Sampah Plastik Beracun Amerika Jadi Bahan Bakar Produksi Tahu

Selasa, 19/11/2019 12:35 WIB
Ilustrasi dioksin. (sinirsizbilim.com)

Ilustrasi dioksin. (sinirsizbilim.com)

Jakarta, law-justice.co - Puluhan pabrik tahu di Desa Tropodo, Jawa Timur diduga menggunakan bahan bakar plastik berbahaya asal Amerika Serikat sebagai bahan bakar produksinya.

Pabrik tahu itu menggunakan bahan bakar plastik untuk produksi tahu dengan membakar campuran kertas dan sampah plastik.

Beberapa bahan itu di antaranya sampah plastik dikirim dari Amerika Serikat setelah warga AS membuangnya ke tempat sampah.

Makanan murah yang seharusnya berprotein tinggi yang terbuat dari kedelai yang menjadi salah satu bagian penting dari produk makanan lokal.

Namun asap dan abu yang dihasilkan oleh plastik yang terbakar memiliki dampak yang beracun.

Berdasarkan pengujian terhadap telur ayam yang diambil di desa Tropodo ditemukan sejumlah besar bahan kimia berbahaya termasuk dioksin.

Bahan kimia polutan itu diketahui menyebabkan penyakit seperti kanker, cacat lahir dan penyakit Parkinson.

"Mereka mulai membakar sekitar pagi-pagi sampai malam. Itu terjadi setiap hari dan asap selalu dibuang ke udara. Bagi saya, itu membuat sulit bernapas," kata warga bernama Karnawi, yang tinggal di dekat tujuh dapur komersial yang menggunakan plastik sebagai bahan bakar seperti melansir vivanews.com.

Menurut laporan yang dikeluarkan oleh aliansi kelompok lingkungan hidup Indonesia dan internasional, salah satu telur yang dihasilkan oleh ayam milik Karnawi bahkan memiliki tingkat dioksin tertinggi yang pernah tercatat di Asia.

Tingkat kandungan dioksin yang ditemukan dalam telur itu adalah yang kedua, setelah sebelumnya sebuah telur dikumpulkan di dekat Bien Hoa, Vietnam, bekas pangkalan udara Amerika Serikat.

Lokasi itu digunakan selama Perang Vietnam untuk menyemprotkan bahan kimia, yang mengandung dioksin, ke tanah milik warga Vietnam.

Telur biasanya digunakan untuk menguji kontaminasi, karena ayam biasanya mencari makan dari tanah sehingga menyebabkan racun menumpuk di dalam telur.

"Temuan nyata ini menggambarkan bahaya plastik bagi kesehatan manusia dan harus menggerakkan para pembuat kebijakan untuk melarang pembakaran sampah plastik, mengatasi kontaminasi lingkungan dan secara ketat mengontrol impor," kata Lee Bel, penasihat di International Pollutants Elimination Network.

Studi ini dilakukan oleh empat kelompok pemerhati lingkungan yakni Ecoton and the Nexus3 Foundation yang berbasis di Indonesia, Arnika yang berbasis di Praha dan International Pollutants Elimination Network atau IPEN, sebuah jaringan global yang didedikasikan untuk menghilangkan polutan beracun.

Racun yang ditemukan di tanah Tropodo dimulai dengan negara-negara Barat yang percaya bahwa mereka melakukan hal yang baik bagi lingkungan, yakni dengan memilah limbah untuk didaur ulang.

Namun sebagian besar limbah itu dikirim ke luar negeri, termasuk ke Indonesia, di mana limbah dikombinasikan dengan limbah lokal untuk diproses.

Tetapi alih-alih diubah menjadi barang konsumen baru seperti jaket bulu dan sepatu kets, sebagian besar limbah yang tidak dapat digunakan untuk didaur ulang malah dibuang ke tungku yang menjadi bahan bakar pembuatan tahu di Tropodo.

"Ini adalah plastik yang dikumpulkan dari konsumen di Amerika Serikat dan negara-negara lain, dan dibakar untuk membuat tahu di Indonesia," kata Yuyun Ismawati yang merupakan salah satu pendiri Nexus3 Foundation.

Beberapa pengirim limbah asing yang tidak bertanggung jawab membuang plastik yang tidak diinginkan ke negara berkembang, dengan memasukkan sebanyak 50 persen plastik dalam pengiriman. Perusahaan lokal mendapat untung dengan menerima pengiriman.

Sebagian besar plastik itu bermutu rendah dan Indonesia tidak memiliki cara yang baik untuk membuangnya.

Setelah memilih bahan terbaik untuk didaur ulang, sebagian besar perusahaan mengirimkan sisa limbah ke Bangun, sebuah desa yang dikenal dengan pemulung yang mencari barang-barang bernilai dan bahan-bahan yang layak didaur ulang.

Di Bangun, tumpukan sampah mengisi setiap lahan kosong. Sekitar 2.400 orang tinggal di desa dan hampir setiap keluarga terlibat dalam bisnis limbah.

Para pemulung mengatakan bahwa pengiriman datang dari Amerika Serikat, berdasarkan tulisan dari barang yang mereka sortir.

Para pekerja mengaku kadang menemukan dolar Amerika yang terbuang secara tidak sengaja, dan botol-botol minuman keras yang pecah dengan label khas Amerika seperti Jack Daniels.

Perhentian terakhir untuk sampah yang paling tidak diinginkan adalah Tropodo dan pembuat tahu. Setiap hari, truk membawa sisa-sisa kertas dan plastik sisa sejauh 20 mil melalui jalan darat dari Bangun ke Tropodo dan meletakkan muatan mereka di depan dapur produksi tahu, seperti dilansir laman The New York Times.

"Orang-orang membutuhkannya sebagai bahan bakar untuk pabrik tahu," kata seorang sopir truk, Fadil, ketika ia membuang muatannya di jalan desa. Dia mengatakan telah mengirimkan limbah kertas dan plastik ke pembuat tahu selama 20 tahun.

Banyak penduduk Tropodo mengatakan mereka membenci pembakaran plastik namun tidak berdaya untuk menghentikannya.

Pembuat tahu, para majikan utama di Tropodo beralih untuk membakar plastik dari kayu dejak beberapa tahun yang lalu. Dapur beroperasi setiap hari dan ketika ada sedikit angin, asap tajam menggantung di desa seperti kabut beracun.

Mantan Wali Kota Tropodo, Ismail mengatakan telah melarang penggunaan plastik sebagai bahan bakar pada tahun 2014.

Namun larangan itu hanya bertahan beberapa bulan sebelum pembakaran sampah plastik kembali berlanjut di pabrik-pabrik tahu.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar