Manifesto Joan Baez, Nyanyian Protes Untuk Melawan Ketidakadilan

Minggu, 01/12/2019 18:32 WIB
Joan Baez (Britanicca)

Joan Baez (Britanicca)

law-justice.co - “Aku hanya mau bilang, bahwa di dalam hidupku, hal yang membuat hidupku terasa bermakna dan disana saya merasa sempurna….bukanlah melalui uang dan ketenaran, melainkan ketika berdiri di hadapan mereka yang suaranya tidak didengarkan dan saya bisa melakukan sesuatu untuk hal itu.”

Kata-kata di atas diucapkan oleh Joan Baez, seorang penyanyi Amerika Serikat, dalam sebuah wawancaranya dengan surat kabar Inggris The Independent. Kata-kata itu sekaligus menjelaskan manifesto bermusik ala Joan Baez: bermusik untuk menyuarakan yang tertindas.

Itulah esensi dari musik protes. Musik protes merupakan sebuah respon terhadap keadaan: ketidakadilan, ketimpangan, perang, kekerasan, pembungkaman demokrasi, diskriminasi. Singkat kata, musik menjadi senjata untuk menggugat ketidakadilan. Joan Baez merupakan salah satu icon dari gerakan musik protes itu. Dan ia melakukannya sepanjang hidupnya.

Di bulan Agustus 1963, terjadi aksi besar-besaran di Amerika Serikat. Tepatnya di kota Washington. Jumlah peserta aksi mencapai 200.000-300.000 orang. Mereka menuntut pemenuhan hak-hak sipil, seperti pekerjaan, kemerdekaan, dan penghapusan diskriminasi.

Di pawai inilah Martin Luther King Jr, bapak pejuang kebebasan dan penghapusan rasialisme Amerika, menyampaikan pidatonya yang sangat bersejarah: I Have a Dream. Dan setelah pidato-pidato yang membakar semangat itu, dilantunkanlah lagu-lagu protes.

Di situ Joan Baez juga menyanyi. Ia melantunkan dua lagu: “We Shall Overcome” dan “All My Trials”. Lalu bersama kekasihnya saat itu, Bob Dylan, menyanyikan lagu “When the Ship Comes In”. Sejak itulah lagu “We Shall Overcome” menjadi semacam lagu kebangsaan para aktivis gerakan hak-hak sipil dan anti-perang.

Joan Baez lahir di New York, Amerika Serikat, tanggal 9 Januari 1941. Ayahnya, Albert Baez, seorang keturunan Meksiko. Sedangkan ibunya, Joan (Bridge) Baez, adalah keturunan Skotlandia. Percampuran itu punya pengaruh terhadap kehidupan Baez. Maklum, masyarakat AS saat itu masih diracuni oleh rasialisme. “Dengan nama Meksiko, kulit dan rambut, orang anglo-amerika tidak menerimaku. Dan orang-orang Meksiko pun tidak menerimaku karena tidak bisa berbahasa Spanyol,” keluhnya.

Lantaran ayahnya bekerja di UNESCO, Baez dan keluarganya harus berpindah-pindah kebanyak tempat, seperti Inggris, Perancis, Swiss, Spanyol, Kanada, dan Timur Tengah. Termasuk Irak. Di sanalah ia membaca novel Anne Frank, The Diary of Anne Frank. “Saya sangat terinspirasi dan tergerak. Aku tahu, aku banyak menangis saat membacanya dan membacanya lagi,” kata Baez.

Ia kemudian menggemari musik. Apalagi, seorang teman bapaknya menghadiahinya okulele. Saat menginjak usia 13 tahun, dia menghadiri konser penggalangan dana untuk Partai Demokrat di California. Kebetulan, di sana Pete Seeger juga tampil dengan musik-musik rakyatnya. Konser itu sangat berkesan bagi Baez. Ia merasa dirinya tergerak oleh musik yang dinyanyikan oleh baladis legendaris Amerika itu.

Karir musik Baez bermula di tahun 1950-an. Awalnya sering manggung di sekolahnya. Kemudian, ketika keluarganya pindah ke Boston, karena bapaknya mengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT), ia mulai menyanyi di kafe dan klub malam. Hingga pada sebuah klub malam, penampilannya menarik perhatian Bob Gibson, seorang penyanyi lagu-lagu rakyat. Tahun 1959, Bob mengundang Baez menyanyi di Newport Folk Festival. Sejak itulah namanya mulai bersinar.

Tahun 1960, ia mulai merekam album pertamanya yang diberi tajuk sama dengan namanya, Joan Baez. Salah satu lagunya terkenal dari album ini adalah: Fare Thee Well (10,000 Miles). Kemudian, pada tahun 1961, ia merilis album keduanya, Joan Baez, Vol. 2. Melalui album itu, Baez menjadi bagian dari kebangkitan musik nyanyian rakyat di AS.

Tahun 1961, Baez bertemu dengan Bob Dylan. Keduanya bertemu di Gerde’s Folk City, Greenwich Village. Keduanya pun saling terpikat dan menjadi sepasang kekasih. Baez dan Dylan beberapa kali tampil berduet. Salah satunya saat Pawai Gerakan Hak-Hak Sipil di Washington tahun 1963. Mereka juga merekam lagu bersama-sama. Awal 1965, keduanya melakukan tour keliling AS bersama-sama. Sayang, tak lama kemudian, keduaya memutuskan berpisah.

Di tahun itu pula Baez mulai terlibat dalam aktivisme politik, terutama dalam perjuangan hak-hak sipil dan kampanye menentang perang Vietnam. Tahun 1964, Ia menolak membayar pajak sebagai bentuk protes atas meningkatnya belanja militer untuk membiayai perang Vitnam. Ia juga turut membidani kelahiran gerakan bebas bicara di UC Berkeley. Tahun berikutnya, ia mendirikan Institut untuk Study Non-Kekerasan di dekat rumahnya di Carmel Valley. Tak hanya itu, bersama Cesar Chavez, ia memperjuangkan upah para pekerja migran perkebunan.

Yang cukup menonjol adalah keterlibatan Baez dalam gerakan menentang perang Vietnam. Selain menolak membayar pajak, Baez juga aktif dalam kampanye menentang wajib militer. Tahun 1967, Ia bersama aktivis anti-perang menggelar aksi duduk di sebuah sebuah pusat induksi militer di Oakland, California. Aksi itu berakhir dengan pembubaran dan penangkapan para aktivis, termasuk Baez. Ia dipenjara selama 10 hari.

Dalam gerakan inilah Baez bertemu dengan David Harris, seorang aktivis anti-perang. Keduanya saling jatuh cinta. Tak lama kemudian, tepatnya tahun 1968, keduanya sepakat menikah. Namun, tahun 1969, Harris dipenjara karena menolak wajib militer. Saat itu Baez sedang mengandung anaknya, Gabe. Tetapi usia pernikahan Baez dan Harris berlangsung sangat singkat. Tahun 1972, keduanya sepakat bercerai.

Tahun itu juga Baez mengunjungi Hanoi, Vietnam Utara, untuk membawakan pesan natal untuk para tahanan Amerika di sana. Namun, pada saat bersamaan, AS sedang mengebom Hanoi selama 11 hari. Baez menyebutnya “bom natal”. Kembali ke negerinya, Baez mengeluarkan album bertajuk “Where are you, My son?, dimana ia menulis: “perang di Indocina belum berakhir, dan perang melawan kekerasan baru dimulai.”

Di tahun 1970-an hingga 1980-an, Baez terus berkarya. Dan, tentu saja, karya-karyanya tidak jauh dari tema-tema sosial, perdamian, dan hak azasi manusia. Ia mengecam kekerasan di bawah rezim Pinochet di Chili. Ia juga mengecam perang di Bangladesh. Dia juga merekam lagu berbahasa Spanyol, “No Nos Moveran” (We Shall Not Be Moved), yang dilarang di Spanyol di bawah rezim Franco. Tahun 1978, ia berkunjung ke Irlandia utara. Di sana ia berbaris bersama rakyat Irlandia untuk menyerukan penghentian kekerasan.

Di tahun 1990-an, energi Baez untuk menggugat keadaan melalui lagunya tak juga mengendor. Dia menjadi penyanyi kenamaan pertama yang tampil di Sarajevo, ketika Bosnia-Herzegovia dicabik-cabik perang saudara. Dia juga banyak berkampanye mengenai hak-hak LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).

Di tahun 2003, ketika AS akan menyerbu Irak, Baez mengambil sikap menentang. Tak hanya melalui lagi, ia terlibat dalam aksi massa menentang perang Irak. Ia terus tampil dalam dua kali pawai yang melibatkan ribuan orang di San Francisco untuk menentang perang Irak. Tak jarang ia dituding tidak patriotik karena menentang perang tersebut.

Di tahun 2011, ketika gerakan “Occupy Wall Street” mewabah di AS, yang mengeritik keserakahan kapitalisme, Joan Baez juga beberapa kali tampil di tengah-tengah aksi massa. Padahal, usianya sudah kepala tujuh. “Aku ke sini untuk berbicara dengan rakyat,” katanya.

Ya, Joan Baez menempuh jalur “lagu protes” hingga masa tuanya. Dan ketika puja-puji banyak dialamatkan kepadanya, dia hanya bilang, “jika orang ingin memberi label ke saya, maka saya lebih senang label pertama sebagai humanis, label kedua sebagai pasifis, dan ketiga sebagai penyanyi lagu-lagu rakyat.” (Berdikarionline)

(Hidayat G\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar