Erick Tohir Dilema, Antara Kekuasaan dan Korporasi

Kamis, 21/11/2019 14:50 WIB
Mantan Menteri BUMN, Rini Soemarno dan Menteri BUMN, Erick Thohir. (Katadata)

Mantan Menteri BUMN, Rini Soemarno dan Menteri BUMN, Erick Thohir. (Katadata)

Jakarta, law-justice.co - Apes bener Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, baru sebulan dilantik sudah mendapat masalah dengan mengeluarkan sosok nama Ahok dalam jajaran direksi atau komisaris di sebuah BUMN bidang energi. Erick Thohir pasti tidak menyangka bahwa nama Ahok menjadi kontroversi yang membuat kinerjanya akan sangat mengganggu. Bak bola liar nama Ahok menjadi muncul kembali dan seolah-olah negeri ini hanya ngurusi Ahok.

Sepertinya nama Ahok juga muncul karena ada kepentingan tertentu yang melatar belakanginya. Menurut Rizal Ramli, mantan Menko Ekonomi dalam pemerintahan Gus Dur, menyayangkan kepada Presiden Jokowi dalam membalas budi kepada Ahok. Sebab Jokowi bisa melakukan balas budi menjadikan Ahok sebagai duta besar saja. Rizal sendiri menolak karena Ahok tidak memiliki rekam jejak sebagai pengusaha yang memiliki kapasitas tersebut. Sebab menjadi beban sangat berat jika Ahok menjadi pejabat di BUMN. Di samping itu Ahok masih memiliki kasus di Jakarta ketika masih menjadi Gubernur dengan memberi tanah miliknya pemda sendiri di Cengkareng, kasus RS. Sumber Waras dan kasus lainnya.

Miskin Narasi Dan Miskin Gagasan

Kalau kita lihat sejarah BUMN adalah sangat panjang mengingat peran, fungsi dan kontribusi BUMN terhadap keuangan negara sangat signifikan, maka sejak tahun 1998, Pemerintah Republik Indonesia mengubah bentuk organisasi pembina dan pengelola BUMN menjadi setingkat Kementerian.

Awal dari perubahan bentuk organisasi tersebut terjadi dimasa pemerintahan Kabinet Pembangunan VII, dengan nama Kementerian Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembinaan BUMN. Menteri pertama yang bertanggung jawab atas pendayagunaan BUMN tersebut adalah Tanri Abeng. Pada masa ini sempat digagas tentang BUMN Incorporated, sebuah bangun organisasi BUMN berbentuk super holding.

Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2001, struktur organisasi Kementerian ini sempat dihapuskan dan dikembalikan lagi menjadi setingkat eselon I di lingkungan Departemen Keuangan. Dirjen Pembinaan BUMN waktu itu dijabat oleh I Nyoman Tjager.

Namun, di tahun 2001, ketika terjadi suksesi pucuk kepemimpinan Republik Indonesia, organisasi pembina BUMN tersebut dikembalikan lagi fungsinya menjadi setingkat Kementerian sampai dengan periode Kabinet Indonesia Bersatu.

Menteri yang menangani BUMN digabungkan dengan penanaman modal, sehingga disebut Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN yang dipercayakan kepada Laksamana Sukardi. Beliau kemudian digantikan oleh Rozy Munir. Selanjutnya, ketika kembali terjadi pergantian Presiden RI, di bawah kabinet yang disebut Kabinet Gotong Royong, Laksamana Sukardi kembali menjadi Menteri BUMN. Kala itu, kembali dipisahkan antara pembinaan BUMN dengan penanaman modal. Laksamana Sukardi menjadi Menteri BUMN dari tahun 2001 hingga 2004.

Kemudian, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih jadi Presiden di tahun 2004, terjadi pergantian Menteri yang menanggani BUMN ini. Dalam masa Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, Sugiharto dipercaya menjadi Menteri Negara BUMN (2004-2006), yang kemudian digantikan Sofyan A. Djalil (2006-2009) dan Mustafa Abubakar (2009-2011). Selanjutnya Dahlan Iskan menjadi Menteri Negara BUMN dalam Kabinet Indonesia Bersatu II (2011-2014). Pada era Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo menunjuk Rini M. Soemarno sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara untuk Periode 2014-2019.

Dari sejarah panjang itu, Erick Thohir seharusnya mampu memberikan satu resep yang baik buat menyehatkan dan memperbaiki BUMN yang rugi. Adanya pembersihan mafia yang selama ini telah merugikan bangsa dan negara lewat BUMN. Erick Thohir yang sudah lama berkecimpung sebagai pengusaha harus mampu menunjukan kinerjanya, bukan justru membuat gaduh dengan suasana bangsa ini yang semakin kondusif. Apalagi penyanderaan kasus Erick Thohir waktu di KOI juga menjadi sebuah ancaman bagi dirinya kelak.

Kegaduhan itu terjadi bermula ketika Erick Thohir memanggil Ahok dan Erick Thohir tidak memberikan syarat-syarat dengan narasi perbaikan yang perlu dikerjakan dalam kepemimpinannya. Hal itu penting bila persoalan BUMN itu apa dan bagaimana solusinya. Jadi narasi perbaikan menjadi awal yang ditawarkan oleh Erick Thohir kepada DPR. Supaya publik juga tahu langkah-langkah yang dilakukannya.

Hal di atas belum dilakukan, akan tetapi justru memunculkan sosok yang kontrovesial. Posisi Erick Thohir memang tidak bisa lepas dari kekuasaan. Di mana kepentingan penguasa juga harus diakomodasi. Sebab kalau tidak mampu mengakomodasi, Erick pasti akan menjadi korban politik.

Hal di atas sangat wajar, sebab selama ini kepentingan politik lebih dominan dibanding profesionalitas. Belum juga Erick Thohir harus mampu mengakomodir para relawan yang duduk di komisaris perusahaan BUMN kelas utama dan anak perusahaannya. Hal itulah posisi Erick Thohir menjadi dilematis. Sebab perusahaan pelat merah tersebut adalah sebagai kekuatan logistik kekuasaan. Pertanyaannya apakah Erick Thohir mampu melewati rintangan tersebut di atas ataukah akan terpuruk diterpa kekuatan oligarki yang ada? Sebab, kekuatan oligarki masih mendominasi kekuasaan politik yang ada. Hanya berbekal narasi perubahan dalam membuat BUMN itu bisa sehat dan untung, jika dipimpin para profesional di bidangnya.

Pertanyaan di atas bisa dijawab jika Erick Thohir mampu memberikan ide gagasannya dalam bentuk narasi yang baik, dan bisa dipresentasikan secara terbuka di depan DPR dan publik. Bahwa hal itu penting ketika menunjuk seseorang yang tepat bisa membantu merealisasikan ide gagasannya dalam perbaikan BUMN. (Dilansir dari Watyutink.com)

Aktivis 1980-an
Himawan Sutanto

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar