Menkes Dokter Terawan Lolos Sanksi IDI, karena Intervensi TNI ?

Senin, 02/12/2019 08:40 WIB
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. (Foto: Kompas.com/ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. (Foto: Kompas.com/ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Jakarta, law-justice.co - Banyak kontroversi yang menyelimuti saat Letnan Jenderal TNI Terawan Agus Putranto menjabat Menteri Kesehatan.

Melansir tempo.co, dia dijatuhi sanksi etik oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Tapi sanksi etik yang dijatuhkan pada Februari 2018 tersebut tak pernah dieksekusi.

MKEK menjatuhkan sanksi pencabutan keanggotaan di IDI selama 12 bulan dan mencabut izin rekomendasi izin praktik dokter spesialis radiologi itu.

Apakah TNI mengintervensi IDI?

Terawan dianggap bersalah atas praktik intra-arterial heparin flushing (IAHF) yang diterapkannya.

Metode yang kerap disebut `cuci otak` itu diklaim dapat mengobati stroke. Tapi, sejumlah kolega Terawan di IDI menilai IAHF belum terbukti secara klinis.

Ketua MKEK 2015-2018 Prijo Sidipratomo bercerita bahwa Kepala Staf Angkatan Darat ketika itu, Mulyono, meminta MKEK berkoordinasi dengannya sebelum mengambil keputusan. Namun MKEK tak memenuhi permintaan itu.

Keputusan Majelis langsung dikirimkan ke Markas Besar TNI AD.

Prijo memang memberi tahu Mulyono secara langsung ihwal sanksi untuk Terawan.

"Beliau cukup kaget dengan keputusan kami," ujar dokter spesialis radiologi tersebut seperti dikutip dari Majalah Tempo untuk edisi Senin, 2 Desember 2019.

MKEK menyatakan Terawan melanggar empat prinsip dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia: mengiklankan diri secara berlebihan, tak memenuhi panggilan Majelis sebanyak delapan kali, menarik bayaran dari tindakan yang belum terbukti secara medis, dan menjanjikan kesembuhan bagi pasien IAHF.

Pada April 2018, Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan sudah mendesak pemerintah mengkaji keamanan IAHF yang dilakukan Terawan.

Menteri Kesehatan ketika itu, Nila Djuwita Moeloek, kemudian membentuk Tim Satuan Tugas Penyelesaian Permasalahan Pelayanan Kesehatan dengan Metode Intra-Arterial Heparin Flushing sebagai Terapi.

Diketuai Sukman Tulus Putra, dokter spesialis anak, tim Satgas bertugas meneliti metode IAHF dari sisi ilmiah, hukum, teknik medis, dan etika kedokteran.

Tim Satgas bekerja mengumpulkan literatur ilmiah yang berhubungan dengan IAHF.

Dua anggota Satgas yang ditemui Tempo secara terpisah membenarkan info bahwa tim tak menemukan satu pun literatur yang menunjukkan terapi IAHF mampu mengobati stroke.

Literatur tentang metode itu hanya ditemukan di dua jurnal Indonesia dan disertasi Terawan di Universitas Hasanuddin, Kota Makassar. Penulis jurnal itu juga Terawan.

Untuk mengkonfirmasi sejumlah temuannya, tim Satgas mengundang Terawan ke kantor Kementerian Kesehatan, sekitar Juni 2018.

Ditemani seorang perwira berseragam militer, Terawan dalam pertemuan itu meminta bimbingan tim Satgas untuk memahami metode penelitian.

Ia juga mengakui telah menjalankan terapi IAHF terhadap 4 ribu pasien sebelum mengambil program doktoral di Universitas Hasanuddin.

Pada April 2018, Terawan juga ditemani empat perwira tinggi TNI AD pada saat menghadiri forum IDI di Hotel Boroburur, Jakarta.

Waktu itu, kata Ketua Umum IDI 2015-2019 Ilham Oetama Marsis, Terawan tak membantah bahwa metode IAHF berbiaya mahal dan belum teruji secara klinis.

Tim Satgas Kementerian Kesehatan bekerja selama dua bulan. Setelah rampung, mereka merekomendasikan dua hal: IAHF dihentikan dan dilakukan penelitian untuk memperoleh bukti keamanan serta efektivitasnya dalam mengobati stroke.

Rekomendasi pun diserahkan kepada Nila Moeloek.

Menurut anggota Satgas, Nila menyatakan hasil kerja mereka sangat komprehensif.

Sekitar tiga bulan kemudian atau pada 16 Oktober 2018, Nila bersurat ke Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Nila menerangkan telah mempertimbangkan rekomendasi Satgas, dan memutuskan metode IAHF dapat dilakukan dalam rangka penelitian berbasis pelayanan. Poin ini jelas tak sama dengan rekomensasi Satgas.

Nila juga menyebutkan RSPAD wajib mengajukan proposal penelitian dan melaporkan secara berkala hasil penelitian tersebut.

Namun, dua pejabat Kementerian mengatakan tak pernah menerima proposal dan laproan dari RSPAD sampai Nila digantikan Terawan.

Pejabat yang mengetahui pengambilan keputusan itu mengatakan Nila ingin menjaga hubungan baik Kementerian dengan TNI AD.

Tapi Nila tak sepakat suratnya disebut bertolak belakang dengan rekomendasi Satgas.

Nila berdalih, Kementerian berusaha bertindak santun dalam menyikapi polemik `cuci otak`.

"Saya menghormati rekan sejawat dan memilih tidak memutuskan dan mengumumkan masalah itu di depan publik," katanya di kediamannya, Patra Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa, 26 November 2019.

Terawan pun mengklaim Nila tak melarang metode IAHF.

"Saya diminta research by service, artinya service boleh jalan terus," katanya.

Mulyono, Kepala Staf Angkatan Darat yang menjabat semasa Terawan dijatuhi sanksi, tak menjawab surat permintaan wawancara yang ditujukan ke alamat rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur.

Dia pun tak mengangkat telepon dan tak membalas pesan pendek.

Ketika praktik Terawan dipersoalkan pada April 2018, Mulyono mengatakan IDI seharusnya tak serta merta menjatuhkan sanksi.

"Dokter Terawan itu kan institusi. IDI enak sekali menjatuhkan hukuman, aku disuruh hadir. Memangnya siapa?" katanya di Istana Negara. Mulyono juga membantah berkomunikasi dengan IDI menyangkut nasib Terawan.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar