Mundurnya Bamsoet dari Ketum Golkar, Kolaborasi Jokowi dan Luhut

Sabtu, 07/12/2019 06:10 WIB
Ilustrasi Perebutan Kursi Ketum Golkar Antara Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto (Poskota)

Ilustrasi Perebutan Kursi Ketum Golkar Antara Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto (Poskota)

Jakarta, law-justice.co - Kontestasi pemilihan ketua umum di munas Golkar biasanya selalu menarik untuk diikuti karena dinamikanya begitu terasa. Ada persaingan keras antara para kandidat yang bersaing di dalamnya. Kondisi ini berbeda dengan Parpol lain pada umumnya. Ketika ada Munas di Partai lain biasanya seorang jurnalis sudah bisa menyiapkan berita hasil Munas sebelum usai pelaksanannya.

Makanya Munas Golkar dalam kerangka pemilihan Ketua umumnya kali ini juga mengundang antusiasme publik dan media massa karena nuansanya yang dianggap berbeda. Apalagi pertarungan pemilihan Ketua Umum Golkar kali ini menampilkan dua kandidat yang sama sama kuat karena kedua-duanya diduga mendapatkan dukungan dari istana.

Namun yang terjadi kemudian adalah sebuah kejutan yang membuat banyak pihak ternganga. Tiba tiba saja Bambang Soesatyo (BS) yang semula begitu antusias untuk merebut kursi ketua umum Golkar mengumumkan pengunduran dirinya. Pengunduran diri BS  cukup mengejutkan karena Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini dinilai sebagai sosok kuat untuk melawan calon Ketum Golkar yang juga sebagai petahana yaitu Airlangga Hartarto.

Keputusan BS untuk mundur dari pencalonan Ketum Golkar tentu saja membuat banyak orang bertanya-tanya. Terlebih, BS  mundur selang beberapa jam sebelum Munas Golkar dibuka. Ada apakah kiranya ? Apakah memang ada tangan-tangan “istana” yang ikut campur tangan sehingga membuat BS takluk tidak lagi melanjutkan perjuangannya ?. Mengapa seorang BS harus  “dijegal” di tengah jalan sebelum tercapai keinginannya ?. Adakah janji yang sampaikan oleh pihak istana agar BS tidak lagi mencalonkan dirinya ?

 Ada Tangan Istana Bermain

Sebagaimana diketahui bersama, BS mundur usai melakukan pertemuan tertutup dengan Airlangga Hartarto  (AH), Aburizal Bakrie (Ical), dan Luhut B Panjaitan yang disebut-sebut mewakili pihak istana. Pertemuan digelar sekitar 30 menit di Kantor Kementerian Kemaritiman dan Investasi, tempat dimana Luhut berkantor setiap harinya.

Salah seorang petinggi Golkar yang dekat dengan BS mengungkap isi pertemuan empat tokoh partai beringin tersebut secara terbuka. Dalam diskusi itu, Luhut yang kini menjabat sebagai Menko Kemaritiman menyatakan, dirinya membawa pesan dari istana. Luhut disebut memerintahkan BS untuk mundur dari pencalonan Ketum Golkar yang diincarnya.

Luhut mengaku diperintah Jokowi untuk meminta BS agar  mundur segera. "Luhut tentu bukan mewakili dirinya sendiri," jelas sumber itu seraya mengiyakan bahwa maksud kalimat itu Luhut mewakili Istana. Sumber itu  juga mengatakan, Luhut meminta Munas Golkar harus berjalan musyawarah mufakat tanpa adanya voting. Jokowi menghendaki Airlangga yang menjadi ketua umumnya.

Saat dikonfirmasi wartawan perihal informasi tersebut, Luhut tegas membantahnya. Dia mengatakan, tidak ada perintah Istana dalam dinamika politik jelang pembukaan Munas Golkar. "Enggak ada. Arahan kami saja untuk Golkar. Tidak ada yang menekan-nekan," jawab Luhut saat dikonfirmasi pers. Jokowi sendiri sudah berkali-kali selalu dikaitkan dengan kontestasi Munas Golkar.

Berkali-kali pula, Jokowi membantah terlibat. Dia menyerahkan sepenuhnya pertarungan ini kepada internal Golkar. "Urusan internal Golkar. Munas urusan internal Golkar dan sebagai partai besar memiliki partai yang panjang enggak mungkin di intervensi menteri. Itu isu yang biasa dalam politik. Ya masa Setneg bisa intervensi jago atau setkab apa urusannya!" kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (2/12).

Pengakuan pihak istana yang menyatakan tidak  terlibat dalam ritual Munas Golkar untuk memilih Ketua Umumnya, dianggap hanya basa-basi belaka. Banyak yang tidak percaya dengan pengakuan pemerintah itu dan menganggapnya sebagai pernyataan dusta belaka. Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menilai terlalu naif jika menyebut musyawarah nasional (Munas) Golkar tanpa intervensi Istana.

Dari munas ke munas, kata Ujang, pemerintah selalu mengintervensi siapa yang akan menjadi Ketua Umum-nya. "Bohong jika tak ada intervensi. Jika tak ada tekanan dan intervensi Bambang Soesatyo tak akan mundur. Dan jika tak ada intervensi banyak kader Golkar yang akan maju. Karena ada intervensi, sudah tahu siapa yang akan jadi," ujar Ujang saat dihubungi pers pada Rabu, 4 Desember 2019.

Ujang menyebut, terlalu mudah dibaca bahwa Luhut Binsar Panjaitan merupakan salah satu tokoh senior Golkar sekaligus perpanjangan tangan Jokowi yang menyampaikan pesan istana. "Kan Bamsoet mundur juga di depan Luhut," ujar Ujang.

Memang ibarat kata pepatah : “sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tidak percaya”. Begitu juga kiranya dengan adanya klaim pemerintah yang tidak melakukan intervensi terhadap Munas Golkar, nyaris tidak banyak orang yang percaya. Apalagi selama ini sudah berkali-kali terbukti membuat pernyataan dusta sehingga kali inipun meskipun bau intervensi itu sudah begitu menyengat, masih juga dikatakan tidak ada intervensi dari istana, mana orang mau percaya ?.

Mengapa Harus “Dijegal ?”

Sejauh ini yang diketahui oleh publik adalah bahwa kedua kader papan atas Golkar yang sedang bertarung yaitu BS dan AH , memiliki kedekatan tersendiri dan warna tersendiri dengan Jokowi. Keduanya memiliki jalur tersendiri memasuki pintu Jokowi. Keduanya disukai Jokowi. Keduanya suka menyenangkan Jokowi. Karena itu restu presiden dinilai turut menentukan sosok yang bakal terpilih sebagai Ketum Partai Golkar nanti. Namun meskipun kedua-duanya dianggap dekat dan disukai oleh Jokowi tapi  belakangan ini Jokowi cenderung lebih memilih AH daripada BS sebagai kandidat Ketum Golkar, jagonya istana.

Lalu kenapa Jokowi lebih memilih  AH  ketimbang BS ?. Diduga karena keduanya  sama-sama orang Solo dan alumni UGM pula. Selain itu AH dinilai orangnya lebih  penurut ketimbang BS meskipun  AH tidak memiliki banyak pengalaman di partai seperti rivalnya. Faktor lain kenapa Jokowi lebih memilih AH daripada BS adalah karena dinilai AH mempunyai pengaruh lebih besar untuk mempertahankan kekuasaan Jokowi dibandingkan dengan BS. 

AH itu anak seorang Menteri di masa Orde baru yang masih memiliki pengaruh di lingkungan kaum feodal yang sekarang masih menguasai dunia politik di Indonesia. Sementara itu BS hanyalah  seorang politisi bekas wartawan dari kalangan orang biasa-biasa saja. Bila dihubungkan dengan trend elite politik sekarang yang umumnya anak-anak orang besar, posisi BS sepertinya kurang membawa pengaruh pada penguasa. Karena saat ini kecenderungan untuk kembali menuju sistem feodalisme begitu terasa.

Saat ini orang seperti BS memang  sulit untuk berkembang ketika sampai pada level “kompetisi” yang tinggi ketika tantangan di depan berhadapan dengan kepentingan penguasa. Bagi politisi, situasi sulit biasa terjadi pada politisi (potensial) yang datang dari keluarga biasa-biasa saja, seperti halnya Anas Urbaningrum atau Setya Novanto misalnya. Sementara politisi dari keluarga orang besar, selalu ada tempat untuk berlindung sementara karena pengaruh kekuasaan yang sudah ditanam begitu lama.

Dalam kaitan ini patut disayangkan sikap BS yang secara tiba-tiba melunak lalu menerima nasibnya. Sehingga suguhan pemilihan Ketua Umum Golkar yang diharapkan berjalan dinamis dan demokratis langsung surut tak lagi ada pesonanya. Padahal awalnya BS begitu bergairah menantang petahana sampai-sampai membuat kesan dizalimi oleh kubu petahana.

Anak buahnya di DPR banyak yang disingkirkan dari posisinya, bukan hanya itu, pengikutnya juga  dihilangkan dari Panitia Munas yang akan memilih Ketua Umumnya. Wajar pula kalau kemudian BS sempat mengancam untuk menggelar Munas tandingan karena perlakuan yang dirasakan tidak adil terhadapnya. Namun semua seolah olah  sirna dengan pengunduran dirinya, BS dengan tanpa perlawanan mengikuti keinginan Luhut dan kawan-kawannya.

Bagi bagi Kue Kekuasaan

Atas pengunduran dirinya, sejumlah isupun langsung berseliweran menghampirinya. Salah satu isu yang beredar di balik pengunduran diri BS adalah ia meminta syarat jabatannya sebagai Ketua MPR tidak diganggu selama lima tahun ke depannya. Muncul pula kabar yang menyebutkan bahwa BS bersedia mundur dengan mensyaratkan sejumlah loyalisnya diakomodasi oleh AH yang menjadi rivalnya.

Terkait hal ini, BS menyampaikan bahwa pihaknya dengan Airlangga telah menyepakatinya. "Kami sudah sepakat dua gerbong ini akan disatukan. Jadi semangat rekonsiliasi inilah yang kemudian mendorong kita berdua untuk melakukan rekonsiliasi," katanya.

Sementara itu, Airlangga berkata bahwa penyatuan gerbong pendukungnya dengan gerbong pendukung BS akan dilakukan setelah Munas X Golkar selesai dilaksanakan. "Itu sesudah Munas," ucap Airlangga. Yang bisa dibaca dari pernyataankedua petinggi Golkar ini adalah adanya kesamaan pandang dan saling pengertian antara keduanya dalam berbagi kue kekuasaan yang terhidang di depannya.

Kubu AH seolah-olah ingin mengingatkan kepada BS bahwa posisi Ketua MPR sudah didapat melalui dukungannnya, kini mohon kerelaannya agar posisi Ketua Umum Golkar tetap ada di genggaman petahana. Kesepahaman inilah yang rupanya menjadi “deal “ diantara mereka berdua meskipun lewat perantara campur tangan istana. Simbiosis mutualisme, keduanya di untungkan karena masing masing sudah mendapatkan kekuasaan termasuk pihak istana juga diuntungkan tentunya.

Pihak istana di untungkan karena ketua MPR-nya berasal dari partai yang menjadi pendukungnya sehingga ada jaminan kursi presiden aman untuk lima tahun ke depannya. Begitu juga kursi MPR akan aman bagi BS karena ada jaminan dari istana untuk tidak mengotak-atiknya.  Sementara itu partai partai lain yang bukan pendukung penguasa sudah bisa dijinakkan lewat ketiadaan jabatan di posisi setrategis baik di legislatif maupun di jajaran pemerintahan yang sekarang berkuasa.

Sebagaimana kita maklumi bersama pada waktu perebutan kursi Ketua MPR beberapa partai mengajukan jagonya. Ahmad Basarah dari PDI-P, Gerindra mengusung Ahmad Muzani, Lestari Moerdijat dari NasDem, Jazilul Fawaid dari PKB, Hidayat Nur Wahid dari PKS, Zulkifli Hasan dari PAN, Syarief Hasan dari Demokrat dan Arsul Sani dari PPP sedangkan BS di usung Golkar berkat restu Airlangga.

Dengan kekompakan partai-partai pengusung penguasa mendukung BS menjadi ketua MPR membuat tidak berkutik partai partai “oposisi” seperti PKS, Demokrat dan PAN yang juga menyorongkan jago jagonya. Tentu saja semua ini terlaksana karena kesediaan AH untuk mendorong BS menjadi wakil Golkar untuk menduduki Ketua MPR. Kiranya wajar kalau sudah terpilih kemudian BS merasa perlu membayar hutang budi kepada AH dalam bentuk kesediaan mundur sebagai Ketum Golkar yang semula diincarnya. Yang penting sesama politisi pemburu kekuasaan sudah sama-sama mendapatkan jatah kursinya. Sementara itu rakyat dapat apa ?

Realita akrobat politik Golkar seperti ini, jelas suatu kemunduran bagi dinamika organisasi parpol khususnya Golkar. Intervensi istana merupakan tangan kotor yang menista roh demokrasi yang seharusnya siap kalah dan siap menang berdasarkan voting. Model intervensi istana seperti ini akan menjadi preseden buruk bagi terciptanya sistem politik dan demokrasi yang sehat, independen, transparan dan demokratis. 

Di sisi lain sepak terjang Luhut Panjaitan yang selalu saja ada dan terlibat dalam semua urusan penting di negeri ini, semakin membuktikan bahwa Mr. Luhut memang top dan menteri segala urusan dari hulu sampai hilir. Dan Luhut tanpa malu-malu dan merasa bersalah, mempertontonkan aksi buruknya itu bagi perkembangan demokrasi ke depan, dengan memakai kantor milik negara untuk urusan politik pribadi dan partainya Golkar. 

Hal ini jelas mencederai prinsip bernegara dan berpemerintah yang akuntabel dan Good Government Governance. Walau aksi Luhut itu sudah ditegur oleh Wapres, K.H. Ma`ruf Amin, namun sampai saat ini tidak ada satu kata permintaan maaf pun dari Luhut kepada publik. Memang benarlah kata orang, sakti sekalilah kekuasaan Opung satu ini. Tetaplah jangan jumawa karena diatas langit masih ada langit Pak Luhut..!

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar