Himawan Sutanto, Aktivis 1980-an

Dari Kabir Hingga Borjuasi Milenial

Minggu, 24/11/2019 00:01 WIB
Presiden Joko Widodo memperkenalkan 7 orang yang menjadi staf khususnya. Pengumuman itu dilakukan di beranda Istana Merdeka, Jakarta. (Foto: KOMPAS.com)

Presiden Joko Widodo memperkenalkan 7 orang yang menjadi staf khususnya. Pengumuman itu dilakukan di beranda Istana Merdeka, Jakarta. (Foto: KOMPAS.com)

Jakarta, law-justice.co - Ketika Presiden Jokowi mengumumkan tujuh orang staf khususnya yang diambil dari kaum milenial, banyak decak kagum dengan mengatakan "wow keren".

Sebab siapa sangka Presiden Jokowi mempercayakan staf khususnya diambil dari kaum milenial yang sukses di bidangnya.

Sekolah di luar negeri semua, dengan prestasi yang membanggakan. Perjalanan panjang merekapun beragam dan berliku-liku.

Hal itu menimbulkan kekaguman presiden dengan mengatakan bahwa mereka ketujuh anak muda ini akan menjadi teman diskusi saya, harian, mingguan, bulanan, memberikan gagasan segar yang inovatif.

Adapun ketujuh staf khusus itu memiliki bidang keahlian masing-masing, dari sektor kreatif, pendidikan, hingga teknologi keuangan. Ada pula pemuda asal Papua hingga penyandang disabilitas.

Terlebih mereka akan digaji sekitar Rp51 juta per bulan berdasarkan beleid yang diterbitkan Jokowi pada tahun 2015.

Mereka semua akan menjadi jembatan Jokowi dengan anak-anak muda, santri, diaspora yang tersebar di berbagai tempat, dan Jokowi yakin dengan gagasan segar kreatif untuk membangun negara ini.

Kita akan liat nanti apakah gagasan itu bisa diterapkan dalam pemerintahan? Itulah pertanyaan yang muncul dibenak kita. 

Politik Berdikari

Pergolakan politik Indonesia ternyata tidak segampang apa yang dibaca Jokowi, begitu juga penyelesaiannya. Dimana negara sedang menghadapi krisis ekonomi dengan pertumbuhan yang stagnan di 5 persen, dibandingkan dengan pemerintahan SBY pada posisi 6,2 persen.

Padahal tahun 2008 juga mengalami krisis yang sama namun bisa keluar dari krisis dan pertumbuhan ekonomi mengalami kemajuan. Hal itu bertahan sampai pergantian kepemimpinan ke Jokowi. 

Sementara pada pemerintahan Jokowi pertumbuhan ekonomi stagnan dalam periode pertama memimpin.

Melihat hal diatas, saya akan mengajak untuk melihat ke belakang, yaitu sejak di era Soekarno. Dimana krisis itu juga terjadi, bahkan pergolakan politik yang penuh dengan upaya semangat terwujudnya nasionalisme menjadi kuat karena dua kubu terus menerus menyerang.

Idiom naaionalisme menjadi penting, sebab menurut Soekarno, jika ingin menjadi sebuah bangsa yang besar, Indonesia harus Berdikari (berdiri diatas kaki sendiri).

Dimana semakin banyak pendapat perlunya Indonesia melepaskan ketergantungan pada pihak asing dan menjadi bangsa yang mandiri. Hal itu sesuai dengan semangat Nawacita yang menjadi jargon awal pemerintahan Jokowi periode 2014-2019.

Pendapat diatas juga dikemukakan oleh MUI ketika diterima presiden Megawati Soekarnoputri ketika menjadi Presiden. Karena, baik Presiden maupun MUI rupanya punya pandangan sama bagaimana Indonesia nantinya menjadi bangsa mandiri dan berdikari. 

Perlu diketahui, bahwa politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965: `Tahun Berdikari’. Sekalipun prinsip politik berdikari sering dikemukakannya pada tahun-tahun sebelumnya.

Dalam pidato 17 Agustus 1964 misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip --Tahun Vivere Pericoloso. Di sini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari.

Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga-tiganya prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan dan dipreteli satu sama lain.

Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya.

Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdikari, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan.

Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Ia tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking.

Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.

Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah : “Go to hell with your aid” seringkali ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.

Hal itu sekarang menjadi nyata tentang kondisi kita yang jauh dari Nawacita ataupun berdikari.

Dari hal di atas kita bisa melihat dan membaca dalam referensi yang ada, ketika menjelang Orla berakhir, munculah istilah Kabir 

Kapitalisme birokrasi sangat kencang disuarakan saat itu, karena pada saat itu para pejabat memulai dengan gaya kapitalisnya dan ternyata istilah Kabir sendiri berarti kapitalis birokrasi yang cenderung penyalahgunaan kekuasaan oleh kaum birokrat karena memegang kendali kekuasaan negara yang di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten atau kota yang secara langsung melayani kepentingan imperialisme untuk memperkaya dirinya sendiri dan keluarga atau untuk mengumpulkan kapital dalam rangka mempertahankan dan menaikkan posisinya dalam pemerintahan.

Kaum kapitalis birokrat (kabir) adalah kelas parasit yang khas dalam sistem masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal yang bergantung pada penghisapan feodalisme.

Tidak memiliki industri nasional, dan bergantung pada kapital milik imperialis. Mereka pelayan setia imperialis dan sekutu kelas penghisap dalam negeri, borjuasi komprador dan tuan tanah besar, dalam mempertahankan sistem jahat untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan finansial untuk memperkaya diri. 

Selama negara RI masih negara setengah jajahan yang bergantung dari kapital milik imperialis maka pembentukan kapital sendiri dalam negeri sangat tidak mungkin dan menjadikan praktek korupsi tetap marak dan luas.

Lalu pada 1970 Orde Baru memulai dengan oligarki baru, yang sampai sekarang kekuatan para oligark masih sangat kuat.

Dari tulisan saya di atas, saya jadi tergelitik dengan tulisan Yusran Darmawan yang ditulis dalam bloknya dengan judul Para stafsus milenial yang borjuis disini Yusran menulis dengan kritis dan memberikan cara pandang kita menjadi berubah melihat Indonesia dari sisi kekinian?

Sebab tulisan Yusran jadi mengingatkan saya pada istilah Kabir (seperti di atas) di era Indonesia menghadapi Gestapu.

Sebab tulisan Yusran adalah cara pandang yang kontekstual, Yusran bisa membandingkan dengan kritis terhadap para stafsus presiden dengan para pejuang kemanusian, keadilan, kebenaran yang sudah tidak "dipedulikan" lagi oleh negara.

Bahkan kematian para mahasiwapun tidak menjadi penting, apalagi warga pendatang yang dibunuh di Wamena. Karena berita kematian mahasiswa dan pembunuhan warga pendatang dianggap merugikan investasi.

Dalam hal di atas Yusran menulis dengan sangat enak dan gamblang dengan mengatakan;

"Kalau hanya mengandalkan idealisme dan semangat perlawanan, kalau hanya punya rasa cinta tanah air, kalau hanya punya pekik melawan ketidakadilan, kalau hanya punya prestasi hebat di sekolahan hingga jadi ilmuwan, jangan mimpi untuk masuk istana. Sebab negara hanya mengakui eksistensi mereka yang punya usaha, sukses, dan kaya."

Lebih jauh Yusran mengatakan, "saya melihat kategori mereka yang terpilih sebagai stafsus ini terlampau seragam. Kriterianya terlalu borjuis. Pemerintah kita tidak melihat banyaknya keragaman serta kisah dari anak muda yang tersebar di seluruh Indonesia".

Pernyataan di atas kemudian memiliki tafsir yang beragam dan kita bisa melihat secara kasat mata, bahwa Jokowi meletakkan pondasi pemikirannya dan informasinya terhadap cara mengatasi persoalan bangsa ini dengan logika mengandalkan Milenial Borjuis kata Yusran.

Dimana anak muda yang paham dengan starup dan kuliah di luar negeri dan memiliki kemampuan dalam bidang tehnologi akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa yang sangat kompleks, dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang stagnan di 5 persen.

Lalu mengesampingkan pelanggaran HAM yang semakin banyak, sehingga terjadi kemunduran demokrasi dalam survey Lingkaran Survey Indonesia.

Jadi tak salah, jika Yusran mengkritisi dengan tajam dan gaya sederhana ala milenial bahwa pemerintah kita hanya melihat satu sisi, tanpa melihat betapa banyaknya anak muda hebat dengan kisah memukau di seluruh Indonesia. Mereka tidak harus kaya dan sukses, tetapi punya dampak bagi sekitarnya.

Dari pernyataan diatas kita bisa melihat bahwa masalah sebenarnya itu adalah tidak cuma menggunakan anak muda yang ahli starup dan tehnologi saja, tetapi yang juga paham akan hukum, pelanggaran HAM dan polarisasi politik yang semakin berkembang.

Sementara korupsi dan suap adalah praktik minus terbesar bangsa ini dalam posisi yang sudah akut.

UU KPK yang kontroversial dan ditolak mahasiswa serta elemen masyarakat saja tidak pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Sementara itu secara legal oligarki terus berusaha menambah pungutan-pungutan dan memanipulasi anggaran negara untuk menaikkan gajinya sendiri dan menaikkan anggaran bagi kementerian, provinsi atau pun kabupaten yang dipimpin.

Mereka terlibat dalam proyek-proyek milik negara atau kerjasama dengan swasta sebagai pembuat keputusan, penjamin, pelaku proyek, dan berperan sebagai tukang pukul untuk menakuti-nakuti atau menindas rakyat.

Hal itu sudah menjadi watak dasar dari pejabat negara guna mengumpulkan kekayaan untuk kepentingannya sendiri. Meskipun tidak semua pejabat di sebuah lembaga negara dapat disama ratakan. Masih ada juga yang baik tapi diam. 

Adapun para pejabat yang berada di pemerintahan pusat sampai pemerintahan tingkat dua sebagai struktur terendah yang memiliki wewenang pengambilan keputusan strategis sesuai undang-undang otonomi daerah, tetap saja berkolaborasi dalam klik kepentingan dengan oligarki. 

Sejarah panjang negara ini telah menjadi catatan kita pada anak cucu. Sebab sejarah bojuasi telah ada sejak pemerintahan jajahan Belanda di era Tanam Paksa sampai sekarang.

Pada era Soeharto, dana besar didapatkan dari borjuasi komprador dan tuan tanah yang mendapatkan konsesi penguasaan lahan lewat HGU dan HPH serta bisnis lainnya.

Dana-dana itu diolah bagi kepentingan pribadi dan politiknya melalui yayasan sosial milik Soeharto. Ironisnya, cara lain kini dipraktikkan oleh munculnya borjuasi milenial menambah berbagai lembaga negara yang baru dan memanipulasi aspirasi rakyat. Saya jadi teringat kata Bung Karno "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri".

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar