ISIS Sasar TKW Indonesia

Kamis, 14/11/2019 05:30 WIB
AS Vs ISIS (Newsweek)

AS Vs ISIS (Newsweek)

Jakarta, law-justice.co - Kementerian Dalam Negeri Singapura menyebut nam hari dalam sepekan, tiga perempuan ini bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Singapura.

Namun, di waktu senggang, mereka menyebarkan berita ISIS di dunia maya, mengumpulkan uang untuk para militan di luar negeri, dan berubah radikal, setidaknya salah satu dari mereka siap mati sebagai pelaku bom bunuh diri Suriah.

Perempuan ini, yang semuanya WNI, ditangkap pada September lalu di bawah Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Singapura, karena dicurigai ikut serta dalam kegiatan pendanaan teror dan terancam hukuman 10 tahun penjara serta denda hingga 500.000 dolar Singapura (USD 362.000).

Juru bicara dari Kedutaan Besar Indonesia di Singapura mengonfirmasi penangkapan tersebut dan menyampaikan pihaknya memberikan bantuan konsuler kepada perempuan tersebut, yang tidak memiliki perwakilan hukum karena masih dalam penyelidikan.

Para perempuan tersebut belum sepenuhnya menjalani hukuman. Para ahli terorisme mengatakan, mereka bukan satu-satunya pekerja rumah tangga yang diyakini telah diradikalisasi online ketika bekerja di kota-kota besar Asia seperti Singapura dan Hong Kong.

Ketika ISIS mengalihkan targetnya ke Asia setelah kekalahannya di Timur Tengah, perempuan ini semakin menjadi sasaran, meskipun dengan cara yang kurang terorganisir, sebagaimana diperingatkan para pakar.

"Mereka ditargetkan dan dieksploitasi oleh sel-sel militan yang pada dasarnya memandang mereka sebagai sapi perah," kata Nava Nuraniyah, seorang peneliti di Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC) Indonesia seperti melansir moeslimchoice.com.

"Mereka memiliki penghasilan yang stabil, berbicara bahasa Inggris dan biasanya memiliki jaringan internasional yang luas, menjadikan mereka (target) ideal,” imbuhnya.

`Radikal Pinggiran`

Para perempuan tersebut mewakili sebagian kecil dari sekitar 250.000 ART migran yang tinggal di Singapura dan dari sekitar 385.000 yang tinggal di Hong Kong.

"Sebagian besar pekerja asing patuh hukum dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat kita. Namun, masih ada individu yang terus diradikalisasi oleh ideologi kekerasan ISIS," kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Singapura.

Sebagian besar kasus yang diidentifikasi sejauh ini melibatkan warga negara Indonesia, menurut para ahli terorisme.

Sejumlah media mencoba menghubungi tiga perempuan tersebut yang ditahan di Singapura, namun tak bisa memberikan pernyataan.

Antara 2015 dan 2017, IPAC melakukan investigasi radikalisasi ART dan mendapati ada "radikal pinggiran" dari setidaknya 50 perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai pengasuh anak, ART atau pengasuh orang tua.

Dari 50 orang ini, 43 berbasis di Hong Kong, empat di Singapura, dan tiga di Taiwan. Karena sulitnya mendapatkan data dan kesaksian langsung, ini adalah angka terbaru yang tersedia.

Menurut sebuah sumber di Indonesia dengan pengetahuan tentang profil para militan yang diradikalisasi yang dikembalikan ke negara asalnya, setidaknya 20 ART yang teradikalisasi dideportasi kembali ke Indonesia.

Menurut Nuraniyah, perempuan ini rentan menjadi radikal karena prosesnya biasanya dimulai dengan peristiwa traumatis. Proses radikalisasi bisa berlangsung sangat cepat.

Laporan IPAC merinci kasus salah satu ART Indonesia dari Hong Kong yang beralih dari penggemar mode menjadi pemuja ISIS dalam waktu kurang dari setahun.

"Mereka, baik melalui perceraian, berutang atau menderita goncangan budaya, pindah ke tempat yang sangat berbeda dari rumah, yang semuanya merupakan masalah umum yang dihadapi oleh pekerja migran," kata Nuraniyah.

Hidup jauh dari rumah dalam lingkungan asing, terkadang mendapat perlakuan buruk dari majikan yang tidak bermoral, mereka sangat rentan menjadi sasaran indoktrinasi online.

"Mereka kesepian jadi mereka merasa perlu bergaul dengan komunitas masyarakat Indonesia, baik online atau dalam kehidupan nyata," kata peneliti Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Ekstremisme Kekerasan atau C-Save, Diovio Alfath.

Pacar Dunia Maya

Nuraniyah mengatakan, kemungkinan mereka memiliki teman di Facebook yang pro ISIS dan merasa tertarik kemudian mencari halaman-halaman militan terkemuka.

Beberapa direkrut oleh sesama ART di sebuah kelompok kajian atau pada pertemuan sosial pada hari libur mereka, menurut IPAC.

Seringkali, ini adalah jalan dua arah: ART mungkin mengambil langkah pertama dengan menjangkau para militan.

Sebagai imbalannya, banyak yang kemudian dengan cepat dibawa ke dalam kelompok-kelompok radikal dan dipersiapkan untuk menjadi militan.

"Saya mulai mendengarkan podcast Salafi saat membersihkan rumah," kata salah seorang ART asal Indonesia dari Semarang yang bekerja di Singapura kepada IPAC —menurut sebuah transkrip wawancara.

"Di Facebook, saya mengikuti orang-orang yang profilnya tampak sangat Islami karena saya membutuhkan teman yang bisa membimbing saya," imbuhnya.

Dia mengaku secara khusus tergerak oleh akun Instagram yang menampilkan gambar grafis warga Muslim yang menjadi korban di Suriah.

Kemudian dia bertemu pedagang daging asal Batam berusia 29 tahun melalui media sosial. Dia mengatakan, kenalannya ini membujuknya pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Namun pemerintah Singapura mengetahui rencana tersebut dan mendeportasinya kembali ke Indonesia tahun 2017.

Nuraniyah mengatakan, titik kritis biasanya terjadi setelah para perempuan ini menjalin hubungan pribadi dengan militan online yang menjadi "pacar" mereka.

Mereka kemudian diundang untuk bergabung dengan ruang obrolan khusus pada aplikasi terenkripsi.

"Di sinilah hal-hal nyata terjadi, di mana desain bom dibagikan dan koordinasi aktif terjadi," kata Zachary Abuza, seorang ahli operasi ISIS di Asia Tenggara dari National War College Washington.

Sebagai contoh, katanya, ada beberapa ratus grup di Telegram —sebuah aplikasi terenkripsi yang sering digunakan oleh ISIS— untuk simpatisan gerakan Islam, banyak di antaranya memiliki konten khusus untuk perempuan.

Media telah menghubungi pihak Telegram tapi tak ada tanggapan.

Setelah proses radikalisasi selesai, sejumlah kecil ART menikah dengan pacar militan mereka.

Seorang perempuan Indonesia yang bekerja di Hong Kong kembali ke Banten, di Jawa Barat, pada 2015, untuk menjadi istri kedua Adi Jihadi, seorang militan yang ditangkap pada 2017 karena membeli senjata dan pelatihan di Mindanao bersama Isnilon Hapilon, yang telah dinyatakan sebagai emir ISIS untuk Asia Tenggara.

Jihadi kemudian mengaku mendanai senjata yang digunakan dalam serangan 2016 di Jakarta, di mana delapan orang tewas dan dihukum karena ini.

ART radikal lainnya mengambil peran yang lebih aktif, menjadi pemodal, perekrut dan koordinator.

"Beberapa ART yang datang melalui program kami terlibat dalam memberikan dukungan finansial atau logistik," kata Alfath.

Seorang perempuan berusia 36 tahun dari Jawa Tengah mengumpulkan dana dari para ART yang diradikalisasi dan mengirimkannya ke organisasi ekstremis di Indonesia, menurut unggahan media sosial dan wawancara yang dilakukan oleh IPAC.

Dia juga membeli tiket pesawat untuk militan Indonesia yang pergi ke Suriah, seringkali melalui Hong Kong, menurut sumber yang sama. Pada Juli 2017, dia dideportasi kembali ke Indonesia.

ART korban radikalisasi ini bahkan pergi ke zona perang. Dari 50 ART yang diidentifikasi oleh IPAC, setidaknya 12 berusaha mencapai Suriah melalui Hong Kong, pada Juni 2017.

Empat orang berhasil ditangkap dan sisanya dicegat dan dideportasi kembali ke Indonesia, menurut laporan IPAC.

C-Save juga melihat ada sejumlah ART asal Indonesia di luar negeri yang mencoba menembus Suriah.

Dua dari perempuan Indonesia yang ditangkap di Singapura berniat melakukan perjalanan ke Suriah, salah satu dari mereka bahkan mengklaim ingin menjadi pembom bunuh diri untuk ISIS di Suriah, klaim pihak berwenang.

Tujuan Baru

Kedua perempuan itu juga didorong bermigrasi ke Filipina selatan, menurut Kementerian Dalam Negeri Singapura.

Para ahli mengatakan, ISIS telah memperkuat pijakannya di Asia Tenggara, dan simpatisan ISIS —termasuk ART yang teradikalisasi— baru-baru ini mulai menetapkan Filipina sebagai tujuan baru.

"Setelah 2017, begitu ISIS mulai kehilangan wilayah di Timur Tengah, pesannya bergeser," kata Abuza, "Itu mulai mendorong para militan untuk melakukan perjalanan ke Mindanao, di Filipina, dan mendirikan sebuah kekhalifahan di sana."

Beberapa organisasi Islam di Filipina dan Indonesia —termasuk Abu Sayyaf, kelompok militan Maute dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD)— telah berjanji setia kepada ISIS.

Beberapa orang ditangkap baru-baru ini di Sabah, Malaysia karena membantu simpatisan ISIS dalam perjalanan mereka ke Filipina, Ayob Khan Mydin Pitchay, seorang pejabat anti-terorisme Malaysia, mengatakan kepada Malay Mail pada bulan September.

Filipina dinilai peluang terbaik bagi ISIS, kata Abuza, karena bagian dari pulau selatan Mindanao adalah "lubang hitam dalam hal penegakan hukum, dengan sebagian besar pasukan keamanan yang korup dan ruang besar yang tidak dikelola”.

Media-media asing meminta komentar dari pemerintah Filipina, tetapi tidak ada tanggapan.

Pada tahun 2017, militan ISIS merebut kota Marawi di Mindanao, yang mengarah ke pengepungan lima bulan, yang baru pecah pada bulan Oktober 2017 setelah kematian para pemimpin militan Omar Maute dan Isnilon Hapilon, yang dianggap sebagai emir ISIS di Asia.

Jatuhnya ISIS di Suriah dan Irak juga menyebabkan peningkatan upaya rekrutmen online yang menargetkan Muslim di Malaysia dan Singapura, menurut Abuza.

"Sejak jatuhnya kekhalifahan, dorongan perekrutan terus berlanjut," tegas Alfath, "Tetapi mereka menjadi kurang terorganisir. Alih-alih perintah yang datang dari atas, mereka sekarang berasal dari kelompok-kelompok lokal di Indonesia atau bahkan dari individu militan."

Rekrutmen tersebut meluas hingga melatih ART untuk melakukan serangan bunuh diri, menurut IPAC.

Seorang mantan pekerja rumah tangga di Taiwan dan Singapura, Dian Yuli Novi yang berusia 27 tahun, berencana meledakkan dirinya di luar istana kepresidenan di Jakarta.

Pada Agustus 2017, dia dijatuhi hukuman tujuh setengah tahun penjara, menurut Reuters.

Pada bulan Desember 2016, seorang perempuan yang diduga menjadi pelaku bom bunuh diri ditangkap di Jawa Tengah.

Diduga melakukan radikalisasi di Hong Kong selama bekerja sebagai ART, Ika Puspitasari (34) telah kembali ke Indonesia untuk menikah dengan pria yang ditemuinya secara online pada 2015, menurut IPAC.

Pihak berwenang mengatakan dia kemudian mengajukan diri untuk melakukan serangan bom di Bali pada malam tahun baru. Dia dijatuhi hukuman empat tahun enam bulan penjara dan denda pada tahun 2017.

Memantau dengan Cermat

Rekrutmen ART di Hong Kong dan Singapura tidak luput dari perhatian.

"Pemerintah di negara tempat mereka bekerja secara aktif memantau unggahan media sosial dan kelompok diskusi untuk menelisik konten terkait terorisme," kata Alfath dari C-Save, "Jika mereka menemukan pesan radikal yang diterbitkan oleh seorang pekerja migran, mereka segera mendeportasinya."

Singapura telah mendeportasi 16 buruh migran yang diradikalisasi ke Indonesia sejak 2015 setelah menyelesaikan investigasi dalam kasus mereka, menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri Singapura.

Hong Kong menolak memberikan data jumlah buruh migran yang telah dideportasi, tetapi seorang juru bicara kepolisian mengatakan pihaknya terus mengawasi tren teroris internasional dan terus mempelajari ancaman teroris ke Hong Kong, salah satunya dengan bertukar intelijen dengan lembaga penegak hukum lainnya dan melakukan latihan multi-agensi. Pada tahun 2018, unit anti-terorisme antar-departemen dibentuk.

Singapura membangun kerjasama dengan organisasi keagamaan lokal dan kelompok rehabilitasi dan menjangkau komunitas pekerja rumah tangga asing melalui acara di masjid-masjid dan kedutaan asing, menurut juru bicara pemerintah.

Kegiatan ini bertujuan mengajarkan mereka tentang nilai-nilai sosial multi-agama Singapura dan untuk memperingatkan mereka tentang kelompok-kelompok ekstremis.

Kementerian Tenaga Kerja juga menyelenggarakan briefing untuk agen ketenagakerjaan dan telah memasukkan modul anti-terorisme dalam program pelatihan untuk ART asing.

Tiga perempuan Indonesia yang ditangkap masih dalam tahanan. Di bawah undang-undang keamanan Singapura, mereka dapat ditahan hingga dua tahun sebelum mereka diadili.

"Mereka dinilai menimbulkan ancaman keamanan mengingat dukungan mereka untuk ISIS dan penyelidikan atas kegiatan pendanaan terorisme mereka sedang berlangsung," kata juru bicara pemerintah.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar