Ironi Calon Pemenang Ketum Golkar yang Rasa Istana Negara

Selasa, 03/12/2019 00:01 WIB
Ilustrasi Perebutan Kursi Ketum Golkar Antara Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto (Poskota)

Ilustrasi Perebutan Kursi Ketum Golkar Antara Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto (Poskota)

Jakarta, law-justice.co - Menjelang Musyawarah Nasional atau Munas Golkar pada 4-6 Desember 2019 mendatang di Jakarta, pertarungan dua kubu calon Ketum yang paling kuat antara Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo, semakin memanas. Kedua kubu saling klaim mendapat mandat terbanyak dari daerah-daerah dan afilisasi Golkar.

Susunan penyelenggara Munas yang didominasi pendukung Airlangga seperti;  Melchias Marcus Mekeng ditunjuk sebagai Ketua penyelenggaranya. Sementara itu  Ibnu Munzir  ditunjuk sebagai Ketua pengarah (steering committee)-nya. Adapun  Adies Kadier didapuk sebagai Ketua panitia pelaksana.

Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar, Nurson Wahid memastikan pemilihan ketua umum dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar, awal Desember 2019 mendatang tidak hanya diikuti oleh satu kandidat ketua umum saja. "Melihat dinamika di Rapim, dipastikan di Munas tidak akan ada calon tunggal.

Setidaknya akan ada 4 calon yang muncul, yaitu Airlangga Hartarto, Indra Bambang Utoyo, Ridwan Hisyam, Bambang Susatyo,” ucap Nusron Wahid di Jakarta, Jumat (15/11/2019). Bahkan, dia meyakini jumlah kandidat ketua umum akan terus bertambah. Tidak hanya empat, bahkan bisa lebih banyak lagi peminatnya. "Saya yakin juga akan muncul calon-calon lain. Dipastikan tidak ada calon tunggal. Kalau tidak calon tunggal bagaimana akan aklamasi?” ucapnya.

Diantara kandidat yang akan maju sebagai Ketum Golkar, hanya Airlangga Hartarto (AH)  dan Bambang Soesatyo (BS) yang dianggap mempunyai kekuatan untuk saling bersaing merebut kursi orang pertama di Golkar. Gelora nama BS sebagai kandidat Ketum Golkar memang sempat meredam usai diberi kepercayaan Golkar menduduki kursi Ketua MPR. Akan tetapi, BS kini menegaskan kembali akan mencalonkan diri sebagai Ketum Golkar pada Munas Desember mendatang.

Bagaimana dinamika yang berkembang  jelang pemilihan Ketum Golkar yang sebentar lagi akan tiba ?. Seperti apa  kultur pemilihan Ketum Golkar yang selama ini berjalan ? Kemana arah dukungan Jokowi dalam pemilihan Ketum Golkar kali ini ? Seberapa besar peluang BS memenangi pertarungan bergengsi ini ?

Siapa Yang Berkhianat ?

Perebutan kursi Ketum Golkar kian memanas jelang Musyawarah Nasional (Munas). Pertarungan masih didominasi oleh dua calon kuat ketua umum yaitu  AH dan BS. Ancaman, serangan, hingga gertakan dikeluarkan oleh kubu BS dan juga AH beserta para pengikut mereka. Terbaru, BS  mengancam akan menggelar Munas `tandingan` bila Ketua Umum petahana AH terus melanggar ketentuan yang tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar.

"Pengurus DPP Partai Golkar yang berada di barisan pendukung BS siap melaksanakan atau mengggelar Munas yang sesuai dengan dan atau tidak bertentangan dengan AD/ART Partai Golkar," kata loyalis BS, Victus Murin, dalam konferensi pers di Restoran Batik Kuring, Jakarta, Senin (25/11).

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar itu menerangkan bahwa pihaknya menangkap indikasi tidak sehat dan cenderung licik dalam proses pembentukan Panitia Munas Golkar 2019.  Victus menyebut para pengurus DPP Golkar yang dicurigai atau diidentikasi sebagai pendukung BS, dicoret dari kepanitiaan Munas. Dia berkata indikasi itu diketahui setelah beredar Surat Keputusan DPP Nomor KEP-395/DPP/XI/2019 tentang Penyelenggaraan Musyawarah Nasional X Partai Golkar 2019 yang ditandatangani oleh AH  dan Sekretaris Jenderal Lodewijk Freidrich Paulus.

Dalam surat itu nama-nama pengurus yang merupakan pendukung BS hilang dan tidak diundang mengikuti rapat panitia yang digelar 23 November 2019. Lebih aneh, menurut dia, dalam komposisi panitia Munas tertera nama-nama bukan pengurus atau anggota Golkar. Bahkan, katanya, beberapa nama sudah migrasi ke partai lain.

Berangkat dari itu, Victus mengingatkan AH  beserta para loyalis dan pendukungnya agar menjalankan tahapan penyelenggaraan Munas sesuai perintah Bab XIV Pasal 50 AD/ART Partai Golkar tentang Pemilihan Pimpinan Partai. Victus menekankan aturan pada ayat dua Pasal 50 bahwa pemilihan Ketua Umum Golkar periode 2019-2024 dilakukan melalui proses penjaringan, pencalonan, dan pemilihan. "Anehnya, sampai dengan hari ini, tahapan proses pemilihan yang diawali dengan tahapan penjaringan justru belum berlangsung sama sekali. Padahal jadwal Munas sudah sangat dekat atau mepet waktunya," kata Victus.

Loyalis BS  yang lain, Roy Lewar mengaku tidak mengenal sekitar 300 lebih panitia pelaksana Munas Golkar 2019. Nama-nama tersebut tidak terdapat dalam struktur kepengurusan dan terdaftar sebagai kader Golkar. Ia pun mempertanyakan asal-usul Petrus Selestinus masuk dalam daftar panitia pelaksana Munas Golkar 2019. Menurutnya, Petrus sebelumnya tercatat sebagai calon anggota legislatif (caleg) Partai Hanura di Pileg 2019.

"Terus terang bagi kami memang nama-nama ini bagi kami asing, tidak ada dalam struktur partai, dan itu juga bukan kader. Ada Petrus Selestinus," ucap Roy. Lebih lanjut, Roy berkata bahwa di luar dua nama tersebut terdapat nama-nama lain yang terindikasi memiliki hubungan keluarga dengan AH.

Menurutnya, masuknya sekitar 300 nama ini menunjukkan bahwa AH telah melanggar kesepakatan untuk ikut memasukkan perwakilan kubu BS dalam panitia Munas Golkar 2019, karena sebanyak 90 perwakilan kubu BS telah dicoret oleh AH beberapa waktu lalu. "Kesepakatan adalah semacam semangat bersama, duduk bersama, dan kesepakatan itu ternyata sudah dilanggar," ucapnya.

Selain protes terhadap panitia pelaksana Munas Golkar 2019 yang dianggap tidak sesuai dengan AD/ART, BS juga mengungkit ungkit AH yang dinilai tidak menjalankan komitmen yang telah disepakatinya. Menurut pengakuan BS, dirinya dan Ketua Umum Partai Golkar AH pernah membuat komitmen yang dituangkan dalam sebuah kesepakatan.

Namun, dalam perjalanannya, komitmen itu tidak dijalankan oleh AH. Hal inilah yang mendasari BS pada akhirnya maju mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar. "Perlu saya jelaskan di sini bahwa komitmen kami berdua dengan Pak AH adalah komitmen semacam gentlemen agreement," kata BS di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11/2019). "Jadi kalau kemudian pada akhirnya hari ini saya menyatakan maju (sebagai calon ketua umum) itu karena ada komitmen yang tidak ditunjukkan atau tidak dipenuhi," tuturnya.

BS mengatakan, kesepakatan itu dibuat sebelum dirinya ditunjuk sebagai Ketua MPR yang dicalonkan Partai Golkar. Saat itu, BSbersedia mewakili Golkar maju sebagai pimpinan MPR dengan sejumlah syarat. Persyaratan itu seperti, rekonsiliasi antara pendukung BS dan AH. BS meminta pendukungnya dipulihkan ke posisi semula, dengan ditempatkan di kursi alat kelengkapan dewan (AKD) DPR serta kepengurusan Partai Golkar. "Yang terpenting adalah dalam susunan alat kelengkapan dewan, dan pemecatan-pemecatan yang dilakukan di daerah selama proses saya maju dan mereka mendukung saya," ujar BS.

Syarat tersebut, lanjut BS, disetujui oleh AH. Keduanya lantas berjabat tangan tanda persetujuan. BS pun lantas menyatakan diri untuk cooling down. Akan tetapi, komitmen itu tak direalisasikan. Tak ada rekonsiliasi antara pendukung BS dan AH, dan tak ada pemulihan posisi para pendukung BS di DPR maupun struktur organisasi partai.

Bahkan, menurut BS, para tenaga ahli (TA) anggota DPR yang mendukung BS pun dicopot dari jabatan mereka. "Jangankan bicara soal pimpinan komisi yang diturunkan gara-gara mendukung saya kemudian dikembalikkan, jangankan juga posisi pendukung saya yang sudah di komisi tertentu lalu kemudian digeser ke komisi yang sebetulnya bukan bidangnya atau tidak diminati oleh yang bersangkutan," ujar BS.

Atas keadaan tersebut, BS merasa pendukungnya telah dizalimi. Ia pun merasa tidak bisa lagi dalam keadaan cooling down, sehingga pada akhirnya maju mencalonkan diri sebagai ketua umum. "Sehingga itulah yang kemudian yang pada akhirnya membuat saya pada posisi sulit dan tidak bisa lagi terus menerus berpegang pada posisi yang cooling down," kata BS.

Sementara itu dari kubu AH sendiri, BS dianggap sebagai telah berkhianat. Karena BS pernah menyatakan dukungan kepada AH  untuk kembali mencalonkan diri sebagai ketua umum tak lama setelah dilantik sebagai Ketua MPR. Karena itu Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengingatkan BS  agar memegang teguh komitmen yang disepakati bersama AH, sebelum akhirnya terpilih menjadi Ketua MPR secara aklamasi.

Menurut Ace, komitmen itu adalah BS menyatakan kembali mendukung AH sebagai Ketum Golkar. "Jadi tentu ya saya percaya Pak BS tidak akan menyalahi atau melanggar komitmen yang telah dibuat antara Pak AH dengan Pak BS itu," kata Ace di di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).

Senada dengan Ace, Politisi Golkar Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan, BS pernah menyatakan akan kembali mendukung AH menjadi ketum Partai Golkar pada periode berikutnya, sebelum ditunjuk jadi Ketua MPR. Menurut Doli, pengusulan nama BS disinyalir bentuk dari kesepakatan politik dengan AH. "Yang saya tahu dan saya kira kita melihat semua di televisi dan media, Pak BS  menyatakan akan mendukung Pak AH pada musyawarah nasional 2019," kata Doli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/11/2019).

Sementara itu BS sendiri menilai tak ada yang salah jika ia tetap mencalonkan diri jadi Ketum Golkar. Ia membantah mengkhianati perjanjian dengan AH. BS menjelaskan, saat terpilih menjadi Ketua MPR, ia mengurungkan niat maju di Munas Golkar demi menjaga stabilitas politik saat itu. Menurut dia, ia hanya berkomitmen mendinginkan suasana politik dengan tak lagi mendesak adanya Munas hingga pelantikan Presiden dan Wapres selesai.

Hal itu dijelaskan juga oleh Wakil Koordinator Bidang Kepartaian DPP Golkar Darul Siska yang berada di kubu BS. Ia menyebut tak ada perjanjian antara BS dan AH. "Saya tahu tidak ada perjanjian di antara mereka. Kalau ada pembicaraan di antara mereka berdua, mereka harus sadar bahwa partai ini bukan milik mereka berdua. Kesepakatan mereka berdua tidak mengikat seluruh kader Golkar di semua lini," ujar Darul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (4/11).

Kultur Pemilihan Ketua Umum Golkar

Untuk bisa merebut kursi sebagai Ketua Umum Golkar, AH maupun BS harus mampu memperebutkan kurang lebih 600 suara yang tersebar di daerah. Bukan di pusat, karena DPP hanya memiliki satu suara meskipun pengurus plenonya hampir 300 orang. Ini namanya voting block. Itu aturan main. Satu suara dimiliki tiap pengurus provinsi yang berjumlah 34 dan satu suara dimiliki setiap pengurus kabupaten kota yang  berjumlah kurang lebih 500an lebih.

Kecenderungan kultur para pimpinan Golkar daerah baik propinsi maupun kabupaten kota dari Munas ke Munas sejak era reformasi, mereka – pengurus daerah itu yang notabene adalah pemegang hak suara penentu – selalu dan selalu memelihara tradisi : menghendaki pimpinan puncak partai beringin kudu figur yang memiliki jabatan formal dalam organisasi negara alias punya jabatan penting dalam lembaga negara plus restu Istana!. Ini disebabkan karena Golkar itu identik dengan partai yang menjadi selalu ada di ketiak kekuasaan.

Berkaca kepada kekalahan AT (Akbar Tanjung) sebagai petahana ketua umum pada Munas Golkar 2004 di Bali membuktikan tesis itu. AT yang berjasa dan berdarah – darah menyelamatkan hidup Golkar dari badai reformasi yang menerjang kekuasaan Orde Baru Soeharto, dengan mudah dikalahkan oleh penantangnya yaitu JK ( Jusuf Kalla) yang menyandang jabatan sebagai Wakil Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) waktu itu.

Padahal jika ditakar dari sisi kekentalan idealisme darah kegolkaran dalam tubuh kedua tokoh itu, jelas AT yang jauh lebih kental. Nama JK tidak pernah bunyi selama Golkar berkibar menjadi penopang politik utama pemerintahan Soeharto sejak Pemilu 1971 sampai tumbangnya rezim Orba pada 1998. AT berkali – kali menjadi menteri di era Orba, merangkap sebagai pengurus inti dan legislator Golkar level nasional.

Di era Presiden BJ Habibie (1998 – 1999), menjabat Menteri Sekertaris Negara. Hasil Pemilu 1999 menempatkan AT sebagai Ketua DPR RI sampai 2004. Pada Pemilu 2004 AT menghantar Golkar sebagai peraih suara terbanyak. Dengan aneka macam jabatan negara di awal reformasi itulah AT berhasil “merebut” cinta pengurus Golkar daerah untuk saling rangkul merangkul.

Akan tetapi, kejayaan AT itu berakhir di Bali dengan tragis karena disapu oleh “budaya” dan habitat Golkar yang telanjur terbiasa menetek kepada kekuasaan. Boleh dikatakan seluruh pengurus Golkar peserta Munas Bali dari pusat sampai kecamatan adalah hasil binaan AT yang dikonsolidasikan dari terpaan tsunami politik reformasi. Intinya mereka adalah “loyalis” AT.

Namun loyalitas itu ambruk diterpa magnit kekuasaan seorang Wapres. Tentunya diperkuat dengan dukungan sang presiden berpretensi “menjinakkan” parlemen. Senayan adalah markas parpol yang dengan mudah berubah sikap. Sebagai teman koalisi, di tengah jalan dengan gampang menjadi “milisi” yang menghadapkan “mulut meriam” ke Istana.

Pada Munas Golkar di Pekanbaru/Riau 2009 hal serupa terjadi. ARB (Aburizal Bakrie) terpilih menjadi Ketua Umum Golkar dengan mengalahkan SP (Surya Paloh) yang didukung Wapres JK, tapi sudah tidak bertaji lagi, lantaran kalah melawan pasangan SBY – Budiono dalam kontestasi capres tiga bulan sebelumnya. JK waktu itu menggandeng Wiranto sebagai cawapresnya.

Sebagai Menko Kesra, jabatan ARB sebenarnya sisa beberapa hari saja. Dia didukung SBY yang berkepentingan memperkecil kekuatan politik JK dan SP. Keduanya pun “yatim piatu” kekuasaan. Tidak punya daya tarik “sensual” bagi pengurus daerah. Kentalnya orientasi kultur dan habitat pengurus Golkar daerah sebagai “pemburu” berat kekuasaan yang terpusat di Istana, yang menjelaskan mengapa mereka membelakangi JK dan SP.

Pada Munas Golkar di Bali Desember 2014, ARB terpilih untuk kedua kalinya sebagai ketua umum. Namun jabatan yang diumumkan 4 Desember 2014 itu usianya tidak panjang. Karena pada 8 Desember 2014 lahir pengurus kembar DPP Golkar hasil Munas Ancol, Jakarta yang memilih AL (Agung Laksono) sebagai ketua umum. Golkar terperangkap di dalam sengketa panjang dualisme kepengurusan kembar. Hal mana membuat JK sibuk berkali – kali menjadi tuan rumah untuk mendamaikan keduanya.

Berebut Restu Jokowi

Kedua kader papan atas Golkar yang sedang bertarung saat ini, memiliki kedekatan tersendiri dan warna tersendiri dengan Jokowi. Keduanya memiliki jalur tersendiri memasuki pintu Jokowi. Keduanya disukai Jokowi. Keduanya menyenangkan Jokowi. Namun, jika tidak mawas diri, keduanyapun renta masuk ke dalam perangkap adu domba melalui tampilan verbal yang memesona tapi di dalamnya telah ditanami bom waktu.

Sindiran simbolik Jokowi tidak mesti bermakna yang sebenarya. Semacam bola bilyar yang bisa melenting kesana kemari menghantam dinding meja kiri kanan. Sukar dibaca. Ini kali pertama Munas Golkar dihiasi dengan dua kontestan yang memiliki jalur Istana. Calon ketum parpol rasa Istana!

Restu presiden dinilai turut menentukan sosok yang bakal terpilih sebagai Partai Golkar. Lalu, kepada siapa Presiden Joko Widodo berpihak kali ini?"Itu adalah urusan internal di Golkar," kata Jokowi di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (10/11/2019).

Sebelumnya, tatkala menghadiri peringatan HUT ke-55 Partai Golkar, Jokowi sempat melempar pujian ke AH. Pujian itu pun diterjemahkan berbagai pihak sebagai restu Jokowi kepada AH. "Masa nggak boleh nyebut nama. Pak AH memang ketua, saya sebut kan top kan boleh," ujar kepala negara ketika itu. Namun demikian, loyalis BS, Nusron Wahid menilai pujian Jokowi kepada AH bukanlah restu. Ia meyakini tidak ada restu-merestui kepada satu atau dua orang kandidat ketua umum."Sebab, beliau Presiden yang sangat demokratis dan menghargai proses demokrasi. Pasti beliau menghargai hak dan pilihan DPD I dan DPD II Golkar," kata Nusron.

Selanjutnya dibandingkan dengan AH, nampaknya BS lebih mampu membaca kebutuhan istana terhadap sebuah target politik yang hendak dicapai, dimana faktor pencapaian itu ditentukan oleh seberapa mesra hubungan Ketum dengan kadernya di parlemen. Jika mengacu kepada proses sejarah keterpilihan BS  sejak menjadi Ketua DPR RI dan khususnya ketika akan menjadi Ketua MPR RI, maka tersirat adanya mata rantai kebutuhan  politik Istana kepada sosok yang bisa diterima secara total oleh kadernya di parlemen.

Logikanya rekam jejak kesinambungan tersebut akan menjadi salah satu faktor penilaian bagi Jokowi untuk menentukan siapa yang akan “direstui”nya sebagai Ketum Golkar. Tentu saja restu yang dimaksud itu tidak kasat mata, dia boleh ditemukan melalui “kode – kode kebahagiaan” yang muncul di dalam komunikasi yang terbuka di mana–mana.

Saat ini beban utama yang harus diemban ketum Golkar yang baru adalah : melapangkan jalan  bagi terlaksananya amandemen UUD 45 dimana hal ini adalah juga menjadi target politik yang ingin dicapai oleh istana. Sesungguhnya hal ini sudah terbaca sejak proses awal pencalonan BS  sebagai Ketua MPR RI dimana ia kebagian “tugas khusus” di parlemen yakni soal pemulusan amandemen UUD 1945.

Di dalam berbagai statemennya terdapat adanya perbedaan antara Airlangga dan Bambang . AH berulang kali mengatakan, pihaknya tidak serta merta  mendukung dilakukannya proses amandemen UUD 1945. Sementara disisi lain pada kurun  waktu yang sama BS  pun berulangkali mengatakan proses amandemen 1945 adalah “harga  mati” dimana sikap ini adalah sesuai dengan arah kebijakan PDIP dan Jokowi.

Silang sengkarut inilah yang menjelaskan mengapa ketua umum Golkar yang akan datang  wajib hukumnya adalah sosok yang bertugas melapangkan jalan amandemen di parlemen.Sebagai “komandan” Gabungan pasukan operasi Amandemen UUD 1945 di parlemen, BS harus memiliki otoritas tunggal terhadap fraksi Golkar, tentu saja wujudnya dia pun kudu menjadi ketum Golkar. Dengan formasi kondisi politik seperti ini maka nampaknya BS lah orang yang akan merebut restu Jokowi untuk menjadi Ketua Umum Golkar.

Bambang Lebih Berpeluang

Keinginan BS bertahan maju sebagai salah satu calon ketum salah satunya didasari perkembangan politik yang berkembang pasca terpilihnya Bamsoet menjadi ketua MPR. Ada ungkapan yang terlontar di internal partai jika perebutan kursi ketum Golkar di Munas sudah berakhir. Namun, dia menyadari jika lawan yang dihadapi bukan sembarangan. AH  adalah petahana sekaligus Menteri Perindustrian.

Bahkan di internal Golkar ada yang mencemooh terang-terangan dengan menyebut BS hanya buang-buang waktu dan tenaga saja menantang AH. "Kalau saya maju ibarat petinju kelas berat dilawan kelas ringan. Sementara pengamat bilang layaknya David versus Goliat," ujar mantan Ketua Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) periode 1994-1998 itu. BS mengaku pede karena mendapat dukungan dari FKPPI serta AMPI. BS juga mengklaim banyak loyalis BS yang mulai mendukung dirinya.

Selain itu modal yang dimiliki BS sekarang sudah cukup mentereng, selain yang paling tinggi elektabilitasnya di lingkungan Golkar,BS juga punya kedudukan sebagai Ketua MPR yang memudahkan komunikasi dengan berbagai pihak baik di dalam maupun di luar Partai Golkar. Tradisi di partai berlambang pohon beringin, bahwa orang yang berkuasa lebih dihormati ketimbang orang yang tidak berkuasa juga sangat menguntungkan BS. Sekarang posisi AH dan BS adalah sama. Yang satu menteri (Airlangga) yang satunya (Bamsoet) Ketua MPR.

Kunci kemenangan lainnya sesungguhnya terletak pada  kepiawaian dan  strategi tim sukses masing masing. Mereka yang mempunyai kemampuan membangun komunikasi dua arah, lahir dan batin dengan pengurus daerah, sangat potensial akan memenangkan pertarungan. Secara verbal di atas permukaan yang dapat dipakai sebagai alat ukur adalah seberapa tinggi  intensitas komunikasi caketum dengan pengurus daerah sebagai sebuah kewajiban kultural yang disebut saling “mewongke”. Ini bagian penting dari istilah “penyelesaian secara adat”.

Jika, tingkat intensitas komunikasi caketum dengan pengurus daerah dinilai memenuhi standar silaturrahim yang berlaku secara umum, maka ini sudah merupakan modal dasar yang penting. Modal dasar ini harus diperkuat dengan paralelisasi intensitas komunikasi caketum dengan istana. Ini teori pendekatan yang disebut secara guyon sebagai pendekatan “dobel gardan”.  Dari dua modal dasar pemenangan ini nampaknya BS sudah selangkah lebih maju dari pesaing utamanya yaitu AH.  Apakah ini sebagai pertanda bahwa kursi Ketum Golkar bakal segera menjadi miliknya ?

 

 

 

 

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar