Dulunya Sopir Angkot, Pria Ini Sekarang Punya Harta Rp106 Triliun

Jum'at, 06/12/2019 17:50 WIB
Prajogo Pengestu. (Foto: Informasiana.com)

Prajogo Pengestu. (Foto: Informasiana.com)

Jakarta, law-justice.co - Nama Prajogo Pengestu tengah menjadi perbincangan. Dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia tahun 2019 yang dirilis Forbes, pemilik Barito Pacific ini berada di peringkat ketiga. Padahal dalam rilis serupa yang dikeluarkan tahun lalu, Prajogo masih berada pada urutan 10.

Saat ini Prajogo tercatat memiliki kekayaan bersih sebesar US $7,6 miliar atau setara dengan Rp106 triliun. Angka ini juga bertambah signfikan dibanding tahun lalu yang tercatat sebanyak US $3 miliar.

Namun siapa sangka, ternyata pria ini dahulunya hanyalah seorang sopir angkota di Kalimantan?

Dilansir dari cnbcindonesia, Jumat (6/12/2019), Prajogo Pangestu lahir 75 tahun silam di Sambas, Kalimantan Barat dengan nama Phang Djoem Phen. Ayahnya bernama Phang Siu On yang bekerja sebagai penyadap getah karet.

Bekerja sebagai penyadap getah karet, membuat Prajogo dan keluarga hidup serba pas-pasan.

Untuk mengubah nasib, Prajogo kemudian merantau ke Jakarta. Namun nasibnya ternyata belum beruntung. Sempat menetap di ibukota, Prajogo hidup terluntang-lantung karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.

Sadar dengan kondisi yang tidak menguntungkan itu, Prajogo kemudian balik kampung. Selanjutnya, ia kemudian bekerja sebagai sopir angkot.

Namun nasib seseorang memang tidak ada yang tahu. Justru saat berprofesi sebagai sopir angkota pada tahun 1960-an, Prajogo bertemu dan berkenalan dengan Bong Sun On, atau Burhan Uray, seorang pengusaha kayu asal Malaysia. Rupanya, dari sinilah nasib Prajogo mulai berubah.

Pada tahun 1969, Prajogo bergabung dengan Burhan di PT Djajanti Group. Rupanya, sang pengusaha begitu terkesan dengan Prajogo, yang dinilainya ulet dalam bekerja. Tujuh tahun kemudian, Burhan mengangkat Prajogo menjadi general manager (GM) di pabrik Plywood Nusantara, Gresik, Jawa Timur.

Namun karirnya di sini sangat singkat, hanya setahun. Prajogo kemudian memutuskan mundur dan keluar dari perusahaan untuk mencoba memulai bisnis sendiri.

Modal Pinjaman Dengan bermodal pinjaman dari BRI, ia pun membeli CV Pacific Lumber Coy yang kala itu sedang mengalami kesulitan keuangan. Dalam setahun, pinjaman itu berhasil dilunasinya.

Prajogo kemudian mengganti nama Pacific Lumber menjadi PT Barito Pacific Lumber. Pada 1993, perusahaannya menjadi perusahaan publik. Pada tahun 2007, Prajogo mengganti nama Pacific Lumber menjadi PT Barito Pacific. Pergantian nama itu dilakukan setelah ia mulai mengurangi bisnis kayu.

Bisnisnya terus meningkat dan semakin menggurita setelah bekerja sama dengan anak-anak Presiden Soeharto dan pengusaha lainnya. Hingga saat itu, Barito Group telah merambah sektor petrokimia, minyak sawit mentah, properti, hingga perkayuan.

Masih pada tahun yang sama, Barito Pacific mengakuisisi 70 persen saham perusahaan petrokimia, Chandra Asri, yang juga terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Pada 2008, Barito kembali mengakuisisi PT Tri Polyta Indonesia Tbk.

Pada 2011, Chandra Asri pun merger dengan Tri Polyta Indonesia dan berubah nama menjadi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA). Selanjutnya, perusahaan hasil merger ini menjelma menjadi produsen petrokimia terintegrasi terbesar di Indonesia. Perusahaan ini juga tercatat sebagai salah satu kilang petrokimia terbesar di Indonesia.

Pada Agustus lalu, Prajogo mendapat penganugerahan gelar tanda kehormatan 2019 dari Presiden Joko Widodo. Ia menerima tanda Penerima Bintang Jasa Utama. Selain Prajogo, pengusaha lain yang menerima penganugerahan adalah Arifin Panigoro dan TP Rachmat.

Penganugerahan ini sejalan dengan Keputusan Presiden (Keppres) 72/2019, Keppres 73/2019, dan Keppres 74/2019. Penganugerahan ini diberikan sekaligus dalam rangka memperingati HUT ke-74 RI.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar