Nursyahbani Katjasungkana: Sembilan dari 10 Hakim Masuk Neraka

Rabu, 20/11/2019 19:37 WIB
Nursyahbani Katjasungkana (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

Nursyahbani Katjasungkana (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

law-justice.co - “Sudah diriwayatkan oleh nabi, bahwa sembilan dari 10 hakim akan masuk neraka. Profesi hakim sangat berbahaya,” tutur Nursyahbani mengenang ucapan sang ayah, saat ia menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang hakim. “Dulu sebenarnya ayah tidak setuju saya mengambil jurusan ilmu hukum. Apalagi waktu saya sampaikan keinginan saya yang ingin menjadi hakim,” lanjut Nursyahbani

Ayah Nursyahbani memang tidak ingin anak ke enam dari tujuh bersaudara ini menjadi hakim. Baginya, dalam profesi tersebut terbuka peluang besar untuk melakukan kejahatan, dan banyak hakim di zaman nabi yang jatuh ke dalam dosa dan masuk neraka.

Nursyahbani Katjasungkana, seorang pengacara yang juga aktivis pembela hak-hak perempuan, lahir di Jakarta, 7 April 1955 dari pasangan R. Katjasungkana yang masih keturunan Raden Pamekasan dan Situ Maimunah yang asli Betawi.

Meski lahir di Jakarta, masa kecil dan remajanya ia habiskan di Jawa Timur. Nursyahbani yang saat itu baru berumur sekitar tiga bulan dibawa orangtuanya pindah ke Madura, lalu ke Sampang, kemudian ke Pasuruan di mana ia menyelesaikan sekolah dasarnya. Dari Pasuruan, keluarga ini berpindah lagi ke Malang. Di kota inilah Nursyahbani menunaikan pendidikan SMP hingga SMA dan melanjutkan S1 di Universitas Airlangga (Unair) jurusan ilmu hukum.

Lulus kuliah, ia memulai karirnya sebagai pengacara di di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) selama setahun. Ia kemudian dipercaya sebagai wakil direktur di lembaga itu selama tiga tahun. Di LBH inilah, Nursyahbani mulai serius terlibat menangani kasus-kasus yang menimpa kaum perempuan.

Di organisasi, Nursyahbani aktif di Work Group Coordinator of Indonesia NGO Forum on Women. Ia memimpin proyek penelitian tentang gender dan akses kepada keadilan, yang disponsori oleh APWLD, Kuala Lumpur dan menjadi konsultan hukum untuk program advokasi peran dan posisi perempuan di Solidaritas Perempuan sejak 1990.

Kariernya terus menanjak. Ia didaulat sebagai Sekjen Koalisi Perempuan untuk  Keadilan dan Demokrasi, Board Member of Women Law and Development International, dan pada tahun 1998,  ia menjadi anggota Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan.

Setelah malang-melintang sebagai aktivis perempuan, Nursyahbani terjun ke dunia politik praktis. Ia menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Kebangkitan Bangsa,  Dapil Jawa Timur untuk periode  2004-2009. Setelah tak di DPR, ia kembali ke habitat lamanya, sebagai advokat dan aktivis perempuan serta menjadi anggota Tim Gabungan Usaha Percepatan Pembangunan (TGUPP).

Belum lama ini law-justice.co mendapat kesempatan bertemu dengan Nursyahabani, dan berbincang santai mengenai masa kecil, beragam kasus yang pernah ditanganinya, dan cita-citanya yang belum kesampaian. Berikut petikannya:

Menghabiskan masa kecil di mana?

Saya lahir di Jakarta memang karena ibu orang Betawi. Tapi menurut ibu, sekitar umur tiga atau empat bulan saya dibawa ke Madura, karena ayah saya yang waktu itu menjabat supervisor di British American Tobacco terlampau kritis terhadap diskriminasi yang terjadi antara orang asing dengan pribumi, dalam hal fasilitas dan gaji. 

Kebetulan kakaknya ayah saya, Kepala Bareskrim pertama yaitu Sosrodanukusumo dan Kapolrinya saat itu adalah Soekanto. Sehingga para manager bule yang diskriminatif itu di persona non grata kan, tapi ayah juga sepertinya diberhentikan. Akhirnya ia membawa keluarganya pulang ke Madura, termasuk saya yang masih bayi. Di sana ayah bertani tembakau, saya masih ingat waktu itu ikut bantu-bantu membersihkan ulat, bahkan masih ada bekasnya saat saya kena arit.

Namun, tidak begitu lama setelah pindah ke Madura, ayah dijemput oleh Bupati Pamekasan atas perintah Bung Karno, karena dia memang bersahabat dengan Bung Karno, berteman sejak jaman pergerakan. Ayah saya ini adalah ketua atau pengurus Jong Indonesia di Solo yang mewakili Kongres Pemuda pada tahun 1928.

Mungkin saat itu Bung Karno teringat di mana sahabatnya ini. Ayah dan Bung Karno merupakan teman berdebat, sebab ayah pembaca buku berat, buku apa saja dibacanya. Sejak muda, ia juga sudah aktif seperti Kongres Pemuda itu, umurnya baru 20 tahun ketika itu.

Semuda itu, ayah sudah ikut berpartisipasi dalam proses melahirkan Sumpah Pemuda, saat itu ia menjadi panitia. Selain gemar membaca, ayah juga menguasai banyak bahasa seperti Belanda, Inggris, Cina, dan Latin. Memang juga karena dia anak seorang raden atau wedana di Sampang maka ia bisa belajar di sekolah Belanda.

Selama perjalanan hidup Anda hingga seperti sekarang ini, punya pengalaman yang paling berkesan?

Oh ya, saya itu dibesarkan di kalangan orang Madura hanya sampai umur tujuh tahun mungkin. Dan saat kelas dua itu tahun 1960, ayah pindah ke suatu dusun kecil di Pasuruan. Waktu itu selain ayah diangkat menjadi Dewan Nasional oleh Bung Karno, itu semacam Dewan Pertimbangan Agung (DPA) atau semacam Wantimpres tapi dengan dekrit dibubarkan dan dibentuk MPRS.

Ayah adalah utusan Jawa Timur yang dicalonkan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), ayah memang orang PNI. Tapi jauh sebelum itu, sesudah Sumpah Pemuda, ayah mendirikan sekolah di Singaraja dan itu ada di bukunya Nyoman S. Pendit yaitu “Bali Berjuang” dan di situ disebutkan, ayah mendirikan sekolah di samping mendirikan kursus politik untuk partai Parindra.

Ayah kemudian pindah ke suatu dusun yang tidak ada di peta sama sekali, tanahnya luas kurang lebih 8000 meter dan penuh dengan segala macam buah-buahan. Di sekitar tempat tersebut masih asri, dan sekitar satu kilometer dari rumah,  mengalir sungai yang sangat jernih sekali, yaitu sungai Sumber Porong. Saya dibesarkan di dalam lingkungan pertanian seperti itu. Nah, memang agak menyesuaikan diri karena  waktu tinggal di Pamekasan lalu pindah ke Sampang itu kan kota. Kalau sekolah ya pakai sepatu, tapi ketika pindah ke desa itu, saya lihat semua anak tidak pakai sepatu. Lalu saya ditertawakan karena berangkat sekolah yang melewati sawah, pakai sepatu.

Alhasil, sepatu saya selalu penuh dengan tanah yang  melekat, karena itu lama-lama saya ikutan tidak pakai sepatu. Awalnya tidak biasa, ya karena kaki jadi sakit, apalagi suka menginjak tanaman berduri. Dari situ saya belajar mengenai alam dan tumbuh bersama dengan anak-anak desa merajut mimpi.

Kalau sore kita suka tidur-tiduran di rumput melihat matahari tenggelam dan awan-awan yang membentuk sesuai fantasi kita. Saya tumbuh di sana hingga lulus SMA dan kuliah di Universitas Airlangga. Itu yang paling berkesan dalam hidup saya, merasakan tumbuh di lingkungan pedesaan dan perkebunan.

Ngomong-ngomong, lebih dekat ke ibu atau ke ayah?

Kalau soal politik saya lebih sering bersentuhan dengan ayah. Karena dulu rumah sering ramai dikunjungin teman-teman ayah. Selain itu, ia  juga memiliki banyak buku bacaan tentang politik, jadi bukan hanya disuruh untuk banyak membaca tetapi juga diminta untuk mencintai buku. Makanya dulu kita sering disuruh menjemur buku karena rumah berada di antara Gunung Arjuno, Gunung Semeru dan Bromo jadi hawanya dingin, lembab dan berembun.

Belajar bahasa Inggris lewat radio Australia pukul lima pagi sebelum sekolah juga sudah menjadi kewajiban,  karena pukul enam saya sudah berangkat ke sekolah.

Setiap ulang tahun, ayah selalu memberi saya hadiah buku. Beliau meninggal tahun 1985. Jadi ayah memang yang paling berperan dalam perjalanan karir saya, terutama dalam dunia politik. Tapi bukan berarti saya tidak dekat dengan ibu. Ibu saya adalah orang di belakang layar. Ia adalah contoh kesederhanaan karena memang berasal dari keluarga sederhana di Kampung Melayu. Ayahnya pedagang manisan buah. Kejujuran dan kesederhanaan itu yang berpengaruh besar kepada saya. Kata-katanya yang selalu saya ingat, “ kejujuran adalah jalan sebaik-baiknya”.

Biasanya, jika saya mengantuk di kelas, kalimat itulah yang selalu saya tulis di buku “kejujuran adalah jalan sebaik-baiknya”. Ada juga kata-kata ayah yang selalu saya ingat, “Indonesia tanah airku, cinta tanah air adalah berjuang menegakkan keadilan”. Dua pesan dari ayah dan ibu itu, terus saya ingat di mana pun saya berada.

Selama memberikan bantuan hukum, kasus mana yang paling rumit untuk diselesaikan?

Sebetulnya tidak ada yang rumit karena semua kan ada jalurnya. Tapi menjadi susah karena adanya berbagai manipulasi, seperti kasus Pakde yang dituduh membunuh Ditje, yang meninggal di Cibubur. Pakde itu katanya dukun yang bisa meramal, bisa menggandakan uang, dan lain sebagainya. Ditje ini adalah pasien si dukun. Kebetulan Pakde ini meminjam senjata laras panjang ke tetangganya yang bekerja sebagai satpam di Bapindo.

Nah, apa manipulasinya? Ketika  Ditje d otopsi, dokter Mun’im Idris dari bagian forensik, menyatakan bahwa senjata yang digunakan kira-kira laras pendek, dan fotonya sudah dimuat di berbagai media. Tapi tahu-tahu sejata tersebut menjadi laras panjang. Secara logika, senjata ditemukan di mobil, Ditje yang menyetir dan Pakde di sebelahnya merangkul dan menembak.  Tidak mungkin kan menggunakan laras yang panjang.

Saya bersama Luhut, saat itu berbisik-bisik kenapa bisa kayak begitu. Jadi kita membuktikannya rumit, karena manipulasi-manipulasi bukti,  dan zaman dulu bagaimana kita membantah para polisi dan jaksa? That is imposible!

Tapi yang paling berkesan adalah saat saya membela ibunya Arie Hanggara. Kasus itulah yang kemudian membuat saya semakin fokus untuk melakukan pembelaan terhadap  perempuan dan anak. Itu ibunya, Dahlia Nasution datang karena anaknya Arie Hanggara meninggal di tangan bapak kandungnya dan ibu tirinya. Dan dia datang untuk mengambil tiga anaknya yang masih dalam penguasaan keluarga ayahnya, dimana ayahnya dan ibu tirinya sedang di dalam penjara.

Pertama-tama, saya melihat putusan perceraian dan tidak ada penetapan bahwa anak di bawah asuhan bapak, hanya putusan cerai. Dan di balik putusan itu hanya ada tulisan atau oret-oret yang mengatakan bahwa keempat anak di bawah asuhan bapaknya, itu tidak ada di dalam amar putusan.

Saya lalu mengajukan gugatan, karena ayahnya di penjara, maka diajukan gugatannya di PN Bogor. Pengacara ayahnya itu anaknya pejabat kan, anaknya ketua HSMI dan anggota DPR. Pengacaranya siapa? Kolega saya sendiri, Henry Yosodiningrat.

Gugatan saya itu bukan hanya meminta asuh anak tapi juga mencabut kekuasaan ayahnya. Ngamuk itu yang namanya Henry, karena hakim Erna Sofwan memutuskan untuk mengabulkan pencabutan kekuasaan. Jadi si ayah tidak punya hak sama sekali dan pengadilan memerintahkan agar anak diserahkan kepada ibunya.

Nursyahbani Katjasungkana saat memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Soas University Of London (FH Unair)

Kasus yang lain yang juga berkesan buat saya, soal Ellyas Pical. Dia kan berasal dari keluarga miskin. Nah, dulunya dia ditampung oleh seorang ibu yang juga miskin, yang memiliki anak perempuan yang bekerja di supermarket. Mereka berdua lalu ditunangkan. Tetapi ketika Ellyas Pical terkenal sebagai juara tinju Asia, dia lupakan tunangannya, malah kawin dengan dokter di sasana Garuda Jaya yang saat itu dipimpin oleh Rio Tambunan. Saya menggugat itu, memang sih tidak ada dasar hukumnya tapi saya hanya ingin bilang ada kejadian seperti ini.

Lalu kasus penyanyi “Aku Rindu”, Farid Hardja. Dia kan kawin dengan orang Pangandaran. Tetapi hari pertama langsung diceraikan, katanya si perempuan tidak perawan lagi, dan menuduh  darah di sprei itu berasal dari kulit yang ditusuknya sendiri sehingga berdarah. Dia mau membatalkan perkawinan sehingga mas kawin 99 gram dan segala macam perangkat harus dikembalikan menurut hukum Islam. Tapi menurut hukum negara itu sudah sah perkawinan, jadi perceraian tidak bisa dikembalikan. Bahkan dia harus membayar masa idah.

Selama di LBH Apik, kasus apa yang paling sering ditangani?        

Tentang gender dan kekerasan seksual. KDRT yang paling tinggi, dan diskriminasi gender di kalangan perburuhan itu nomor dua.

Soal RUU PKS, bagaimana pendapat anda dan kenapa masih belum juga disahkan?

Dasarnya ini kan soal relasi kekuasaan. Laki-laki tidak mau terganggu kekuasaannya di dalam kepemilikannya terhadap istri. Karena itu konsep patriarki yang diproduksi dan direproduksi oleh patriarki, dan juga oleh kapitalisme.

Kedua menurut saya persiapan sosial conditioning-nya kurang matang. Saya mengkritik itu kepada Komnas Perempuan sebagai yang juga bertanggung jawab dalam masalah ini. Dan akurasi tentang apa itu kekerasan seksual, apa mau sempit atau luas, itu kurang diperhitungkan sebagai strategi dalam konteks masyarakat yang patriarki, tapi juga bertumbuhnya kembangnya pemikiran yang konvensional atau fundamentalis yang semakin kuat di Indonesia, setelah reformasi yang diinginkan oleh alam demokrasi.

Lalu, dari situ ada kesalahpahaman, masa suami memperkosa istri, ada meme-nya begitu. Nanti suami ditangkap, istri di jalanan ditangkap, anaknya di jalanan ditangkap, gelandangan ditangkap, akhirnya  sekeluarga di penjara termasuk ayam-ayam peliharaannya.

Hal itu menjadi meme karena kurangnya komunikasi publik. Akhirnya saya mengatakan politik hukumnya yang tidak clear, mau melindungi korban atau lebih menonjolkan semua perbuatan yang amoral, yang dilarang agama harus ditransformasikan menjadi perbuatan pidana.

Tapi secara teknis, pada tahun 2014 ketika Prolegnas didiskusikan oleh pemerintah dan DPR, itu diajukan tapi tidak dikawal dengan ketat. Baru kemudian dalam perjalanan tiga tahun kemudian, begitu masif kekerasan seksual dan sadis-sadis, baru kemudian dimasukkan lagi, didesak lagi, maka di tengah perjalanan tanpa ada proses Baleg meminta kepada Komisi VIII untuk dikritisi dan diangkat lagi isu tersebut hingga menjadi inisiatif. Publik salah mengerti, seolah Komisi VIII itu sudah membahas draft dengan pemerintah.

Saat ini banyak perempuan bercadar dan laki-laki bercelana cingkrang. Ini fenomena apa?

Antara tahun 1985 hingga 1987 kalau tidak salah, saya membela murid-murid SMAN 68 Jakarta dan SMAN 14 Bogor yang berjilbab. Mereka waktu itu dikeluarkan dari sekolah karena tidak sesuai dengan aturan. Ada 14 anak SMAN 68, padahal sekolah tersebut adalah sekolah andalan,           

Kemudian saya dikritik oleh kelompok-kelompok pembela hak perempuan, karena dianggap membela perempuan yang menggunakan symbol-simbol penindasan. Padahal saya melihatnya dari segi konstitusi, maka saya menggugat. Argumen saya adalah, setiap warga negara punya kebebasan berekspresi termasuk mengekspresikan keyakinan. Kita di negara Pancasila, bukan di negara Prancis. Kita konstitusinya memang sekuler tapi kondisi masyarakatnya tidak sekuler. Dan juga di dalam proses pengambilan keputusan ada pengaruh agama dan hukum.

Buktinya kita punya Departemen Agama, negara sekuler kan tidak ada, di Amerika atau Prancis. Di Prancis juga sedang ramai kelompok Islam, di mana pemerintah melarang simbol-simbol agama di pasang di gedung-gedung pemerintah. Jadi mereka yang bekerja di gedung pemerintah dan memakai simbol agamanya, mau dalam bentuk kalung, jilbab, itu boleh tapi jangan di gedung pemerintah. Itu ingin menunjukkan keterpisahan agama dengan negara.

Memang di dua pengadilan saya kalah, tapi di Mahkamah Agung saya menang. Lima tahun kemudian anak-anak itu sudah pada kuliah. Waktu dipecat mereka bingung sekali mau sekolah dimana. Untung ada Pak Lukman dari Muhammadiyah. Saya menghadap kepada beliau, meminta agar anak-anak tersebut diterima sekolah disitu.

Nah, sekarang ini menteri agama memberikan pernyataan, di gedung-gedung pemerintahan dia juga akan larang kan? Karena sudah terstigma mereka itu radikal, teroris, karena memang kita diberikan pertunjukan setiap ada bom-bom itu selalu cingkrang atau lainnya seperti Wiranto yang terakhir itu, meskipun di bom Thamrin pakai celana jeans biasa, tidak cingkrang.

Jadi memang stigma seharusnya tidak ada, karena pertanyaannya mau ke arah mana  pemerintahan ini. Apakah memang akan sekuler seperti di Prancis, atau apakah kita lebih luwes karena Pancasila membolehkan siapa saja menunjukkan ekspresi keagamaannya.

Seharusnya BPIP merumuskan hal-hal itu sejak dulu kala. Masalahnya seperti Pak Mahfud MD itu, saya kritik selalu, waktu menjadi ketua Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan permohonan judicial review mencabut UU no 1 tahun 1965 yang diajukan oleh tokoh agama seperti Gus Dur, dan lain-lain. Ia metolak permohonan itu dengan argumen yang menurut saya tidak kreatif. Tidak seperti di Amerika yang ada pemisahan agama dengan negara, dan oleh karena itu agama tidak diajarkan di sekolah-sekolah negeri.

Dan yang kedua, tiga argumen. Argumennya pengaju adalah argumennya FPI soal penodaan agama. Itu masalah mendasarnya, sampai sekarang kita tidak mampu merumuskan hubungan antara negara dengan agama.

Sebentar-sebentar Jokowi katakan harus dipisahkan politik dengan agama, tidak bisa agama dan negara itu berjalan beriringan karena itu di masjid-mesjid boleh dilakukan pendidikan politik, ceramah politik, pemerintahan dan lain-lain, tapi rumusannya gimana?  Para pakar itu cuek dan terus menerus gaduh tapi tidak bisa merumuskan itu.

Kalau dibaca risalah UUD di sidang BPUK 1945 dan sebelumnya,  para pendiri republik membahas ini, kita sudah bertahun-tahun mengalami politik devide et impera-nya Belanda, kelompok Islam termarjinalkan, begitu. Tidak bisa sekolah di sekolah Belanda yang mutunya lebih tinggi, tidak bisa sekolah melebihi sekolah ongko loro. Semua dibahas semua disitu.

Tapi kalau Pak Sahetapy, profesorku bilang karena kita negara Pancasila maka hubungan negara dengan agama adalah poreos, artinya seperti saringan yaitu saling berpengaruh. Negara kita sekuler tapi karena saling berpengaruh makanya ada departemen agama. Dan oleh karena itu ada kebiasaan nilai agama,  dan kemudian terangkum dalam Pancasila.

Nah tentu membentuk undang-undang harus punya ilmu untuk membedakan ini, moralitas atau perbuatan pidana. Tidak semua perbuatan moral itu harus dipidanakan, karena yang terpenting di dalam hukum pidana itu apakah itu melanggar ketertiban umum. Jadi memang masih panjang ya pembentukan pemikiran tentan hubungan negara dengan agama yang implikasinya pelanggaran moral atau tidak.

Seperti mengemis, memang dilarang agama tapi masa dipidana. Padahal konstitusinya dibilang orang terlantar dipelihara oleh negara. Selama ini Pancasila dilihat orang  terpotong-potong, dan juga BPIP tidak berhasil merumuskan ke publik. Jadi orang-orang yang tidak suka lalu menolak, mengkafir-kafirkan atas dasar Sila Pertama. Kalau Sila Pertama digunakan untuk menolak agama,  gimana dengan sila yang lain, keadilan sosial dimana. Jadi jangan melihat hanya satu sila.

Masih punya cita-cita yang belum tercapai?

Saya ini pengagum Kartini, sama dengan ayah saya. Di dalam buku 50 tahun Sumpah Pemuda, ayah bercerita bahwa buku Habis Gelap Terbitlah Terang menjadi runutan dari anak-anak ayahnya. Jadi sepulang sekolah, buku itu menjadi rebutan karena berisi inspirasi dalam pergerakan pro kemerdekaan.

Jadi saya ingin membuat Kartini Institute sebetulnya, yang memberikan kursus-kursus pendek kepada para aktivis untuk belajar manajemen dari pemikiran-pemikiran Kartini. Itu yang menjadi cita-cita saya. Mungkin tidak berbentuk gedung, tapi sarana belajar. Saya sudah mempersiapkan dengan menggunakan yayasan pendidikan ayah saya di Singaraja yang bernama Yayasan Pertiwi Putra. Sebenarnya sudah pernah dihidupkan oleh kakak saya Ananda Kusuma, tapi karena beliau sudah 80 tahun jadi kurang berjalan. Mungkin nanti yayasan itu yang akan saya dan adik saya pakai untuk mewadahi kegiatan tersebut.

Daftar pustaka: viva.co.id dan historia

 

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar