanya. Akibatnya, ia kerap terpaksa menjual kaset koleksinya demi menyambung hidup.   

Besar dalam keluarga pengusaha, saat menghadapi situasi sulit, naluri bisnisnya pun tetap tajam. Dalam pandangannya, kaset bekas tak sekadar bisa dikoleksi tetap juga memiliki potensi yang cerah jika diperjualbelikan. Namun belajar dari pengalaman, ia memilih tak menjual kaset-kaset bekas itu kepada para pedangang yang pasti akan membanting harga, tetapi kepada pembeli tangan pertama, termasuk kolektor seperti dirinya.

Tak punya modal, Vickry dan kawan-kawannya pun memberanikan diri meminjam kaset-kaset bekas ke para pedagang di Pasar Cihapit dan menjualnya dengan sistem konsinyasi. Untuk menjaga hubungan baik, ia memilih tak bersaing dengan pedagang-pedagang itu dan memilih tempat yang berjauhan saat berjualan kaset.   Kawasan Alun-alun, Jalan Dewi Sartika, kampus Universitas Padjajaran  (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB)  pun pilihannya untuk membuka lapak kaki lima.

Sejak saat itu, sambil kuliah, Vickry  melakoni pekerjaan sebagai pelapak kaset bekas. Strategi untuk memilih lokasi dagang yang berbeda  pun terbukti manjur. Saat pertama kali menjajakan 100 kaset pinjaman para pedagang Pasar Cihapit  di kawasan alun-alun, misalnya, dalam tempo beberapa jam saja barang-barang itu nyaris tak bersisa.

“Itu malam minggu,  kita datangnya sudah malam pakai lilin pula karena  gelap banget. Kita juga sempat  beli koran dulu untuk alas kaset. Kita nggak ngerti,  tiba-tiba dikerubungin orang. Dalam satu malam kaset-kaset itu habis, hanya  sisa berapa  biji dong. Besok-besoknya kita baru sadar, wah  lumayan juga  ini. Berarti bisa dijadiin bisnis saja sambil kuliah. Akhirnya  kita mulai  beli-beli ke pasar bekas. Jadi begitulah awalnya”, kisah Vickry ketika disambangi di tokonya, September lalu.

Keasyikan berdagang kaset bekas di berbagai lokasi membuat kuliahnya terbengkalai. Pada mulanya, ia memutuskan untuk cuti studi hingga satu tahun lamanya. Bahkan, Vickry pernah berpikir untuk berhenti kuliah, ketika aktivitasnya kian padat, apalagi saat itu banyak temannya yang sudah lulus kesulitan mencari kerja karena terjadi krisis ekonomi.

Sempat berpikir untuk pulang kampung saja, kawan-kawannya berpesan bahwa kuliah itu bukan untuk mencari kerja, tetap sekadar mencari pengalaman saja. Akhirnya, Vickry membulatkan tekad untuk menyelesaikan studinya. Setelah tujuh tahun menempuh studi, ia berhasil menamatkan kuliah dan meraih gelar Sarjana Sastra.

Merintis Toko Kaset Bekas

Setamat kuliah, beban hidupnya pun mulai berkurang. Kini, ia dapat fokus kembali menggeluti bisnis kaset yang digandrunginya.  Namun Vickry tak lagi memilih untuk menjajakan barangnya di pinggir jalan, tetapi memiliki rencana yang lebih ambisius, yaitu membuka toko kaset bekas. Namun rencana itu tak mudah mewujud. Modal lagi-lagi menjadi persoalan utama. Oleh sebab itu, ia kemudian mengajak seorang temannya untuk patungan menyewa sebuah kios di Jalan Dipati Ukur.

“Awal-awal kita buka, karena nggak ada duit aku join dengan orang Batak. Dia juga ragu-ragu awalnya. Aku bilang duitku kurang, dan  baru bisa menyewa kios kalau patungan karena yang punya tempat kan baru buka, minta per dua tahun. Aku bilang bisa jamin karena   ini daerah jajahanku. Dia pun setuju. Aku jual kaset dan piringan hitam bekas, dia menjajakan CD dan DVD,” kata Vickry.

Di luar dugaan, dalam tempo dua tiga bulan, keduanya berhasil menjual barang hingga balik modal. Walhasil, delapan bulan kemudian mereka telah meraih keuntungan. Meskipun masih ada satu tahun sisa kontrak kios, keduanya pun memilih untuk berpisah. Kawannya yang orang Batak itu memilih untuk menyewa tempat persis di sebelah kios lama.

Vickry masih ingat, di era kejayaan toko kaset DU 68 Musik pada awal 2000-an, para pelanggan banyak berdatangan. Mereka sudah antri berbaris ketika kios itu belum buka. Sebaliknya, saat larut malam ketika toko itu hendak tutup, kerap kali para pembeli mengetuk-ketuk pintu kios itu agar diperbolehkan melihat dan membeli kaset-kaset bekas.

Koleksi cd dan vinyl (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

Ketimbang toko kaset biasa, ia menilai keunggulan barang-barang di  kiosnya terletak ketidakterikatan pada cukai dan masa kadaluarsa. Berbeda dengan produk rekaman baru yang harus membayar cukai dan memiliki masa edar, kaset-kaset bekas tidak mengenal aturan itu. Barang-barang yang dijual Vikri adalah kaset-kaset yang diproduksi dari rentang 1970-an hingga yang terbaru dan memiliki variasi yang beragam.

“Karena format kita kan barang second hand jadi bebas dalam arti kita nggak bayar pajak lagi karena barang kita kan sudah kena pajak masa itu. Ini kan sisa limbah, tapi harganya masih ada, kadang-kadang lebih mahal dari harga kaset baru. Dan menariknya variasi barang, apapun kita ada, itu yang membuat mereka berduyun-duyun ke sini,” kata pria kelahiran Bireun itu.

Tak puas mengandalkan barang dari Pasar Cihapit, ia pun berburu kaset bekas ke sejumlah tempat. Setiap beberapa bulan sekali, Vickry kerap bepergian ke sejumlah  kota di pulau Jawa dan Sumatera, seperti Salatiga, Malang, Surabaya, Palembang, Medan, dan Aceh. Ketika  mendapatkan barang yang dicari, ia akan membayarnya dan mengirimkannya ke Bandung.  Setelah itu, Vickry akan melanjutkan perjalanan dan melakukan hal yang sama hingga stok barang dirasakan cukup untuk mengisi tokonya.  

Dalam pencarian itu, ia mengakui tak pernah mendiskriminasi aliran musik.  Jadi tak heran bila di kiosnya terdapat berbagai jenis kaset lintas aliran. Mulai dari lagu rohani, daerah (Batak, Sunda, Minangkabau), dangdut, klasik, rock, keroncong, trash metal, death metal, dan britpop, seluruhnya tersedia. Namun Untuk memudahkan pelanggan mencari kaset yang diinginkan, ia pun membagi penataan barangnya itu berdasarkan aliran musik dan dari mana musisi itu berasal.

“Misalnya ada  orang tanya  Radiohead nih.  Kita proses,  itu Radiohead band luar, genrenya rock berarti letaknya di bagian alternatif. Kalau pembeli yang sudah sering sudah tahu, kayak yang barusan sudah tahu. Kalau orang-orang yang baru datang nanti dia nanya, nyarinya apa? Ini, oh ada  di sebelah sana. Dia kemudian nyari di bagian itu, jadi nggak terlalu ribet juga,” kata Vickry.

Terlepas dari beragam aliran musik, ia mengakui genre rock merupakan yang paling laku dijual di DU 68 Musik. Hal ini tak terlepas dari kecenderungan selera pelanggannya yang menggandrungi musik era 1980-an. Walhasil kaset-kaset rock lama maupun baru, termasuk trash metal, death metal, dan alternatif menjadi buruan utama. Di luar itu, aliran lain yang tergolong digemari adalah pop.

Meskipun begitu, Vickry tak pernah mematok harga tinggi pada barang-barang yang dijualnya. Secara umum, harga kaset-kaset bekas yang dijualnya berkisar antara Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu. Namun terdapat pula beberapa koleksi khusus yang langka dan berharga tinggi nilai jualnya mencapai harga Rp 100 ribu atau 125 ribu.

Ia bahkan pernah menjual kaset demo album grup musik The SIGIT seharga Rp 950.000. Pada mulanya, ia tak mau menjualnya karena hanya memiliki satu barang dan itu tergolong koleksi pribadinya. Namun karena terus dirayu oleh seorang mahasiswa asal Indonesia yang sedang berstudi di Singapura, hatinya pun luluh. Ia pun membuka harga tinggi sebesar Rp 1 juta. Sang pembeli setuju membayar harga itu dan hanya sedikit menawar sebagai kompensasi ongkos taksi.

Sebenarnya dalam penentuan harga kaset, hal ini bergantung pada pandangan subjektif penjualnya. Ia mencontohkan, ada kaset yang harga modalnya Rp 5 ribu, tetapi kemudian dijual Rp 100 ribu. Dalam dunia barang bekas itu sah-sah saja. Namun ia mengakui terdapat barang yang memang modalnya tinggi atau kondisi fisik barangnya masih baik  sehingga layak untuk dijual dengan harga tinggi.

Di luar itu, terdapat beberapa kaset yang memang tak bisa ia tentukan sendiri harganya. Barang semacam ini biasanya tergolong kaset baru yang dititipkan di DU 68 Musik oleh sejumlah label musik. Biasanya kaset-kaset baru ini berharga Rp 50 ribu sampai Rp 75 ribu. Bila barang ini laku, maka Vickry akan mendapat komisi sebesar 25 persen dari bandrol harga kaset.

Membahagiakan Banyak Orang

Meraup keuntungan bukan satu-satunya orientasi bisnis yang hendak dicapai Vickry ketika mendirikan toko kaset bekas di Jalan Dipati Ukur Bandung. Ia memang mengakui kehadiran kios ini sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, termasuk membeli rumah.  Namun setelah hampir 20 tahun mengelola toko kaset bekas, ia baru sadar kehadiran DU 68 Musik telah membawa kebahagiaan bagi banyak orang.

Beberapa sosok ternama yang pernah bermukim di kota Bandung, seperti musisi Arian Seringai, sutradara kondang Joko Anwar,  dan pengarsip musik David Tarigan pernah bercengkerama di toko ini. Seperti dirinya ketika muda, mereka kerap membeli kaset-kaset bekas dan menjualnya kembali ketika kehabisan uang di akhir bulan.

“Anak-anak band indie dulu kan berhutang banyak ke toko ini. Mereka yang bergerak di bidang musik pasti tahu toko saya karena termasuk yang paling awal menjajakan kaset-kaset bekas di Bandung. Mereka juga banyak dari referensi musik yang tidak bisa didapatkan di toko-toko biasa karena menghadirkan koleksi musik artis 1950-an dan 1960-an,” ujar Vickry.

Selain itu, beberapa sosok musisi kondang juga menjadi pelanggan setia DU 68 Musik. Salah satunya adalah Dhani Ahmad. Menurut Vickry,  sekitar lima tahun lalu sebelum terjun ke dunia politik, punggawa grup musik Dewa 19 ini tercatat beberapa kali datang ke kios kaset bekas miliknya. Terkadang ia datang sendiri atau ditemani anak dan istrinya.

Ketika datang, Dhani hampir selalu memborong barang dagangannya. Dalam sekali transaksi  ia bisa memborong ratusan kaset dan piringan hitam, namun tak pernah membeli compact disc (CD). Tak heran, bila, musisi berusia 47 tahun itu selalu membawa pulang berdus-dus kaset dan piringan hitam senilai jutaan rupiah.

Suasana di toko DU 68 Musik (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

Beberapa musisi Indonesia tempo dulu, era 1970-an dan 1980-an  pun mereka pernah mampir ke toko kaset bekas yang satu ini. Biasanya mereka mencari album lama karya sang musisi untuk berbagai tujuan. Mulai dari  tak sempat memiliki album itu saat masih ada di pasaran karena diberikan kepada keluarga dan penggemar, hingga menyakinkan anak-anaknya bahwa musisi itu pernah malang-melintang di dunia musik.

“Ada penyanyi zaman dulu yang pernah datang ke sini langsung lompat-lompat  karena bahagia bisa menemukan album lama di sini (toko kaset bekas). Penyanyi lain bercerita  ketiga anaknya tak percaya bahwa ibunya pernah menjadi musisi karena tak pernah menyimpan album-album yang pernah dibuatnya. Makanya dia senang dengan toko ini,” ujarnya.

Di luar musisi, beberapa pengunjung  dari beragam latar belakang pun pernah datang ke DU 68 Musik. Namun bagi Vickry, dari semua itu yang paling berkesan adalah kedatangan para pengidap Skizofernia atau Autisme. Mereka kerap datang diantar keluarganya. Ketika ditelisik, rupanya kaset-kaset bekas yang dijual Vickry merupakan obat manjur yang mampu menenangkan batin mereka.

“Ada seorang penderita Skizofernia terang-terangan ngomong bahwa kedatangannya ke toko untuk berobat dengan membeli kaset bekas yang  berisi lagu-lagu lama kesenangannya. Ada juga orangtua yang datang ke sini untuk mengantarnya anaknya yang istimewa. Dia bilang kalau nggak ke sini bisa ngamuk berhari-hari di rumah. Tapi setelah bisa beli kaset bekas di sini, dia jadi tenang dan senyum-senyum terus,” ujar Vickry.

Pengunjung lain yang meningglkan kesan khusus baginya adalah aktivis Hak Azasi Manusia (HAM), Munir Thalib. Pendiri Komisi untuk Orang Hilang (KontraS) ini memang dikenal sebagai sosok penggila musik pop rock, dan melayu. Makanya, setiap bertandang ke Bandung, ia pasti akan mampir ke DU 68 Musik.  Tak sekadar berbelanja, biasanya sang aktivis yang meninggal diracun itu berbicara panjang lebar dengan dirinya. Ia biasanya ditemani oleh teman-temannya dari Universitas Parhayangan dan Padjajaran.

“Munir dulu sering ke sini, langgananku itu dulu. Sebelum diracun, tiap ke Bandung dia pasti mampir ke toko untuk beli kaset-kaset rock. Biasanya datang sama kolega-koleganya.  Kalau datang pasti ngobrol, jadi sedih juga pas dia meninggal,” kenang Vickry.

Melawan Zaman

Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis  toko DU 68 Musik terus menurun. Tren itu mulai dirasakan sejak pertengahan 2000-an karena peralihan teknologi, termasuk kehadiran produk-produk bajakan dan digitalisasi karya musik. Meski  agak pesimis, Vickry masih menyimpan keyakinan tokonya itu masih bisa  terus bertahan.

“Teknologi kan bisa membantu atau membunuh kita,  itu saja. Kita nggak tahu juga (masa depan toko ini). Perusahaan  gede-gede itu saja bisa tumbang, industri musik juga runtuh, iya kan. Sejak muncul VCD bajakan yang murah, omzet toko ini mulai menurun. Penikmat produk-produk semacam ini kan kelas menengah bawah. Mereka lebih mementingkan harga yang murah daripada kualitas suara. Beda banget sama kolektor,” kata Vickry.

Untunglah, para kolektor kaset-kaset bekas ini masih tetap setia datang ke toko. Yang menarik, mereka bukan saja orang-orang yang telah berumur, tetapi ada juga anak-anak muda, mulai dari anak SMP hingga mahasiswa. Mereka datang karena jenuh dengan teknologi masa kini yang membuat karya-karya musik tidak manusiawi karena terlalu sempurna.

“Lagu-lagu yang dibikin dengan teknologi digital jiwanya nggak dapet. Saat mendengarkan karya seperti ini, mirip mendengarkan suara mesin dan robot karena semuanya kan sudah di-mixing. Memang bagus, tapi nggak punya jiwa. Lebih baik dengerin kaset dan piringan hitam. Meskipun suaranya tidak sempurna, justru di situlah letak sisi kemanusiaan sebuah karya musik,” tutur Vickry.

Selain itu, hal lain yang membuat Vickry tetap bertahan mengelola DU 68 Musik, karena toko kaset bekas ini dirintisnya dari nol. Ia pernah mengalami masa-masa ketika harus meminjam barang, kesulitan modal, hingga memiliki koleksi kaset bekas yang berlimpah, seperti saat ini. Jadi sangat berat memang meninggalkan usaha ini, kecuali bila kaset memang tidak diproduksi lagi.

“Aku buka ini nggak dibantu siapapun. Modal dengkul asli, dari nol. Dari barang minjam orang sampai barang dikit jadi banyak. Nyewa pun awal-awal nggak punya duit, minjam  kiri-kanan jadi bisa nutup (modal). Kalau aku tinggalkan pun sayang karena aku tahu ini dari nol. Jadi dengan mengelola toko ini, aku meras bebas. Entah sampai kapanlah, sampai sekarang aku masih menikmati,” pungkasnya.

 

 

(Teguh Vicky Andrew\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar