Himawan Sutanto, Aktivis 1980-an

Esensi Menolak Kembalinya Pilpres Ala Orba

Kamis, 28/11/2019 14:15 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bertemu dengan ketua PBNU KH Aqil Siradj di kantor pusat PBNU, Jakarta (27/11). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bertemu dengan ketua PBNU KH Aqil Siradj di kantor pusat PBNU, Jakarta (27/11). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)

Jakarta, law-justice.co - Usulan Ketua MPR Bambang Soesatyo agar pemilihan presiden kembali digelar secara tak langsung. Presiden dan Wakil Presiden sebaiknya dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), seperti pada Pemilu 1999 menuai banyak perlawanan. Alasannya adalah salah satu yang bisa merealisasikan presiden dipilih MPR, yakni kerumitan dalam pelaksanaan Pilpres 2019 yang juga mengakibatkan polarisasi tajam di masyarakat.

Hal diatas sangat memberi kesan, bahwa gagasan mengembalikan kepada pemilihan lewat MPR adalah gagasan politisi bingung kepada kekuasaan. Sebab cara pandang Bamsoet telah menunjukkan bahwa dia seorang yang anti reformasi dan demokrasi. Apalagi Sistem ini juga diusulkan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono. Hendro menilai, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat justru menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Sementara realitasnya pilpres selalu berlangsung aman dan damai. Lantas kegaduhan yang disebut diatas adalah tidak mendasar. Sebab proses politik menjadi dinamis ketika memiliki ukuran jelas. Sementara proses politik kita selalu menggunakan sentimen politik kepada orang yang tidak disukai secara personal. Bahkan demokrasi semestinya harus terus dijaga dan diperbaiki secara bertahap agar memiliki kesempurnaan sistemnya.

Bahkan yang menarik Bamsoet mencari dukungan ke NU, pertanyaannya apakah langkah Bamsoet itu adalah langkah partai ? Atau hanya seorang politisi yang ingin mengembalikan kejayaan Orba ?

Awal Demokrasi Terbuka

Dalam proses demokrasi, Indonesia menempati lima besar dunia sebagai negara demokrasi. Sebagai negara yang telah melakukan Pemilihan umum, Indonesia telah mengadakan pemilu sebanyak 12 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019.

Pemilihan umum --pemilu di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan. langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pemilu harus dilakukan secara berkala, karena. memiliki fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya.

Pemilu 2004 merupakan pemilu. pertama di mana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres 2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto.

Pilpres 2014 diselenggarakan pada 9 Juli 2014. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan suara sebesar 53,15%, mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dalam pemilu ini sepertinya ada perubahah yang mendasar, yakni tentang perilaku masyarakat. Sebab dalam pemilu ini ketika Jokowi terpilih tanda-tanda adanya pembelahan rakyat mulai nampak. Itu kita bisa lihat secata kasat mata, bahwa pemerintah tidak bisa mengantisipasi kejadian tersebut dan sepertinya ada "pembiaran" secara masif dan puncaknya adalah ketika pilgub DKI Jakarta tahun 2017.

Kekuasaan Untuk Rakyat

Usulan Bamsoet sebagai Ketua MPR menunjukkan adanya kebingungan politisi dan kemunduran demokrasi. Sebab gagasan itu sebagai sebuah konfirmasi, bahwa Bamsoet akan mengembalikan semangat Orde Baru. Bamsoet terkesan tidak mau ada perubahan dan ingin menegaskan kembalinya Orba, kemudian mempertahankan oligarki kekuasaan yang masih ada sampai sekarang.

Yang menarik adalah sikap Presiden Jokowi yang menyatakan tidak setuju dengan gagasan pilpres lewat MPR. Jokowi menilai sistem pilpres saat ini sudah tepat. Jokowi beralasan, dia terpilih menjadi presiden karena sistem pilpres yang langsung dipilih rakyat. Sehingga, pilpres tidak perlu kembali ke sistem lama.

Sikap Presiden tersebut nampaknya senada dengan Partai Demokrat dan PKS. Sebagai Partai yang pernah berkuasa selama 10 tahun, Demokrat adalah partai yang mengawalk sebagai pemenang pilpres sangat tegas menolak. Lewat fraksi di DPR, Partai Demokrat dan PKS adalah dua partai yang paling konsisten menolak gagasan diatas. Sebab tidak mungkin kekuasan akan dijadikan alat mencederai rakyat.

Sementara Firman Noor dari LIPI mengatakan Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran. Banyak indikasi yang membuktikan penurunan kualitas demokrasi. Makin meluas berpolitik a`la post truth, politik yang mengedepankan emosi ketimbang rasio, munculnya parpol bergaya firma yang kental nuansa oligarki, hingga demokrasi dibajak para elit yang mengatasnamakan rakyat.

Secara global, kemenangan Brexit di Ingggris dan Donald Trump di AS membuktikan bagaimana menangnya post truth dalam politik. Dimana para politisi berani melakukan apapun termasuk kebohongan untuk memenangkan sebuah kontestasi.

Dilihat dalam konteks Indonesia, keterpurukan demokrasi tidak saja dirasakan oleh para akademisi di tanah air. Tetapi harian ternama di Inggris The Guardian juga mulai meragukan komitmen Presiden Jokowi dalam menjaga demokrasi. Apa yang disampaikan oleh Guardian tampak seolah mempertanyakan label A New Hope yang pernah diberikan majalah Time kepada Jokowi.

Dalam hal diatas kita harus mampu memperbaiki kualitas demokrasi dengan cara tidak menjadikan demokrasi sebagai alat kekuasaan saja. Melainkan sebagai wahana merubah cara pandang kita bahwa kekuasaan untuk rakyat. Bukan rakyat untuk kekuasan dan yang selama ini terjadi. Sedangkan pemilihan langsung yang sekarang ini tinggal niat elit saja untuk memperbaiki, bukan dengan berpikir mundur, tapi berpikir maju untuk kualitas pemilu yang luber.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar