dr. Handrawan Nadesul:

Waspada Informasi Mengenai Pengobatan yang Menyesatkan di Medsos

Minggu, 17/11/2019 19:37 WIB
Ilutrasi (Handrawan Nadesul/Facebook)

Ilutrasi (Handrawan Nadesul/Facebook)

law-justice.co - Sudah beberapa kali saya tulis tentang pengobatan atau terapi yang menyesatkan masyarakat. Saya menulis juga bahwa tidak ada yang sederhana dalam pengobatan beberapa waktu lalu.

Mengamati diskusi di media sosial tempat berseliweran informasi obat, pengobatan, dan terapi yang tidak jelas, sehingga membingungkan masyarakat, saya merasa prihatin. Beberapa orang berdalih, karena berobat medis mahal, maka memilih terapi dan penyembuhan alternatif. Apa yang salah di sana?

Dunia kedokteran bukan tidak menerima pengobatan dan penyembuhan alternatif. Ada sekelompok pengobatan dan penyembuhan alternatif yang diterima medis sebagaimana diakui WHO, yakni complementary alternative medicine (CAM). Namun tentu tidak serta merta yang bersifat alternatif, yang non medis laik diterima. Termasuk yang banyak beredar di Indonesia. 

Masih ada lebih tujuh stasiun TV, termasuk yang mestinya lebih rasional menyiarkan yang bertanggung jawab bagi masyarakat, masih ikut menyiarkan yang saya bisa pastikan bahwa itu tidak masuk nalar medis.

Masyarakat kita sebagian besar masih tergoda oleh informasi yang tidak bertanggung jawab, termasuk iklan pengobatan dan penyembuhan alternatif, dan itu yang bikin saya prihatin. Kasus kanker sering terlambat disembuhkan lantaran mampir dulu ke orang pintar, alternatif, atau terapi yang tidak bertanggung jawab, dan baru berobat ke dokter setelah kankernya parah dan dokter sudah angkat tangan. Banyak bukti bahwa itu merugikan pasien.

Hanya di Indonesia semua orang boleh membagikan hal-hal pengobatan yang tidak jelas, bahkan bertindak menjadi dokter. Di negara maju, orang awam yang sekadar menganjurkan kepada orang lain obat apa yang diminum saja pun, ada hukum yang mengaturnya, ada regulasinya.

Di sini, siapa saja bisa bertindak seperti dokter, bahkan yang tidak punya latar belakang medis sekalipun. Iklan pengobatan dan penyembuhan beredar bebas di mana-mana, juga di media sosial, oleh mereka yang tidak jelas latar belakangnya. Kasus Ponari, bocah 10 tahun mendapat batu dari langit, rendaman batunya diniscayai masyarakat bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Sungguh menyedihkan masih banyak masyarakat yang berpikir seperti itu.

Belakangan ihwal kayu bajatah dari Kalimantan yang diangkat oleh siswi SMA berkhasiat antikanker, sekarang harganya sudah jutaan rupiah satu potong, hanya karena banyak orang mencarinya, mempercayainya bisa dipakai sebagai obat kanker.

Bahwa temuan kayu bajatah sebagai antikanker baru pada tahap uji bahan berkhasiat alami saja. Indonesia memiliki lebih 200 bahan berkhasiat antikanker, namun masih sebatas teruji khasiatnya belaka, dan itu belum sampai pada tahapan sebagai obat. Perlu beberapa tahapan lagi untuk menjadikannya obat.

Uji bahan berkhasiat baru tahap awal. Perlu dilanjutkan tahapan ekstraksi, yakni mengambil saripati bahan berkhasiat dan membuang zat lain yang tidak diperlukan. Kemudian masuk tahapan uji farmakologis, uji binatang, lalu uji klinis, dan setelah lulus semua uji, baru diterima sebagai obat. 

Uji farmakologis untuk tahu berapa dosis efektif zat berkhasiatnya, berapa dosis racun, dan apa efek sampingnya. Hanya lulus teruji berkhasiat belaka, namun terbukti tidak aman bagi tubuh, tidak lulus diterima sebagai obat. 

Itu perbedaan pengobatan alternatif dengan medis. Pengobatan alternatif hanya fokus pada berkhasiat saja tanpa mempertimbangkan apakah aman tidaknya bagi tubuh. Sudah banyak ditemukan zat berkhasiat alami yang tidak aman namun masih beredar dalam jamu, herbal, dan bahan berkhasiat. Sebut saja jahe hutan (wild ginger) dalam ramuan obat cina yang merusak ginjal selain bikin kanker (zat aristochiaceae). Kasus pasien yang rusak ginjalnya setelah sekian bulan mengonsumsi obat cina yang mengandung bahan berkhasiat ini, betul sebuah fakta.

Maka tidak benar bahwa hanya mengonsumsi bawang putih beberapa siung, atau buah pace (mengkudu) beberapa buah, atau racikan yang diklim bisa merontokkan tumpukan lemak plaque dinding pembuluh darah, sebagai hal yang benar di mata medis. Berapa siung diperlukan bawang putih untuk memberikan khasiat farmakologisnya, dan ada zat lain apa yang terkandung dalam bawang putih yang mengganggu tubuh, seperti mengganggu lambung. 

Bawang putih kasar (raw material) belumlah sebagai obat. Namun bawang putih yang sudah dalam bentuk kapsul dan diproduksi secara ilmiah, dilabel kandungan zat berkhasiatnya dengan dosis berapa, itu yang sudah sebagai obat. Mungkin diperlukan puluhan siung bawang putih untuk bisa memberikan khasiat. Itu maka harga satu kapsul bawang putih demikian jauh lebih tinggi dibanding harga bawang putih mentah, karena kita membeli teknologi menyaripatikan zat berkhasiatnya saja, dan sudah membuang zat yang membahayakan tubuh dan tidak berguna bagi tubuh. 

Demikian pula halnya dengan buah pace. Harus jenis (species) tertentu (dari hutan Tahiti) dengan kematangan tertentu supaya zat berkhasiat dalam pace tertinggi kandungannya, diproses sedemikian rupa supaya zat berkhasiatnya tidak rusak, dan membuang zat yang tidak berguna. Maka tidak tepat kalau kita asalan menelan saja buah pace di pohon. Buah pace yang sudah melalui proses sehingga sudah sebagai obat, harganya tidak semurah buah pace bahan mentah, karena kita membayar tinggi untuk teknologinya yang menjadikannya sebagai obat.

Jadi informasi obat, pengobatan, penyembuhan yang beredar, dan iklan tentangnya yang tidak bertanggung jawab, itu belum menempuh berbagai uji sebagaimana yang diminta oleh dunia medis yang menuntut perlu bukti ilmiah (evidence based) ihwal zat berkhasiatnya. Kita selalu mengacu kepada bukti ilmiah. Juga ihwal kursi magnet, gelang magnet, kasur magnet, dan semua alat penyembuhan yang dari penjelasannya saja tidak masuk nalar medis. Termasuk jamu nakal yang mencampurkan obat dokter ke dalam racikan jamu. Bahan berkhasiat alami tidak setokcer obat dokter kerjanya. Maka curiga kalau ada herbal atau jamu yang tokcer kerjanya, tentu ada obat dokter yang dicampurkan.

Salam sehat,
dr. Handrawan Nadesul

Sumber: Handrawan Nadesul/Facebook

 

(Liesl Sutrisno\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar