Cukai Rokok Naik Hasil Lobby Bloomberg, Menkeu Korbankan Rakyat

Minggu, 24/11/2019 08:02 WIB
Tarif Cukai Rokok (Fajar.co.id)

Tarif Cukai Rokok (Fajar.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Setelah anggota Komisi XI DPR, Misbakhun mempertanyakan langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) rokok yang akan resmi berlaku 1 Januari 2020 mendatang, menimbulkan polemik dari berbagai stakeholder terkait.

Kenaikan tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Tercatat, besaran kenaikan cukai rokok pada PMK yang ditandatangani 18 Oktober lalu, rata-rata 23 persen.

Misbakhun mempertanyakan kebijakan Sri Mulyani yang dirumuskan tanpa sedikit pun berbicara dengan DPR sebagai pihak legislatif, khususnya Komisi XI sebagai mitra kerja Kemenkeu. “Kebijakan yang terkesan mendadak ini dikhawatirkan kental dengan agenda dan kepentingan asing di luar visi-misi Presiden Jokowi,” ujar Misbakhun.

Misbakhun menyebut Sri Mulyani merupakan anggota Task Force on Fiscal Policy for Health (Satuan Tugas dalam Kebijakan Fiskal untuk Kesehatan) yang diprakarsai oleh Bloomberg, perusahaan multinasional di bidang layanan finansial, media, serta perangkat lunak yang didirikan oleh Michael Bloomberg.

Michael akan ikut maju dalam Pemilihan Presiden AS yang digelar 2020 mendatang melalui Partai Demokrat. Menurut Misbakhun, kepentingan asing yang dapat berpengaruh kepada kebijakan dalam negeri sangat merugikan kepentingan masyarakat. Apalagi sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani seharusnya fokus pada kebijakan yang menggerakkan ekonomi termasuk dari komoditas rokok.

Task Force on Fiscal Policy for Health Bloomberg Philantropies dipimpin langsung oleh pengusaha Amerika Serikat Michael Bloomberg. Pada 2006, mantan Walikota New York itu meluncurkan Bloomberg Initiative dalam rangka kampanye mengurangi penggunaan tembakau.

Oleh karena itu Misbakhun mengatakan, publik tak merasa heran bila agenda dan kepentingan asing mewarnai kebijakan pemerintahan. Hanya saja, ia menyayangkan jika sampai kebijakan Sri Mulyani menjadikan rakyat kecil sebagai korban.

“Jadi jangan heran apabila di luar visi misi Jokowi sebagai presiden, ada juga agenda dan kepentingan asing dan kerugian akibat agenda titipan itu tidak hanya ditanggung petani tembakau, tetapi juga memunculkan efek berantai bagi stakeholder lainnya," paparnya.

“Siapa yang dirugikan oleh kepentingan asing yang menginfiltrasi kebijakan itu? Yang jelas rakyat Indonesia. Yakni para petani tembakau, pedagang kecil, para buruh yang hidupnya tergantung pada komoditas tersebut,” tegas Misbakhum.

Sementara produsen rokok UKM, meminta Pemerintah agar memperhatikan pengenaan cukai untuk struktur golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Pemerintah harus mengkaji kembali batasan produksi dalam struktur tarif cukai untuk SKT. Saat ini, pabrikan SKT kecil dan menengah, yaitu golongan II dan III, mempunyai batasan produksi sejumlah 2 milyar batang (gol II) dan 500 juta batang (gol III) per tahun.

Setiap penambahan produksi 1 milyar batang, setara dengan penambahan jumlah tenaga kerja 2.000-3.000 orang. Hal ini juga akan berdampak positif pada penerimaan Negara dari cukai. “Pemerintah mesti mempertahankan preferensi tarif dan harga bagi jenis SKT ini. Hal ini akan membantu SKT sebagai industri padat karya yang memproduksi produk rokok khas Indonesia, ujar Syarkowi, pengusaha rokok SKT kecil kepada Law-Justice.co, Sabtu (23/11). 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar