Era Penjajahan, Sukmawati:Di Mana Bendera Hitam Bertuliskan Arab?

Jum'at, 15/11/2019 10:00 WIB
Putri Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri. (jarrak.id)

Putri Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri. (jarrak.id)

Jakarta, law-justice.co - Putri Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri melontarkan kejengkelannya saat menghadiri diskusi bertajuk `Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme`, Senin (11/11/2019).

Dia mengaku jengkel dengan maraknya bendera hitam bertuliskan Arab, yang kerap dikibarkan kelompok tertentu di Indonesia.

Awalnya, pemilik nama lengkap Diah Mutiara Sukmawati Sukarnoputri itu membahas perjuangan Bangsa Indonesia melawan pasukan asing di Surabaya pada November 1945 silam.

Ia menyatakan, tentara Indonesia berjuang keras mengalahkan penjajah dengan peralatan seadanya. Hingga akhirnya, tentara Indonesia bisa mengibarkan bendera merah putih.

"Kita rakyat Indonesia hanya seadanya dan senjata dari Jepang dan bambu, keris golok dan segala macem," ucapnya di Gedung The Tribrata, Jalan Dharmawangsa III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan seperti melansir wartakota.tribunnews.com.

"Para pahlawan itu naik ke suatu gedung, berkibarlah bendera merah putih biru atau benderanya Belanda."

"Kemudian mereka ambil itu bendera dan mereka robek warna biru dan dinaikkan lagi merah putih."

"Berkibarlah bendera merah putih untuk merdeka atau mati," tuturnya.

Sukmawati pun menanyakan mengapa saat itu tidak ada bendera hitam yang bertuliskan Arab.

Di situ, ia mengungkapkan kekesalannya kepada para oknum yang justru ingin mendirikan negara khilafah.

"Saya ingin bertanya lagi, di mana itu bendera hitam dengan tulisan Arab? Di mana?"

"Kok ujuk-ujuk sekarang berkibar-kibar seolah-olah mau mendirikan Negara Islam atau khilafah?" paparnya.

Dalam kesempatan itu, Sukmawati menyebut pihak-pihak tersebut sebagai orang yang durhaka dan kurang ajar terhadap perjuangan bangsa.

"Waktu kita bertempur penuh darah dan tangis keringat, ke mana mereka?"

"Jadi mungkin Pak NU bisa menjawab. Kok kurang ajar, durhaka, dan kualat?"

"Sedih, jengkel kalau melihat kenyataan yang ada ketika saya sudah nenek-nenek. Kok masih ada ya?" ucapnya.

Sukmawati lantas menyatakan kesal dengan maraknya tindakan radikalisme di Indonesia.

Apalagi, kelompok tersebut kerap membenturkan Alquran dan Pancasila.

Sukmawati pun kemudian menanyakan balik, mana yang lebih berjasa merebut kemerdekaan Indonesia, antara Muhammad SAW dan Soekarno.

Awalnya, Sukmawati berbicara mengenai tragedi Perguruan Cikini (Percik) yang terjadi pada 30 November 1957.

Ia menyebutkan, kejadian yang juga menimpa ayahnya, Soekarno itu, menjadi awal mula terjadinya terorisme di Indonesia.

"Di dalam perjuangan membangun bangsa dan negara Indonesia ini."

"Saya dari kecil umur 6 tahun, saya menjadi saksi hidup mulai adanyanya terorisme," ungkap Sukmawati.

Ketika itu, ia bercerita, Soekarno diserang oleh kalangan terorisme yang menggunakan granat saat mengunjungi Percik untuk membuka bazar.

Kedatangan Soekarno kala itu justru disambut oleh ledakan granat.

"Bung Karno diundang untuk membuka bazar. Bazar sudah siap sedia untuk menyambut Presiden datang."

"Presiden itu turun dari mobil anak-anak, sekolah, guru dan lain sebagainya. Begitu turun (ledakan)," ungkapnya.

"Mereka itu atau orang yang Islam sempit pikiran, yang hanya melihat paling mulia adalah yang mulia Nabi Muhammad dan hanya boleh Alquran dan hadis."

"Lain pengetahuan, lain ilmu, atau apa itu kafir, toghut," sambungnya.

Ia menyatakan, hingga saat ini, orang yang disebutnya sebagai kalangan radikalis masih kerap eksis.

Menurutnya, kelompok tersebut juga suka mengafirkan orang lain.

"Oh ini loh yang dimaksud pemimpin saya atau bapak saya ya, Bung Karno, kelompok sempit pikiran yang suka royal dengan kata-kata kafar kafir kafar kafir."

"Jadi zaman Bung Karno kelompok sempit pikiran itu sudah ada, sampai saya nenek-nenek masih ada," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, ia menyatakan geram dengan tingkah kaum radikalis.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar